Mohon tunggu...
Syifa Ann
Syifa Ann Mohon Tunggu... Penulis - Write read sleep

Alumni Sosiologi, Penyuka Puisi | Pecinta Buku Nonfiksi & Kisah Inspirasi. | Pengagum B.J Habibie. | Pengguna K'- Mobilian. | Addicted With Joe Sacco's Books. | Risk Taker. ¦ A Warrior Princess on Your Ground. | Feel The Fear, and Do It Anyway :)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

[Catatan Tepi] Konstruksi Difabel di Layar Kaca Kita

26 November 2016   13:35 Diperbarui: 26 November 2016   16:53 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang terlintas di pikiran Anda ketika mendengar kata difabel? Orang cacat, tidak bisa mandiri, kelainan tertentu dan sebagainya. Apapun yang terlintas dalam benak anda harus diakui bahwa kaum difabel adalah kaum minoritas dalam pikiran kebanyakan orang. Ya banyak orang yang berfikir bahwa mereka yang berbeda adalah beban, satu-satunya obyek belas kasihan hingga layak terdiskriminasi atau bahkan dikucilkan.

Terdengar menyakitkan, namun pola pikir semacam itu masih ada dan bersarang di benak sebagian masyarakat Indonesia. Mulai dari sekolah, dunia kerja bahkan layar kaca!

Pola pikir diskriminatif terhadap kaum difabel di zaman ini juga diamini oleh industri televisi khususnya sinetron. Dalam beberapa sinetron di layar kaca kita 'kecacatan yang disandang difabel dijadikan faktor penjaja iba, bahkan inti masalah dalam cerita. Konstruksi cerita dari beberapa sinetron yang pernah dan sedang tayang di Indonesia kebanyakan menempatkan difabel sebagai orang 'berbeda' yang tidak bisa apa-apa, lemah, sumber masalah, dan bahkan dibenci, dan pada bagian yang lain sekaligus ditempatkan sebagai sentral iba.

Contohnya pada sinetron Surat Kecil Untuk Tuhan The Series yang pernah ditayangkan RCTI pada medio 2013 silam, sinetron sepanjang 81 episode ini mengangkat kisah Keke, anak penderita kanker yang harus menjalani aktivitas sekolah dengan duduk di atas kursi roda akibat penyakitnya, selama berada di sekolah, Keke selalu mendapat ejekan dari Angel teman sekelasnya yang selalu mengolok-olok Keke dengan kata-kata "Remaja mau mati" dan "bayi gede" Kata-kata yang mengkonstruksikan seorang difabel sebagai mahluk lemah, merepotkan dan membawa masalah.

Potongan sinetron Surat kecil untuk tuhan (Arsip Kpi Pusat 2013)
Potongan sinetron Surat kecil untuk tuhan (Arsip Kpi Pusat 2013)
Lebih dari itu, kata-kata tersebut sangat tak pantas diucapkan kepada orang yang sedang sakit, juga tidak pantas ditiru anak-anak atau siapapun. Bagaimana bisa mendoakan orang untuk mati atau kasarnya "Orang sakit mati saja" Ampun! hasilnya, dari 81 episode penayangannya, sinetron ini mengantongi 6 "surat cinta" tak berturut-turut dari KPI sepanjang 2013 silam. Surat cinta yang tak juga membuat jera, buktinya kemarin (25/11/16) jam tiga pagi, RCTI menayangkan ulang sinetron ini.

Potret lain dari sinetron yang mengkonstruksi difabel sebagai pembawa masalah terdapat dalam Sinema Pagi bertajuk "Aku Benci Anakku yang Buta" yang ditayangkan Indosiar pada Mei 2016 silam, sinetron ini menceritakan seorang ayah yang tidak terima anaknya terlahir dalam kondisi tuna netra. Sang ayah lalu membuangnya karena dianggap anak pembawa sial. Miris. Layar kaca mengkonstruksi difabel tuna netra sebagai pembawa sial dan pantas dibuang.

Sinema pagi indosiar aku benci anaku yang buta ¦arsip Kpi pusat
Sinema pagi indosiar aku benci anaku yang buta ¦arsip Kpi pusat
Senada dengan Indosiar, RCTI juga mengulang kembali penayangan sinetron bertema demikian. Sebuah FTV yang ditayangkan berjudul Anak yang Terbuang ditayangkan pada Oktober 2016 silam ceritanya masih seputar orang tua yang tidak terima anaknya terlahir pincang dan akhirnya diserahkan kepada pembantunya untuk diaku anak dan diasuh.

Sinema TVM RCTI Anak yang dibuang ¦arsip Kpi Pusat
Sinema TVM RCTI Anak yang dibuang ¦arsip Kpi Pusat
**

Orang-orang lemah, pembawa masalah, merepotkan dan terbuang, Begitu kebanyakan sinetron yang tayang di layar kaca kita mengkonstruksi kaum difabel. Di sisi lain, kaum difabel seringkali diposisikan sebagai penjaja iba dalam beberapa program bergenre reality show bahkan berita di layar kaca. Ada difabel yang ditanya-tanya tentang penyakitnya, dikorek hingga tumpah air matanya hanya untuk menjaring air mata baru: air mata pemirsa. Simpati dan empati yang seringkali menjadi pancing untuk meningkatkan rating program. Difabel dikonstruksi sebagai obyek penderita yang wajar untuk dikasihani dan didiskriminasi.

Sebuah konstruksi pemikiran yang sebenarnya bertentangan dengan Pedoman Prilaku Penyiaran dan standar Progran Siaran (P3-SPS) yang dikeluarkan oleh KPI tahun 2012. dalam P3-SPS tersebut pada bab 10 terlampir pasal tentang Perlindungan Kepada Orang-orang dan Kelompok Masyarakat tertentu.

Pasal 15 ayat 1 C yang berbunyi:

"Lembaga penyiaran wajib memperhatikan dan melindungi hak dan kepentingan (dari) orang-orang dengan kondisi fisik tertentu".

"Potongan p3sps kpi tahun 2012 bab 10 pasal 15 tentang perlindungan LPS terhadap difabel¦ Capture P3sps Kpi
"Potongan p3sps kpi tahun 2012 bab 10 pasal 15 tentang perlindungan LPS terhadap difabel¦ Capture P3sps Kpi
Tentunya pengejawantahan poin melindungi di sini termasuk dengan tidak mengolok-olok difabel dalam isi dan produksi siaran. Namun entah! Sepertinya layar kaca kita masih cacat untuk memahami hal dasar yang demikian: bahwa perlindungan dan kesempatan adalah hak kaum difabel yang kini dilunturkan dari layar kaca hingga diskriminasi sebagai kewajaran menjadi makanan sehari-hari yang dicerna pikiran kita: pemirsa layar kaca.

Jadi, Siapa yang cacat sebenarnya? Mereka yang difabel atau (sebagian) tayangan layar kaca kita?

"The only disability in life is a bad attitude". - Scott Hamilton.

Salam Kreatif!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun