Saya selalu suka membaca buku-buku bertema perang dan konflik, baik fiksi maupun nonfiksi. Bagi saya, ada sisi kekuatan dan kemanusiaan yang bisa diambil dari membaca buku-buku bertema seperti itu. Selalu ada momen titik balik yang bisa dipetik dari kisah sebuah konflik. Tentang bagaimana sebuah pertikaian berdarah bisa memberi makna baru bagi kehidupan seseorang, sekalipun diejawantahkan dalam sastra berupa sebuah kisah fiksi, ataupun nonfiksi.
Salah satu buku bergenre perang yang saya baca adalah buku-buku anggitan Joe Sacco. Buku-buku Sacco kebanyakan bergenre komik nonfiksi dari hasil reportase dengan sejumlah judul, di antaranya Footnote From Gaza dan Zona Aman Gradozide. Joe Sacco adalah kartunis sekaligus jurnalis spesialis reportase konflik yang membuat liputannya bukan liputan biasa, karena selain mengemas liputannya dengan wawancara mendalam, Joe Sacco bekerja sama dengan patnernya Chris Hedges juga mengemas liputan tersebut dalam bentuk grafis komik.
Dalam usaha mencari bahan liputan, Joe Sacco mengembara dari satu tragedi ke tragedi lain di Gaza: Menyampaikan pesan para gerilyawan, mencatat tangis para ibu yang kehilangan rumah, suami, dan anak-anak yang di penjara ataupun dibunuh. Dalam kesaksiaannya, Joe juga menyaksikan penggusuran besar-besaran di Raffah, dan ia pun menyaksikan dengan mata kamera; ada serangan Israel membunuh warga Palestina, sementara pengebom bunuh diri membunuh warga Israel di tempat lain. Semua itu dituturkan Joe Sacco dalam bukunya dengan narasi dan sketsa yang mengena.
Semua periatiwa dalam buku ini dilukiskan dengan detail dan seolah terus berlangsung seakan tiada jeda di Gaza. Ketika satu tragedi usai, tragedi lainnya menimpa, tapi Gaza masih ada juga ada kehidupan di sana hingga hari ini. Buku ini sekaligus menjadi potret lain kekuatan masyarakat Gaza.
Buku lain yang saya baca masih mengenai zona perang adalah The Seven Good Years anggitan Etgar Keret. Bagi Etgar, hidup di wilayah konflik tidak selalu identik dengan hal-hal buruk. Memang Etgar bukanlah pihak yang berkonflik secara langsung. Ia hanya seorang dosen, penulis dan bapak satu anak yang tinggal di Tel Aviv Ibukota Israel, dan seperti yang diketahui bersama, Israel sedang berkonflik dengan Palestina. Pertikaian tak berkesudahan yang berdampak bagi kedua belah pihak, juga dunia secara umum.
Etgar Keret bersama keluarga kecilnya yang tinggal di Tel Aviv sebuah kota yang sering menjadi sasaran roket perang dan kerap meninggalkan pengalaman tak biasa, bahkan tak jarang membuat paranoid. Tapi dengan cerkas, Etgar mampu menuliskan 'penderitaannya' sehari-hari secara jenaka kemudian catatan itu dibukukan dan ironisnya ia beri judul The Seven Good Years. Merayakan tahun ketujuh pernikahannya dengan menuliskan kenang-kenangan. Tulis Etgar pada salah satu bagian bukunya.
**
Kisah-kisah perang selalu tentang korban dan mereka yang bertahan sekaligus bersaksi di hari kemudian. Entah kesaksian nyata yang apa adanya, atau pengalaman yang difiksikan berangkat dari kenyataan. Dari sinilah kisah-kisah perang lahir dan pada akhirnya bisa kita baca. Di mana sebuah perang bisa menjadi abadi dalam catatan di antara kertas dan tinta.
Itulah dua dari cukup banyak buku yang saya baca tentang perang dan konflik, Saya punya mimpi untuk meliput ke daerah-daerah konflik, menulis dan membukukannya suatu saat kelak. Itu mimpi saya dalam angan-angan yang entah! Butuh banyak persiapan sebelum diwujudkan, semoga akan ada waktunya.
**
Bagi saya, membaca buku-buku bergenre perang dan konflik adalah meraba titik balik dan semangat manusia, mereka yang bertahan dalam kondisi tersulit dan serba minim tapi masih mampu merayakan hidup.