Dunia mulai mengalami krisis populasi atau demografi, khususnya pada Negara-negara maju seperti Korea, Jepang, Jerman, Rusia dan sebagainya. Hal ini sangat menarik untuk kita bahas, bukan tidak mungkin di Indonesia juga akan mengalami krisis yang sama, di Korea Selatan sendiri berdasarkan data Kementrian Kesehatan Korea terdapat sekitar 7.1 juta jiwa anak usia dibawah 18 tahun pada akhir 2023, jika dibandingkan dengan tahun 2014 terdapat sekitar 9.1 juta jiwa, hal tersebut mengalami penurunan yang cukup signifikan. Jika angka tersebut semakin menurun akibatnya pusat penitipan anak akan mengalami penurunan dimasa tahun yang akan datang, bahkan Institute Penitipan dan Pendidikan Anak Korea atau KICCE mengatakan, diperkirakan akan ada sekitar 12 ribu pusat penitipan anak yang di tutup akibat dari sudah tidak ada anak-anak yang dapat diasuh. Tentunya masalah ini akan menjadi serius dimasa depan, bahkan di pedesaan sendiri akan mengalami krisis depopulasi.
Bahkan di Jepang sendiri krisis tersebut sudah masuk kedalam level gawat atau kritis. Pada tahun 2023 berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan Jepang total anak yang lahir pada tahun tersebut merupakan angka paling rendah selama 90 tahun terakhir. Dalam satu tahun saja angka penurunan bayi yang lahir mencapai 5,1%. Bayi yang lahir pada tahun 2023 hanya sekitar 758 ribu jika dibandingkan dengan tahun 2022 sekitar 800 ribu kelahiran. Jika kita kaitkan angaka penurunan kelahiran ini juga berhubungan dengan angka pernikahan yan terus mengalami penurunan sejak beberapa tahun terakhir. Bukan tidak mungkin Indonesia tidak mengalami krisis dan dampak yang sama, bahkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik per awal tahun 2024 ini angka pernikahan di usia produktif mengalami penurunan. Data dari BPS sendiri sekitar 68% pemuda-pemudi usia produktif belem menikah. Berdasarkan data BPS juga mengatakan bahwa pada 2023 jumlah pernikahan usia produktif hanya sekitar 1.5 juta hal jika dibandingkan tahun 2022 angka tersebut mengalami penurunan sekitar 128 ribu.
Isu krisis populasi tidak bisa diremehkan, hal ini memiliki dampak yang luas terhadap aspek-aspek kehidupan manusia, jika populasi dunia terus menurun tentunya akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi, akibat dari berkurangnya usia angkatan kerja yang produktif, permintaan terhadap konsumsi menjadi rendah serta menyebabkan ketidakseimbangan secara demografis antara generasi ke generasi karena jumlah penduduk dengan rentang usia tua lebih banyak dibanding usia muda, dan dampak lainnya adalah menurunnya tingkat kreatifitas dan inovasi terhadap IPTEK, seperti yang kita ketahui penduduk usia produktif memiliki pemikiran lebih terbuka dan kreatif dibandingkan usia tua.
Bahkan tren tidak memiliki anak atau child free sudah banyak digadang-gadangkan oleh penduduk usia muda terutama di Negara Korea Selatan karena Korea merupakan negara dengan angka kelahiran bayi terendah di dunia, menurut mereka tidak memiliki anak artinya tidak memiliki tanggungan dan beban yang harus dipikul. Jika kita kaitkan dengan konsep Tuhan sendiri anak merupakan rezeki maupun anugerah yang Tuhan titipkan pada dua insan manusia yang terikat dalam sebuah pernikahan. Dalam islam sendiri terdapat dalam Quran surah Al-Furqan: 74. " Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami penyejuk mata dari pasangan dan keturunan kami serta jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa ". Bahkan dalam Islam sendiri memiliki anak yang bertaqwa merupakan jalan menuju surga yang kekal abadi. Dalam kristen terdapat pada pasal 1:27 dalam Alkitab Kristen, menyatakan bahwa Allah yang maha segalanya telah menciptakan "laki-laki dan perempuan" dan memberikan mereka perintah untuk "beranak cucu." Dalam konteks ini, perkawinan dan memiliki anak dianggap sebagai bagian dari rencana Allah untuk manusia. Bahkan manusia sendiri tercipta sebagai makhluk sosial, membutuhkan orang lain serta tidak bisa hidup seorang diri, Tuhan menciptakan manusia terutama laki-laki dan perempuan untuk berpasang-pasangan.
