Mohon tunggu...
Syifa Ann
Syifa Ann Mohon Tunggu... Penulis - Write read sleep

Alumni Sosiologi, Penyuka Puisi | Pecinta Buku Nonfiksi & Kisah Inspirasi. | Pengagum B.J Habibie. | Pengguna K'- Mobilian. | Addicted With Joe Sacco's Books. | Risk Taker. ¦ A Warrior Princess on Your Ground. | Feel The Fear, and Do It Anyway :)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Fenomena Marah-marah pada Media

29 Mei 2017   15:26 Diperbarui: 29 Mei 2017   19:59 878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi @ Shutterstock"][/caption]

Media harusnya menjadi sumber informasi bagi masyarakat, bukan obyek luapan kemarahan. Tapi, apa yang sedang terjadi pada masyarakat kita saat ini? Sebagian masyarakat Indonesia sedang bergerak ke arah mudah marah. Sebagian masyarakat kita begitu marah pada hal-hal yang masih sumir kebenarannya. Termasuk marah-marah pada media.

Sekarang ini seiring dengan menghangatnya suhu politik di Indonesia, sikap kritis masyarakat pun mulai tumbuh. Masyarakat mulai skeptis terhadap hal-hal dan kondisi di sekitarnya. Banyak orang yang mempertanyakan atau meragukan kondisi disekitarnya dan berusaha menemukan jawaban atas kondisi tersebut. Sayangnya, sikap kritis itu terpecah lagi menjadi dua. Kritis murni dan kritis sesuai selera.

Kritis murni itu baik, tentu saja. Dengan bersifat kritis murni, kamu akan bisa melihat suatu hal dari banyak sisi yang akan meluaskan pandanganmu. Nah yang berbahaya adalah kritis sesuai selera. Orang yang kritis sesuai selera ini hanya akan kritis terhadap apa yang bertentangan dengan dirinya. Kritis sesuai selera ini menciptakan marah-marah. Termasuk marah-marah pada media.

Boikot, Usir dan Keruntuhan Nalar

Sekarang coba ingat-ingat, seberapa sering kamu melihat tagar untuk memboikot atau mengusir sebuah media menghiasi lini masamu? Akhir-akhir ini hal itu cukup sering terjadi. Bahkan pada sebuah aksi yang diklaim berjalan damai baru-baru baru ini, ajakan pemboikotan, pengusiran dan himbauan untuk "Tak usah liput kami" pada beberapa media masih saja terjadi. Untuk kelengkapan tulisan ini, harap dimaklumi, saya harus secara terang-terangan menyebut dan menuliskan nama-nama media yang pernah menjadi korban seruan boikot, ajakan usir dan himbauan untuk tak meliput. Media-media tersebut adalah Metro TV, Kompas TV dan Kompas.com ketiga media itu dinilai sebagian orang menyudutkan, mengecilkan dan mengganggu suatu kelompok tertentu dalam pemberitaannya. Tekanan sebagian masyarakat muncul hingga munculah ajakan boikot, himbauan tak meliput dan seruan usir tersebut. Pendeknya sebagian masyarakat sedang marah-marah pada media dan sekarang banyak orang terjangkit fenomena seperti itu. Menghakimi media karena memberitakan tak sesuai selera mereka. Lucunya, sikap yang katanya kritis dan demi kebenaran tersebut hanya diterapkan kepada beberapa media tertentu.

Dalam padangan saya yang juga masih belajar ini, fenomena marah-marah pada media dengan mengusir dan memboikot apalagi memaki awak pekerjanya adalah hal bar-bar yang tidak berdasar.

Sederhananya: jka suatu media dianggap jelek oleh sebagian orang, apa lantas semua yang terkait dengan media itu menjadi salah total? Sebrapa sering kamu melihat tagar boikot media ini, usir media itu terbaca di lini masamu, rasional ajakan itu?
Apa karena satu media jelek dalam persepsi sebagian orang, lantas semua yang terkait dengan media itu pasti jelek seluruhnya? Pasti anti ini anti itu, mana data valid untuk bisa menilai seperti itu? Mari sama-sama membuka pikiran, biasakan meneliti sebelum marah-marah dan meneliti pun bukan untuk marah-marah, tapi untuk mencari tahu dengan teknik yang terarah.

Misalnya, dalam ilmu komunikasi massa, memang dikenal adanya sebutan bias media, tapi untuk mengatakan sebuah media itu bias, anda perlu meneliti tentang itu untuk menguji kebenarannya. Teliti sebelum marah-marah. Jangan sekedar berasumsi.

Misalnya, jika Kompas dan Metro TV memberitakan pembubaran HTI apa lantas mereka anti terhadap Islam? Jika ada yang bilang iya, sudahkah anda meneliti kebenaran asumsi tersebut minimal menonton kedua TV itu sebulan penuh? Sudah belum? atau mau tidak? Kalau jawabannya belum dan ogah, itu artinya anda hanya marah-marah. Kenapa? Karena contohnya jelas HTI sekarang bubar, dan peristiwa bubarnya HTI jelas memiliki nilai berita dan wajar jika sejumlah media berlomba-lomba meliputnya, karena memang sedang hangat. Itu saja. Adalah ngwur jika mencap sebuah media anti sesuatu hanya karena media itu meliput 'Sad moment' dari sebuah pristiwa.

Yang tak kalah uniknya, bahkan ada orang yang mencap orang lain sebagai "kendor iman" "kurang agama" dll, hanya karena melihat media apa yang dia baca, tonton dan tulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun