Sinetron dibuat sebagai produk hiburan. Kisah-kisah yang disajikan dalam drama khas televisi ini biasanya menyasar segmentasi kaum Hawa dengan kisah-kisah menguras air mata yang sekaligus diharapkan atau dipaksakan menjadi hiburan di tengah padatnya aktivitas sehari-hari. Potret layar sinetron Indonesia umumnya berkutat pada jalan cerita dan hal yang itu-itu saja; cinta, pacaran, perselingkuhan, rebutan pacar, rebutan warisan, anak tiri disiksa, jerat hutang, kemiskinan, dan selalu hal-hal semacam itu.
Jarang ada ide baru dan segar yang diangkat ke layar kaca. Miskinnya proses kreatif, adanya sistem kejar tayang, serta persaingan dalam keseragaman tema membuat banyak sinetron Indonesia dewasa ini alih-alih menghibur, justru meluputkan beberapa hal dalam jalan cerita yang diusung.
Apa saja hal-hal yang sering diluputkan dalam sinetron kita? Inilah sebagian di antaranya.
1. Akal Sehat
Akal sehat sepertinya telah lama mati atau sengaja dibiarkan mati dalam sinetron kita. Baru-baru ini dalam sebuah sinetron Surga yang Kedua yang sedang tayang di SCTV beredar vedeo boneka Hello Kitty yang direbus di panci yang membuat panik sebuah keluarga-- seluruh anggota keluarga dalam sinetron itu menangis dan panik. Nah yang tak masuk di akal: untuk apa boneka direbus dan sebegitu paniknya sebuah keluarga melihat boneka itu direbus.
Untuk menuju keberhasilan ada prosesnya. Untuk menjadi kaya, ada prosesnya. Pun untuk jatuh cinta juga ada prosesnya. Tapi dalam kebanyakan sinetron kita di Indonesia ini, proses itu diluputkan. Seringkali pada jalan cerita sinetron, menjadi kaya begitu mudah. Seseorang bisa menang lotre atau menemukan harta karun dadakan. Bahkan, pada sinetron Khanza yang pernah tayang di RCTI, seorang kondektur bus bisa diangkat menjadi direktur secara tiba-tiba karena diketahui dia mendapat warisan.
Pun sama untuk urusan cinta. Jatuh cinta di dalam sinetron begitu mudahnya dan tanpa proses. Seorang cowok bisa jatuh cinta dengan cewek yang ditemuinya di dalam mall, kenalan kemudian pacaran dengan pendekatan singkat, lalu menikah. Kebanyakan sinetron kekinian kita seperti itu; meluputkan proses hingga terkesan menjual mimpi. Padahal, di dunia nyata yang normal semua pencapaian dalam hidup pasti ada prosesnya.
Celakanya gaya hidup tanpa proses ala sinetron tersebut sekarang mulai banyak menjangkiti masyarakat kita. Padahal, tentu saja kehidupan nyata tidak seindah dan semudah kisah dalam sinetron.
3. Kompleksitas Manusia
Dalam kebanyakan sinetron Indonesia sekarang ini, kompleksitas sifat manusia direduksi sebatas setan-malaikat, patuh-jalang. Ada tokoh antagonis dalam cerita sinetron yang jahatnya seperti setan; tega melakukan apa saja demi mencapai tujuannya, bahkan membunuh. Di sisi lain ada tokoh protagonis yang selalu diam jika ditindas, berlaku tanpa cela seperti malaikat bahkan memaafkan orang yang dengan sengaja membakar rumahnya. Sampai di sini, sinetron telah mereduksi karakter dan kompleksitas manusia sebatas setan dan malaikat, yang juga menjadikan nilai moral seperti kerangkeng-- sebatas hitam-putih.
Alih-alih menghibur, sinetron Indonesia kebanyakan justru menjadi bentuk baru dari "ceramah" kepada khalayak, ceramah yang terkadang justru disisipi bentuk bullying kepada kelompok rentan seperti difabel. Lagi pula dalam kehidupan nyata tak ada manusia sempurna seperti malaikat, juga tak ada manusia yang terus-menerus jahat seperti setan. Setiap manusia punya dua sisi dan fluktuasi di antara kedua sisitersebut dan inilah yang diluputkan kebanyakan (sinetron) kita.
4. Keragaman Masalah
Dalam kebanyakan sinetron Indonesia, masalah yang ada direduksi sebatas status soaial. Apa pun pengembangan ceritanya muaranya masih selalu sama; kaya-miskin seolah orang kaya selalu jadi raja dan orang miskin selalu membawa masalah. Itulah wajah kekinian kebanyakan sinetron kita.
5. Harga Diri
Terutama harga diri wanita yang ironisnya sering kali dilucuti sendiri oleh tokoh wanita dalam sinetron. Ada tokoh perempuan yang justru mengaku-ngaku hamil karena direnggut keperawanannya oleh lelaki yang ia kejar cintanya--sesuatu yang menurut saya sangat merendahkan martabat seorang perempuan dan ironisnya ada artis perempuan yang mau-maunya berlakon seperti itu.
Contoh lain, adegan perempuan miskin berjongkok, berlutut memohon sesuatu kepada satpam atau orang kaya juga masih sering jadi menu yang disajikan sinetron kita. Sampai di sini, industri sinetron kekinian telah meluputkan satu hal lagi; harga diri manusia terutama kaum Hawa.
**
Pertanyaannya, kapan zaman keemasan hiburan yang satu ini akan berakhir? Sampai kapan industri televisi kita akan merayakan kematian akal dan kemanusiaan dengan dalih hiburan? Jawabannya entah kapan yang jelas butuh jalan panjang yang tidak instan.
Mungkin literasi (konten) televisi bisa menjadi solusi yang tentunya dimulai dari diri sendiri, remot di tangan Anda.
Salam Kreatif!
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H