Tanggal 2 Mei diperingati sebagai hari Pendidikan Nasional, adanya peringatan hari ini setiap tahunnya merupakan pengakuan terhadap pentingnya aspek pendidikan bagi bangsa Indonesia. Pendidikan adalah ruh manusia Indonesia yang beradab.
**
Bicara pendidikan tentu tak terlepas dari peran guru dan dosen sebagai tenaga pendidik, kedua profesi ini merupakan garda depan pembibitan generasi Indonesia, dari mereka berbagai jenis ilmu diteruskan kepada peserta didik, interaksi sosial pun terjadi, tak hanya sekadar membangun kemampuan intelektual, tak jarang, interaksi sosial antara pendidik dengan peserta didik juga melibatkan hati. Setiap peserta didik memiliki keunikannya masing-masing.
Terkadang ada berbagai kondisi khusus yang menuntut kesabaran dan kreativitas para pendidik untuk menghadapinya. Cerita-cerita dibawah ini adalah pengalaman mereka, catatan para kompasianer yang berprofesi sebagai pendidik baik guru maupun dosen ketika melakukan tugasnya, tak hanya mentranfer ilmu, mereka membangun interaksi dengan hati.
**
Membibit Generasi dengan Hati, inilah catatan Kompasianer dalam Intisari.
"Ya Tuhan, semoga hari ini seseorang dari siswaku ada yang melanggar peraturan, misalnya terlambat masuk kelas, atau mengantuk saat saya menjelaskan."
Doa tak biasa itu diucapkan dan dituliskan oleh Seorang guru Fisika Jonny Hutahean.
Menurutnya, justru siswa-siswa bermasalah-lah yang akan membantu gurunya meningkatkan kompetensi dan kapasitas gurunya sebagai guru.
Menurutnya penting untuk melihat siswa dengan sudut pandang berbeda ketika mereka melanggar peraturan, mereka sedang mendidik gurunya. Menjadi luwes dan lebih sabar.
Sebuah sudut pandang tak biasa, tentunya membuat kita bangga dengan perspektif 'lain,' kreativitas dan kesabaran guru-guru Indonesia. Artikel selengkapnya bisa dibaca disini
2. Surat Cinta Saya untuk Mahasiswa
Ini adalah surat "Cinta" tak biasa yang ditulis seorang kompasianer dosen Aridha Prasetyauntuk para mahasiswanya, Aridha, seperti yang dia tuliskan dalam suratnya tidak pernah memberi nilai C (Cukup) kepada para mahasiswanya, menurutnya, setiap mahasiswa, sebandel apapun tetap berhak mendapat nilai Baik. Alias B bahkan B+. apa alasannya?
Surat yang ditulis Aridha, mungkin adalah pandangan tak biasa dari seorang pendidik, tapi itulah yang menjadikannya menarik untuk disimak. Seperti apa? Artikel lengkapnya bisa dibaca disini.
3. Sekolah Berasrama: Ketika Siswa Harus Dirawat di Rumah Sakit
Menjadi guru di sekolah bersistem asrama menuntut kesigapan lebih dalam menangani siswa. Itulah yang dialami Ahmad Imam Satriya, ketika salah satu siswanya mengalami sakit saat di asrama, hingga harus mendapat rawat inap di rumah sakit.
Komite asrama pun berbagi tugas, pihak poliklinik sekolah mengirimkan satu perawat untuk menemani siswa tersebut selama di rumah sakit, siang dan malam secara bergantian. Imam pun ikut membantu menjaga siswa itu dan juga menyediakan kebutuhannya seperti handuk, sarung, dan sabun cair.
"Sudah kewajiban kami sebagai sekolah asrama, dan kewajiban saya sebagai gurunya, mengurus siswa yang sakit, karena mereka jauh dari rumah selama bersekolah di asrsma." Pangkas Imam.
Sebuah potret ketelatenan seorang guru.
Cerita selengkapnya bisa dibaca di artikel tersebut.
**
Menjadi pendidik adalah ketelatenan tanpa akhir, sebuah aksi nyata untuk membangun budaya intelektual juga perjuangan kemanusiaan yang tak pernah habis untuk memanusiakan manusia. Mereka yang membibit generasi dengan hati, itulah sebagian di antaranya.
Selamat Hari Pendidikan Nasional,
Salam Kreatif!
*Tulisan sejenis lainnya bisa dibaca dalam tag Intisari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H