Apa yang terlintas di pikiran Anda ketika mendengar kata difabel? Orang cacat, tidak bisa mandiri, kelainan tertentu dan sebagainya. Apapun yang terlintas dalam benak anda harus diakui bahwa kaum difabel adalah kaum minoritas dalam pikiran kebanyakan orang. Ya banyak orang yang berfikir bahwa mereka yang berbeda adalah beban, satu-satunya obyek belas kasihan hingga layak terdiskriminasi atau bahkan dikucilkan.
Terdengar menyakitkan, namun pola pikir semacam itu masih ada dan bersarang di benak sebagian masyarakat Indonesia. Mulai dari sekolah, dunia kerja bahkan layar kaca!
Pola pikir diskriminatif terhadap kaum difabel di zaman ini juga diamini oleh industri televisi khususnya sinetron. Dalam beberapa sinetron di layar kaca kita 'kecacatan yang disandang difabel dijadikan faktor penjaja iba, bahkan inti masalah dalam cerita. Konstruksi cerita dari beberapa sinetron yang pernah dan sedang tayang di Indonesia kebanyakan menempatkan difabel sebagai orang 'berbeda' yang tidak bisa apa-apa, lemah, sumber masalah, dan bahkan dibenci, dan pada bagian yang lain sekaligus ditempatkan sebagai sentral iba.
Contohnya pada sinetron Surat Kecil Untuk Tuhan The Series yang pernah ditayangkan RCTI pada medio 2013 silam, sinetron sepanjang 81 episode ini mengangkat kisah Keke, anak penderita kanker yang harus menjalani aktivitas sekolah dengan duduk di atas kursi roda akibat penyakitnya, selama berada di sekolah, Keke selalu mendapat ejekan dari Angel teman sekelasnya yang selalu mengolok-olok Keke dengan kata-kata "Remaja mau mati" dan "bayi gede" Kata-kata yang mengkonstruksikan seorang difabel sebagai mahluk lemah, merepotkan dan membawa masalah.
Potret lain dari sinetron yang mengkonstruksi difabel sebagai pembawa masalah terdapat dalam Sinema Pagi bertajuk "Aku Benci Anakku yang Buta" yang ditayangkan Indosiar pada Mei 2016 silam, sinetron ini menceritakan seorang ayah yang tidak terima anaknya terlahir dalam kondisi tuna netra. Sang ayah lalu membuangnya karena dianggap anak pembawa sial. Miris. Layar kaca mengkonstruksi difabel tuna netra sebagai pembawa sial dan pantas dibuang.
Orang-orang lemah, pembawa masalah, merepotkan dan terbuang, Begitu kebanyakan sinetron yang tayang di layar kaca kita mengkonstruksi kaum difabel. Di sisi lain, kaum difabel seringkali diposisikan sebagai penjaja iba dalam beberapa program bergenre reality show bahkan berita di layar kaca. Ada difabel yang ditanya-tanya tentang penyakitnya, dikorek hingga tumpah air matanya hanya untuk menjaring air mata baru: air mata pemirsa. Simpati dan empati yang seringkali menjadi pancing untuk meningkatkan rating program. Difabel dikonstruksi sebagai obyek penderita yang wajar untuk dikasihani dan didiskriminasi.
Sebuah konstruksi pemikiran yang sebenarnya bertentangan dengan Pedoman Prilaku Penyiaran dan standar Progran Siaran (P3-SPS) yang dikeluarkan oleh KPI tahun 2012. dalam P3-SPS tersebut pada bab 10 terlampir pasal tentang Perlindungan Kepada Orang-orang dan Kelompok Masyarakat tertentu.
Pasal 15 ayat 1 C yang berbunyi: