Sebagai makhluk berakal, tentunya kita menyadari bahwa manusia merupakan makhluk sempurna yang diciptakan dengan segala keberagamannya.
Di antara keberagaman tersebut, kita hidup berdampingan dengan orang-orang yang juga memiliki “keistimewaan” tersendiri, sehingga terlihat adanya sedikit perbedaan dengan orang-orang pada umumnya. Merekalah yang biasa kita sebut dengan anak berkebutuhan khusus.
Pada umumnya, masyarakat termasuk saya pribadi sebelumnya hanya mengetahui bahwa anak berkebutuhan khusus adalah sebatas mereka yang Tunanetra, Tunarungu, Tunadaksa atau cacat fisik, dan Autis. Namun setelah saya pelajari, ternyata masih ada disabilitas lainnya yang nyatanya masih belum banyak didengar dan diketahui oleh masyarakat luas, seperti Tunagrahita dan anak dengan kesulitan belajar.
Ragam disabilitas pada anak berkebutuhan khusus bukanlah suatu penyakit, melainkan sesuatu yang istimewa yang membuat mereka terlihat berbeda. Kendati demikian, dalam Islam tidak mengenal adanya perbedaan, mereka para penyandang disabilitas juga memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dan diterima oleh masyarakat dengan tulus dalam kehidupan sosial, seperti yang Allah sebutkan dalam FirmanNya “Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi kalian, untuk makan (bersama-sama mereka) di rumah kalian, rumah bapak kalian atau ibu kalian…” (An-Nur ayat 61). Pada ayat ini secara eksplisit menegaskan kesetaraan sosial antara penyandang disabilitas dan yang bukan.
Islam juga tidak mentolerir adanya tindakan diskriminasi, menghina, memandang rendah, apalagi sampai mengucilkan mereka, karena perbuatan tersebut termasuk dari kesombongan dan akhlaq yang buruk.
Sebagaimana Syekh Ali As-Shabuni pada penjelasan tafsirnya dalam Tafsir Ayatul Ahkam (1/406) “Substansi firman Allah (An-Nur ayat 61) adalah bahwa tidak ada dosa bagi orang-orang yang punya udzur dan keterbatasan untuk makan bersama orang-orang yang sehat (normal), sebab Allah membenci kesombongan dan orang-orang yang sombong, dan menyukai kerendahhatian dari para hambaNya.”
Hal ini juga telah dipertegas dengan sababun nuzul (sebab turun) dari surah ‘Abasa yang mana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diperingati langsung oleh Allah karena telah berpaling dan menampakkan wajah yang masam terhadap difabel yang datang untuk mengambil manfaat darinya.
Dalam surah tersebut, Allah juga memerintahkan kepada beliau untuk memperhatikan dan memuliakannya melebihi shahabat yang lain. Ini semakin menjelaskan bahwa islam sangat memperhatikan difabel, menerimanya sebagaimana manusia yang lainnya, bahkan memprioritaskannya.
Pada tulisan ini, saya akan sedikit membahas mengenai salah satu disabilitas pada anak berkebutuhan khusus yang menurut pandangan saya masih sangat jarang orang ketahui istilahnya, yaitu Tunagrahita.
Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk anak yang memiliki kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Istilah lainnya yang lebih umum yaitu keterbelakangan mental, retardasi mental, (maaf) idiot, dan lain sebagainya. Semua makna dari istilah-istilah tersebut sama, yaitu menunjuk pada seseorang dengan kecerdasan mental di bawah normal. Anak atau orang dengan tunagrahita tentunya akan memiliki dampak dalam kehidupannya, terutama dalam hal sosial, emosional, dan akademiknya.
Orang tua, kerabat, dan orang-orang terdekat dari para tunagrahita tentunya memiliki cara tersendiri untuk mereka dapat berkomunikasi dan berinteraksi agar anak tunagrahita tidak kehilangan kehidupan sosialnya. Selain itu, meskipun tingkat intelektual dari anak tunagrahita di bawah rata-rata, menurut saya akademik tetap hal yang penting untuk mereka. Karena sebagai modal bagi mereka untuk dapat mengembangkan diri dan siap bermasyarakat.