Lain lagi dengan Abraham yang meninggalkan tanah kelahirannya Ethiopia, yang hampir sepanjang tahun dilanda kelaparan dan situasi keamanan yang tidak menentu. Ibunya meninggal ketika usianya masih 8 tahun. Papar Tjipta.
Namun pengalaman getir tak menghalangi mimpi dan prestasi mereka, pada Mei 2014 silam, ketiga remaja itu mendapatkan beasiswa Teu Mung dan Abraham mendapatkan :” Friends of Zainab Scholarships,” sedangkan Benedict mendapatkan “Malala Yousafzai Scholarships.”
Artikel yang menarik, untuk ulasan selanjutnya bisa dibaca di artikel tersebut.
4. Samin Pengungsi yang Sukses Jadi Tukang Jahit di Roma
Sebuah sisi lain pengungsi sekali lagi dipaparkan oleh Gordi, dalam artikelnya Gordi menulis sosok Samin, Pengungsi yang sukses memulai hidup baru dengan menjadi tukang jahit di Roma Italia.
Dia adalah Samin pria lahir dan hidup di kota Mazar-i-Sharif, Afganistan. Kota ini adalah kota terbesar ketiga di Afganistan. Penduduknya sekitar 693.000 orang pada 2015 yang lalu. Tulis Gordi
Sayangnya, kota eksotis tersebut menjadi kacau balau akibat perang antara Afghanistan dan pasukan Taliban. Perang yang berlangsung terus-menerus membuat banyak warga kota terpaksa harus mengungsi, termasuk Samin.
Samin berhasil melewati liku-liku hidupnya yang panjang. Dari Afganistan ke Italia. Tak sedikit tantangan yang ia hadapi dalam perjalanan panjang ini sebelum akhirnya berlabuh di kota Roma, ibu kota negara Italia dan memulai hidup baru sebagai penjahit. Sebuah kehidupan yang jauh dari perang.
**
Ditengah maraknya krisis pengungsi dunia dan stigma negatif sejumlah negara terhadap pengungsi, ragam tulisan di atas menyiratkan sekelumit cerita lain tentang sejarah pengungsi yang berhasil di negeri orang. Mereka adalah satu dari sekian banyak pengungsi yang berlabuh tanah harapan dan mencoba memulai hidup baru yang lebih baik, berharap menjadi rakyat yang makmur, aman, dan damai dalam hidup.
Berstatus pengungsi tidak menghalangi tekad yang kuat untuk mengubah nasib. Pengungsi berprestasi dalam catatan kompasianer, itulah intisarinya.
Lewat ragam cerita di atas seolah mengingatkan kita bahwa mereka ada, dan serangan bom sekalipun tidak mampu melunturkan harapan dan cinta di hati manusia.
Salam Kompasiana!
*Penulis masih belajar, mohon koreksinya :)
*Tulisan sejenis lainnya bisa dibaca dalam tag Intisari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H