Mohon tunggu...
Syifa Ann
Syifa Ann Mohon Tunggu... Penulis - Write read sleep

Alumni Sosiologi, Penyuka Puisi | Pecinta Buku Nonfiksi & Kisah Inspirasi. | Pengagum B.J Habibie. | Pengguna K'- Mobilian. | Addicted With Joe Sacco's Books. | Risk Taker. ¦ A Warrior Princess on Your Ground. | Feel The Fear, and Do It Anyway :)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Penulis Pakai Nama Pena? Pertimbangkan Bahasa dan Pembaca!

4 Oktober 2016   17:22 Diperbarui: 5 Oktober 2016   05:21 1022
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

○ [caption caption="Ilustrasi: Akun twitter @SheQuates"][/caption]

Dalam dunia tulis menulis, seorang penulis yang menggunakan nama samaran atau nama pena tentu bukan hal asing lagi.

Mengapa para penulis memakai nama pena? Tentu tak mudah menjawabnya, sebab setiap orang punya alasan masing-masing. Ada yang demi branding buku atau tulisan, ada yang untuk strategi marketing, ada yang kurang percaya diri dengan nama asli dan sebagainya. Tentu sah-sah saja jika seorang penulis menggunakan nama pena untuk menulis di mana saja, termasuk di Kompasiana. Istlahnya siapapun namamu, suka-suka lu!

Tapi jika kita menulis untuk pembaca dan untuk dibaca kerumunan orang, tentu si penulis tidak akan sembarangan memilih dan menggunakan nama pena, tentu yang ada di Pikirannya adalah kenyamanan dan ingatan pembaca ketika mendengar namanya.

Sebuah nama pena bisa membangun citra, dengan sebuah nama pena tentu akan ada kesan tersendiri untuk pembaca. Lebih dari itu, jika kita ambil contoh di Kompasiana, pemilihan nama pena menjadi bagian dari sopan santun dan netiket berdunia maya.

Demi kesan yang baik dan berkelanjutan, seorang penulis pasti akan memilih nama pena yang nyaman di telinga pembaca, juga yang bermakna baik tentunya, yang tidak menyusahkan pembaca ketika berinteraksi dengannya atau merujuk tulisannya. 

Contoh "Rumah Kayu", tentu sebuah nama pena yang enak didengar jika dibandingkan dengan nama "Kursi reyot." Syukurlah akun yang benar-benar ada dan menulis di Kompasiana kita ini bernama "Rumah Kayu", bukan "Kursi Reyot" dan tulisan-tulisan dari akun Rumah Kayu Pun juga enak dibaca dan mengalir.

Tapi sayangnya, di Kompasiana masih ada saja penulis yang menggunakan nama pena yang nyeleneh alias slonong boy seperti dalam capture ini. Entah apa maksudnya, silahkan baca dan nilai sendiri.

[caption caption="Salah satu akun nyeleneh di kompasiana"]

[/caption]

[caption caption="Bikin susah pembaca"]

[/caption]

Bikin Susah

Bagi saya pribadi, penggunaan nama pena seperti dalam 2 capture tersebut menyusahkan pembaca.

Nah pembaca harus sebut mereka apa kalau ada saatnya berinteraksi dan membalas komentar? Untuk sering-sering menyebut dan menuliskan dua nama pena di atas bagi saya tidak mungkin. Karena rasis, nyeleneh dan terkesan merendahkan. Bagaimana mungkin membalas komentar dengan bilang:

"Iya, sepakat denganmu, Dasar Bego! Atau, 

"Terima kasih, Papua Israel"

Nah itu menyusahkan pembaca. Lagipula Papua kok disamakan dengan Israel, Piye, Jal?

Selain menyusahkan pembaca umum, nama-nama pena seperti capture di atas juga menyusahkan tim Konten Kompasiana, misalnya jika kebetulan ada tulisan dari nama-nama pada capture, yang dianggap layak masuk kurasi konten mingguan di Kompasiana, di mana admin akan menempatkan nama mereka, sementara akun official Kompasiana tidak mungkin memuat nama yang punya unsur rasis dan membodoh-bodohkan orang.

Nah iya kalau masih bisa dilacak nama asli si penulis, masih bisa disingkirkan itu nama pena. Tapi kalau tidak? Itu kan sama saja mengejek orang dan bikin repot. Bikin repot pembaca.

Di titik ini, penulis dengan nama pena yang "antah berantah" sudah mempermalu dirinya sendiri secara sukarela!

Sah-sah saja

Jika seorang penulis memilih menggunakan nama pena, tapi tolong pilih nama pena yang enak didengar, dibaca dan diucap. Pertimbangkan pembaca dan perhatikan bahasa.

Karena huruf dan kata-katamu bisa jadi sayapmu, kelak dia bisa menerbangkanmu atau membuatmu menukik tajam, contohnya sudah terlalu banyak!

Be Wise,
Salam Kreatif!

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun