"Rezeki itu misteri, mati itu pasti."
Begitu bunyi sebuah ungkapan yang menegaskan satu hal yang sudah pasti dalam hidup adalah mati. Seperti itu juga yang tertuang dalam kitab suci. Pramudya Ananta Toer pun pernah bertutur: hidup ini sederhana, yang hebat-hebat adalah tafsirannya, termasuk tafsiran dari yang hidup tentang kematian. Seorang Politisi terkemuka di bumi Indonesia pernah berujar bahwa mati adalah keuntungan, sementara Seksphire lewat karya monumentalnya Romeo dan Juliat menyiratkan seolah mati adalah jalan untuk menyatukan cinta.
Bagaimana pun dalam setiap zaman, kematian selalu  punya kisah, kepiluan dan kesakralannya sendiri, perjalanan manusia menuju alam baqa selalu menjadi cerita yang menarik untuk diproyeksikan dalam karya fiksiÂ
Di Kompasiana pun demikian. Di ujung Pedang waktu yang nyaris menumpas Agustus menuju matinya, sebelum Agustus menghabisi diri malam nanti, para Kompasianer sudah lebih dulu membincang mati di ranah fiksi sepanjang bulan ini, kadang getir, kadang satir tapi tiap kisah memiliki akhir akarnya sendiri-sendiri.
Agustus dan cerita-cerita yang pupus, inilah kumpulan fiksi mati ala Kompasianer:
1. Bagaimana Mati dengan Bertanggung Jawab
Seorang lelaki yang ketakutan tak berani pulang setelah ia memilih lari dari rumah selama setengah dasawarsa.
Sebuah fiksi berbalut tragedi domestik dikisahkan oleh Ikhwanul Halim lewat ceritanya yang ini, Ikhwanul seolah menegaskan jika hidup harus berani dijalani meski risikonya adalah dimaki karena Saat kamu takut, ketakutan itulah yang akan membunuh perlahan.
Selain itu apa oleh-oleh yang kau bawa ketika pulang setelah jauh merantau benarkah hantaran nyawamu menjadi pemberian paling layak?
Simak kisah selengkapnya di artikel tersebut.
2. Undangan Kematian Dewa Arjuna
Cinta bisa menjadi pelindung sekaligus pemangsa termasuk merenggut nyawa. Dilema cinta segilima berbalut ranah akademik dialirkan oleh Anjani Ekidalam cerpennya. Mengambil genre misteri domestik, cerita ini menggulirkan sejumlah  pertanyaan menarik untuk direnungkan bukankah hidup adalah setinggi-tingginya cinta Sang Maha pada manusia? Haruskah sebegitu mudah berakhir hanya karena rebutan cinta antar manusia?Â
Baca kisah selengkapnya di artikel tersebut.
"Di sini, semua serba mahal, kecuali nyawa"
--
Begitu kutipan Agustinus Wibowo dalam bukunya berjudul Selimut Debu yang mendokumentasikan catatan perjalanannya menembus Afganistan.Â
Sementara, di Indonesia, seorang penulis lain, Seorang kompasianer bernama Rustian Ansori mendokumentasikan fenomena 'murahnya nyawa' di negeri kita lewat sebuah puisi berjudul terbunuh yang menceritakan seorang laki-laki yang terputus hidupnya karena perkara uang seribu rupiah.
Fiksi tragedi kemanusiaan yang memiriskan hati, tapi merupakan fenomena yang amat mungkin terjadi kala sebagian dari kita gelap mata dan menjadi hakim yang kehilangan hati di jalanan.
"...Rintih hujan semakin deras membasahi tubuh tergeletak.."
Bait selanjutnya bisa dibaca di artikel tersebut.
**
Membincang mati barangkali bukan hanya perkara surga atau neraka. Barangkali dalam kata berhuruf empat tersebut ada yang lebih dalam dari sekedar meninggalkan dunia fana, tentang proses, kenang yang tertinggal antara liang dan kunang. Tentang ziarah ingatan dan berjuang menghayati sang hidup selama nafas belum pupus.Â
Agustus dan deru nafas yang pupus itulah ragam fiksi mati ala Kompasianer. Tentang jalan kembali dan proses akhir berbalut pelajaran dan tragedi yang terurai dalam fiksi.
Salam Kreatif!
*Penulis masih belajar mohon koreksinya :)
*Tulisan sejenis lainnya bisa dibaca dalam tag Intisari :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H