Jika kita kaitkan dengan pemikiran Kiegard, merupakan seorang filsuf yang spiritualis dan taat kepada Tuhan-nya, ia meyakini bahwa Tuhan berperan penting dalam kehidupan ini, dan iman merupakan pilihan yang subjektif yang harus dijalankan oleh setiap individu. Walaupun secara konsep kehidupan manusia berhak menentukan jalan hidupnya masing-masing termasuk pernikahan dan memiliki keturunan. Manusia memiliki kebebasan absolut untuk memilih, namun pilihan tersebut juga harus didasarkan pada iman dan religiusitas terhadap Tuhan.
Berdasarkan data, rentang usia muda yang sedang mengalami pertumbuhan berkisar antara usia 16 hingga 30 tahun, dan berdasarkan data KBBN Indonesia usia ideal menikah untuk laki-laki 25 tahun, sementara perempuan 21 tahun. Tentunya ada sebab dan akibat mengapa usia muda tidak ingin melahirkan anak atau bahkan menunda-nunda pernikahan, secara general alasan yang diungkapkan adalah biaya hidup yang semakin mahal dan meningkat, seperti biaya pendidikan anak, asuransi kesehatan dan bagi perempuan sendiri dengan menikah dan memiliki anak mereka khawatir akan memperhambat karir yang sedang dijalani nya. Saat ini anak muda lebih memiliki pemikiran yang matang dan kritis mengenai pernikahan dan anak, jika dibandingkan dengan zaman leluhur kita dahulu, usia pernikahan sangat dini bahkan banyak yang lulus SMP usia sekitar 14 tahun sudah menikah dan memiliki anak, di Indonesia sendiri beberapa daerah seperti NTB, Kalimantan, Sulawesi dan beberapa daerah-daerah terpencil (desa) masih terdapat pernikahan dini, namun jika di kota-kota besar sudah sangat jarang ditemukan. Seiring dengan berkembangnya zaman pernikahan dini sudah semakin berkurang jika kita bandingkan dengan belasan tahun bahkan puluhan tahun yang lalu. Kasus perceraian dan kegagalan memilih pasangan juga turut menjadi ke-khawatiran para pemuda-pemudi untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan, namun konsep pernikahan sendiri menurut para filsuf seperti Arsitoteles beranggapan bahwa pernikahan merupakan bagian dari struktur sosial yang lebih besar. Baginya, pernikahan merupakan aturan maupun kaidah yang mengatur hubungan antara pria dan wanita untuk tujuan reproduksi dan pengasuhan anak-anak. Pernikahan harus dijalani berdasarkan prinsip-prinsip kebajikan, persahabatan, serta saling menghormati.Karena konsep pernikahan sendiri merupakan hal yang sangat sakral disaksikann para keluarga, saksi serta kita sebagai insan telah berjanji dihadapan Tuhan.
Namun disisi lain, krisis demografi juga memiliki sudut pandang yang positif, dengan berkurangnya jumlah manusia akan menjadikan kualitas hidup menjadi lebih maksimal dan berkurangnya juga beban terhadap sumber daya akibat dari populasi yang berkurang. Dapat kita simpulkan juga krisis demografi merupakan masalah yang cukup serius walaupun terdapat hal positif di dalamnya. Perlunya pemikiran yang matang dan terkonsep sebelum memulai bahtera rumah tangga, peran pemerintah juga dibutuhkan seperti meningkatkan kualitas Pendidikan dan kesehatan terutama perihal kesehatan reproduksi, menggaungkan perihal kesetaraan gender agar terutama para wanita yang ingin memiliki keturunan tidak serta merta merasa dirinya sudah tidak berkembang lagi. dan untuk diri setiap individu juga perlunya menjaga kesehatan serta gaya hidup, menjaga kesehatan fisik dan mental dapat membantu para orang tua memiliki keturunan yang sehat dan meningkatkan kualitas hidup keluarga. Dan yang terakhir sesuai dengan konsep pemikiran filsuf Immanuel Kant mengenai akal budi bahwa Kant percaya manusia memiliki akal budi yang memungkinkannya untuk terus belajar dan memperbaiki diri. Dalam konteks krisis demografi, akal budi bisa digunakan manusia untuk mencari solusi atas permasalahan ini, misalnya dengan kebijakan yang pro natalitas. Karena manusia juga memiliki kewajiban moral untuk memastikan keberlangsungan hidup umat manusia dimasa mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H