Bersatunya kubu Jokowi dan Prabowo ditandai dengan penunjukan Prabowo sebagai Menteri Pertahanan (menhan) oleh Presiden Joko Widodo --setidaknya begitulah yang tampak di permukaan. Tentu saja keputusan ini menuai pro kontra. Orang-orang mulai ramai menuangkan argumen mereka, baik kalangan dari masyarakat hingga pejabat.
Bagi yang setuju, sudah pasti menilai keputusan ini adalah bentuk kebesaran hati dan keterbukaan demokrasi. Pak Jokowi yang begitu legowo merangkul lawan politiknya dan Pak Prabowo yang lapang dada menerima kekalahannya lalu beritikad baik untuk turut mensukseskan periode Jokowi.
Di sisi lain, untuk golongan yang tidak setuju sudah barang tentu memiliki banyak praduga. Ada yang berpendapat dengan logika dan landasan masuk akal, ada juga yang sebaliknya. Sisi buruk selalu memiliki banyak perspektif.
Secara aturan tentu tidak salah jika Jokowi memilih rival politiknya. Sah-sah saja dan tidak melanggar hukum. Pihak kontra pastinya juga menyadari hal ini. Tapi tentu yang menjadi masalah bukan perkara aturan atau sistem yang dilanggar.
Lebih dari itu mereka menyoroti masa lalu, prinsip, dan cara pandang Parabowo. Bagi yang lebih senang berbicara tipis-tipis tapi tepat sasaran akan berkomentar "Wah beli satu gratis satu." Entah siapa pun yang menang, dua-duanya akan tetap menerima jabatan.
Hal-hal seperti ini tentu bukan hal yang langka di dunia politik. Lawan jadi kawan, musuh jadi teman, selagi memiliki kepentingan --meskipun tidak selalu negatif (tapi kebanyakan demikian). Banyak alasan dan banyak latar belakang. Banyak.
Lawan politik yang sebelumnya selalu berselisih bisa saja menjadi kawan karena disatukan sebuah kepentingan. Musuh partai yang kerap bersaing suara bisa saja menjadi teman karena diiming-imingi berbagai keuntungan. Dan hal-hal tersebut tidak selalu Nampak di mata rakyat.
Sejauh yang ditampilkan media, maka itu saja yang dicerna pembaca. Khususnya bagi yang mudah menerima mentah-mentah informasi tanpa banyak prasangka. Lalu apakah menjadi warga negara harus selalu menyimpan prasangka dan ketidakpercayaan pada alur dan arus politik? Tentu tidak. Hanya saja perlu banyak sisi dan sudut pandang yang dimunculkan.
Kebrobrokan Sistem
Politik adalah sistem besar yang mempengaruhi maju dan tidaknya suatu negara. Terjun dalam dunia yang satu ini sama saja menceburkan satu kaki ke neraka. Jika ia amanah maka kaki yang lain akan menyelamatkannya dan jika ia lalim maka kaki yang lain akan turut berjalan di neraka. Sedangkan di mata rakyat, membedakan mana yang amanah dan mana yang lalim terkadang begitu buram.
Rakyat tidak akan tahu mana yang benar-benar berhati malaikat dan mana yang sebenarnya maling berkedok pejabat. Mengapa begitu? Sistem. Di dalam sistem yang besar itu kita tidak tahu apa saja yang dipermainkan dan siapa saja yang memainkan. Lalu ketika seseorang memutuskan masuk dalam sistem itu, mau tidak mau ia akan bekerja sesuai kendali sistem.
Jika ia masuk dunia politik mau tidak mau ia mengikuti arus dan tatanan politik yang ada saat itu. Dia akan bertahan dengan baik dan aman jika mengikuti arusnya dengan nyaman. Dia akan tergusur jika mencoba menentang keadaan.
Disisi lain melihat politik Indonesia yang terkenal korup dan bobrok, tentu bisa disimpulkan seperti apa orang-orang yang terlibat jauh dengan hal itu. Jika posisinya aman dan tidak tersentuh maka bukan tidak mungkin dialah dalang korupsi dan turut andil akan kelanggengan budaya tersebut.
Jika posisinya jauh di bawah, tidak diperhitungkan padahal memiliki kapasitas yang mumpuni, bisa saja ia merupakan golongan yang mencoba menantang arus kebusukan lingkungannya. Sayangnya, barisan penantang arus ini kadang kala menjadi kambing hitam dan bual-bualan kelompok sebelumnya, kelompok yang menginginkan kepentingan pribadi dan rahasia politiknya aman. Dengan cara apa? Memutar balikkan berita. Memanfaatkan media.
Kejam, begitulah politik. Apa yang disaksikan masyarakat tentang siapa yang benar siapa yang salah belum tentu merupakan kebenaran yang sesungguhnya. Yang tampak baik bisa saja si antagonis yang sebenarnya. Yang tampak jahat bisa saja protagonis yang kehilangan perannya. Kebenaran dan nilai mutlak menjadi bias.
Permainan media, pengalihan isu, dll menjadi senjata paling ampuh untuk saling menjatuhkan dan melindungi kebusukan satu sama lain. Lalu kepentingan bersama menjadi aman, kejahatan berjamaah menjadi tidak tercium rakyat, dan hal-hal baik menjadi kabur karena kehilangan kendali dan diabaikan dalam waktu yang lama.
Kontribusi Muda-mudi
Lalu bagaimana memperbaikinya? Mulai dari dirimu. Butuh waktu berapa lama? Sangat lama. Terlebih jika lebih banyak yang bodoamat dibandingkan dengan yang I care about that. Tragisnya, generasi muda yang seharusnya menjadi pioner kebaikan terkadang lebih banyak yang memilih opsi pertama, bodoamat.
Kerusakan mentalitas pejabat hanya dipandang sebagai berita mingguan. Kabar korupsi hanya didengar sebagai lantunan kabar di TV. Sekelebat. Seolah politik dan masa depan negara adalah hal yang sangat jauh dari hidupnya. Miris, tapi menjadi fenomena.
Maka selain memerlukan solusi, politik kotor juga perlu kontributor yang siap mendobrak sistem busuk. Jika bertanya siapa, sudah barang tentu muda-mudi jawabannya. Ya, muda-mudi. Kunci dan solusi dari banyak permasalahan memang berada di tangan muda-mudi penerus bangsa.
Karena keputusan, tindakan, dan kondisi merekalah yang akan mempengaruhi kelangsungan dunia di masa depan, khususnya dunia politik. Para penerus bermental macam apa yang akan menggantikan politikus saat ini? Sesama tikuskah atau sebaliknya?
Menjadi generasi muda memang kerap dibebani banyak amanah masa depan. Maka jika tidak mampu menjadi bagian yang menghancurkan sistem buruk, setidaknya tidak menjadi bagian orang-orang yang turut serta mendukung langgengnya sistem buruk tersebut. Aspirasi yang mungkin bisa memperbaiki, mari disuarakan.
Sederhana tidak apa-apa, sedikit lebih baik dari pada tidak sama sekali. Gunakan kebebasan berpendapat untuk saling memberitahu bahwa putih adalah putih dan hitam adalah hitam. Bila memang harus ada abu-abu jangan biarkan ia mengotori yang putih dan mengaburkan yang hitam. (Opini/Syifa)
P O L I T I K
Bila ia buruk, maka menjadi beban yang muda
Bila ia baik, maka menjadi kebanggaan yang tua
Tanggung jawab negara kadang dikotak-kotakkan
Muda yang bertugas memperbaiki, tua seenak hati
Seolah beban kesalahan yang terdahulu adalah PR untuk generasi kini
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI