[caption caption="Api (dok detik.com)"][/caption]Indonesia sebagai negara dengan beragam suku, agama dan golongan menjadi cukup rentan terhadap konflik dan kerusuhan Perbedaan adat, pandangan, kebiasaan dan terkadang provokasi kerap menjadi pemicu meletusnya bentrokan antar kelompok masyarakat dengan bermacam isu.
71 tahun Indonesia merdeka, beberapa konflik yang pernah terjadi melengkapi dinamika perjalanan negara, rezim kuasa berganti dengan pemilu 5 tahun sekali, tapi sejarah tercatat di berbagai tempat sebagai pengingat: meskipun berdarah letusan konflik itu pernah ada dan Indonesia tidak lupa.
Berikut beberapa letusan konflik paling mengerikan yang pernah terjadi di Indonesia dalam ingatan warga. Ada ragam cerita, kesaksian pengalaman dan kenangan ketika mereka para warga biasa mau tak mau harus berhadapan dengan zona merah: konflik agama, etnis dan wilayah. Melalui tulisan di Kompasiana, para saksi warga berbagi ingatan, kenangan, pengalaman dan cerita dari ragam peristiwa konflik berdarah yang pernah mereka saksikan. Sebagian dari tuturan mereka terekam dalam kata.Nah, inilah intisarinya:
1. Mei 1998 dalam Ingatan Saya
Krisis moneter berkepanjangan di tahun 1998 berujung pada aksi kerusuhan pada penghujung rezim Orde Baru kerusuhan yang memanjang menjadi konflik etnis antara Tionghoa dan Pribumi.
Saat kerusuhan berdarah itu terjadi, Yayat yang sedang dalam kondisi hamil 8 bulan nyaris terjebak dalam huru-hara yang terjadi. Waktu itu ia bekerja sebagai staf keuangan di sebuah perusahaan komputer yang berkantor di dalam arena PRJ Kemayoran. Seperti biasa ia melakukan aktivitas rutin di Kantor. Mengurus tagihan dan laporan.
Sekitar pukul 1 siang sekembali Yayat dari makan siang, seorang kurir kantornya yang sedang mengurus tagihan di daerah Jembatan Lima bilang, disana macet luar biasa dan dikhawatirkan dia tak bisa kembali sebelum jam 3 sesuai jadwalnya. Entah macet karena apa, banyak jalan ditutup. Papar Yayat.
Lanjut Yayat, tiba-tiba jam 2 siang, ada pengumuman dari pengelola Arena PRJ bahwa para karyawan tak diperbolehkan untuk meninggalkan gedung sementara waktu. Langsung para karyawan kantor Yayat, juga karyawan dari perusahaan lain panik luar biasa.
Yayat dan banyak teman kantornya saat itu sibuk saling bertanya. Tapi tak ada yang bisa memberi jawaban. Belum sempat pimpinan mereka mengkonfirmasi hal ini kepada pengelola, ada pengumuman lanjutan bahwa di luar arena PRJ telah terjadi beberapa pembakaran, dan Yayat ada di lantai 3 gedung itu. Teman kantor Yayat yang sedang melihat keluar dari jendela kaca berteriak, kepulan asap hitam di beberapa tempat yang menjadi penyebabnya.
"Jantung saya serasa berdegup lebih kencang dari biasanya". Kenang Yayat.
Dari teman IT yang mencari tahu lewat internet dan bertanya pada teman-temannya, tahulah mereka bahwa di luar sana telah terjadi kerusuhan. Banyak mobil yang dibakar.
Sekitar pukul 15:30 di Mei kelabu itu, Yayat memberanikan diri untuk pulang dengan dibonceng motor temannya, dalam perjalanan pulang Di perkampungan di daerah Senen, Yayat melihat sesuatu yang tak pernah ia bayangkan terjadi.
"Orang-orang sedang menyerbu sebuah Supermaket. Berbelanja? Bukan! Mereka sedang mengambil barang barang dari dalam Supermaket itu. Sebagian lagi menimpuki kaca-kacanya dengan batu. Penjarahan!" Kenang Yayat.
Pengalaman yang mencekam, memori seumur hidup. Untuk ulasan selanjutnya bisa dibaca di artikel tersebut.
2.Mengenang Kerusuhan Sampit, 2001
Konflik Etnik berdarah juga pernah terjadi di Sampit pada Febuari 2001.
Melalui tulisannya pada 2011 lalu, Rusnani Anwar mencoba kembali menapak tilas konflik etnis Sampit yang terjadi pada medio Febuari 2001.
Ketika peristiwa itu terjadi, Nani adalah seorang wartawati disebuah koran lokal di Sampit, dalam kiprahnya sebagai wartawati saat itu ia menemukan bahwa media massa dilarang menyebut peristiwa 18 Februari 2001 dengan istilah ‘kerusuhan’, ‘perang etnis’ maupun ‘pertikaian adat’.
Kemudian atas perintah redakturnya, Nani kemudian memutuskan untuk mempublish tulisan dengan memphalus kalimat dengan sebutan ,"Konflik Etnik".
Dalam tulisannya di Kompasiana Nani memaparkan, bahwa tahun 2001 adalah puncak kerusuhan, sebenarnya kerusuhan itu dimulai sejak tahun 1999,konflik awal terjadi pada tahun 1999, tepatnya 23 September malam, sebuah perkelahian di tempat karaoke yang berlokasi di perbatasan Tumbang Samba menewaskan Iba Tue, seorang Dayak Manyan yang dibantai oleh sekelompok suku Madura. Warga Dayak yang kesal karena Iba Tue tidak bersalah meninggal kemudian melakukan pembalasan dengan membakar rumah dan ternak suku Madura di Tumbang Samba.
Diawali kejadian sepele tersebut, pembakaran melebar hingga nyaris ke seluruh desa. Saat itu upaya pemerintah adalah dengan mengevakuasi warga Madura. Sebanyak 37 warga Madura diungsikan keluar dari wilayah konflik (Tumbang Samba) untuk mencegah kemungkinan munculnya korban yang lebih besar. Dan keadaan semakin memanas, lanjut Nani.
Artikel yang menarik, kaya pengalaman seorang wartawan, untuk ulasan selanjutnya bisa dibaca di artikel tersebut.
3. Suasana Aceh Semasa Konflik
Aceh sempat menjadi wilayah membara pada medio tahun 2000an awal akibat konflik antara TNI dan kelompok separatis GAM.
Dalam ingatan Win Wan Nur, di masa konflik dulu, tanggal 4 Desember biasanya adalah hari yang 'istimewa' bagi warga yang tinggal di Aceh.
Tanggal 4 Desember menjadi 'istimewa' karena hari itu adalah Milad atau ulang tahun GAM. Pada tanggal itu suasana di Aceh yang sudah mencekam menjadi jauh lebih mencekam dibanding biasanya karena aparat keamanan yang ditugaskan oleh negara untuk memberantas gerakan seperatis di Aceh selalu menjadi lebih aktif memeriksa setiap orang yang melintas di Jalanan.
Biasanya pada tanggal itu warga lebih memilih diam di dalam rumah sambil sesekali terkaget-kaget mendengarkan suara ledakan atau rentetan letusan senjata. Selain tanggal 4 Desember, tanggal istimewa lain adalah tanggal 17 Agustus. Sebagaimana tanggal 4 Desember, tanggal ini pun pada masa itu selalu dijadikan sebagai hari perlombaan unjuk pengaruh antara dua kekuatan bersenjata yang ada di negeri ini. Kenang Win.
Pada masa Konflik dahulu, Biasanya para aparat itu akan serta merta memukuli setiap pemuda yang mereka temui ketika melakukan sweeping itu, dan serta merta pula para Pemuda itu dituduh sebagai simpatisan atau anggota GAM. Biasanya setelah hal semacam itu terjadi, beberapa hari kemudian pasukan GAM akan turun melakukan penghadangan terhadap aparat militer untuk membalas perlakuan aparat terhadap warga. Imbuhnya lagi
Apa yang dilakukan GAM ini rupanya cukup mendapat simpati dari rakyat Aceh. Para pemuda yang sebelumnya dipukuli aparat militer karena dituduh sebagai anggota GAM pun banyak yang akhirnya benar-benar bergabung dengan GAM, tidak sedikit diantara mereka yang bergabung yang berpikir "bukan GAM saja dipukuli karena dituduh GAM, mending jadi GAM beneran, paling tidak, tidak mati konyol". Dengan kekuatan yang semakin besar, saat itu secara de facto GAM menguasai hampir seluruh daerah pingiran yang jauh dari pusat-pusat kekuatan militer Indonesia. Lanjut Win.
Mencekam dan mengerikan, untuk cerita selengkapnya bisa dibaca di artikel tersebut.
**
Konflik yang pernah terjadi di bumi Indonesia menjadi catatan sejarah yang mendewasakan perjalanan NKRI 71 tahun lamanya. Itulah beberapa catatan konflik berdarah yang terekam dalam ingatan Kompasianer. Ragam tulisan yang menjadi pengingat dan pelajaran. Semoga peristiwa pertikaian berdarah tidak kembali berulang.
Damai Indonesia!
Salam Kompasiana!
*Penulis masih belajar, mohon koreksinya :)
*Tulisan sejenis lainnya bisa dibaca dalam tag Intisari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H