Dalam kebanyakan sinetron Indonesia sekarang ini, kompleksitas sifat manusia direduksi sebatas setan-malaikat, patuh-jalang. Ada tokoh antagonis dalam cerita sinetron yang jahatnya seperti setan; tega melakukan apa saja demi mencapai tujuannya, bahkan membunuh. Di sisi lain ada tokoh protagonis yang selalu diam jika ditindas, berlaku tanpa cela seperti malaikat bahkan memaafkan orang yang dengan sengaja membakar rumahnya. Sampai di sini, sinetron telah mereduksi karakter dan kompleksitas manusia sebatas setan dan malaikat, yang juga menjadikan nilai moral seperti kerangkeng-- sebatas hitam-putih.
Alih-alih menghibur, sinetron Indonesia kebanyakan justru menjadi bentuk baru dari "ceramah" kepada khalayak, ceramah yang terkadang justru disisipi bentuk bullying kepada kelompok rentan seperti difabel. Lagi pula dalam kehidupan nyata tak ada manusia sempurna seperti malaikat, juga tak ada manusia yang terus-menerus jahat seperti setan. Setiap manusia punya dua sisi dan fluktuasi di antara kedua sisitersebut dan inilah yang diluputkan kebanyakan (sinetron) kita.
4. Keragaman Masalah
Dalam kebanyakan sinetron Indonesia, masalah yang ada direduksi sebatas status soaial. Apa pun pengembangan ceritanya muaranya masih selalu sama; kaya-miskin seolah orang kaya selalu jadi raja dan orang miskin selalu membawa masalah. Itulah wajah kekinian kebanyakan sinetron kita.
5. Harga Diri
Terutama harga diri wanita yang ironisnya sering kali dilucuti sendiri oleh tokoh wanita dalam sinetron. Ada tokoh perempuan yang justru mengaku-ngaku hamil karena direnggut keperawanannya oleh lelaki yang ia kejar cintanya--sesuatu yang menurut saya sangat merendahkan martabat seorang perempuan dan ironisnya ada artis perempuan yang mau-maunya berlakon seperti itu.
Contoh lain, adegan perempuan miskin berjongkok, berlutut memohon sesuatu kepada satpam atau orang kaya juga masih sering jadi menu yang disajikan sinetron kita. Sampai di sini, industri sinetron kekinian telah meluputkan satu hal lagi; harga diri manusia terutama kaum Hawa.
**
Pertanyaannya, kapan zaman keemasan hiburan yang satu ini akan berakhir? Sampai kapan industri televisi kita akan merayakan kematian akal dan kemanusiaan dengan dalih hiburan? Jawabannya entah kapan yang jelas butuh jalan panjang yang tidak instan.
Mungkin literasi (konten) televisi bisa menjadi solusi yang tentunya dimulai dari diri sendiri, remot di tangan Anda.
Salam Kreatif!