Baca kisah selengkapnya di artikel tersebut.
"Di sini, semua serba mahal, kecuali nyawa"
--
Begitu kutipan Agustinus Wibowo dalam bukunya berjudul Selimut Debu yang mendokumentasikan catatan perjalanannya menembus Afganistan.Â
Sementara, di Indonesia, seorang penulis lain, Seorang kompasianer bernama Rustian Ansori mendokumentasikan fenomena 'murahnya nyawa' di negeri kita lewat sebuah puisi berjudul terbunuh yang menceritakan seorang laki-laki yang terputus hidupnya karena perkara uang seribu rupiah.
Fiksi tragedi kemanusiaan yang memiriskan hati, tapi merupakan fenomena yang amat mungkin terjadi kala sebagian dari kita gelap mata dan menjadi hakim yang kehilangan hati di jalanan.
"...Rintih hujan semakin deras membasahi tubuh tergeletak.."
Bait selanjutnya bisa dibaca di artikel tersebut.
**
Membincang mati barangkali bukan hanya perkara surga atau neraka. Barangkali dalam kata berhuruf empat tersebut ada yang lebih dalam dari sekedar meninggalkan dunia fana, tentang proses, kenang yang tertinggal antara liang dan kunang. Tentang ziarah ingatan dan berjuang menghayati sang hidup selama nafas belum pupus.Â
Agustus dan deru nafas yang pupus itulah ragam fiksi mati ala Kompasianer. Tentang jalan kembali dan proses akhir berbalut pelajaran dan tragedi yang terurai dalam fiksi.
Salam Kreatif!
*Penulis masih belajar mohon koreksinya :)