Mohon tunggu...
Syifa Ann
Syifa Ann Mohon Tunggu... Penulis - Write read sleep

Alumni Sosiologi, Penyuka Puisi | Pecinta Buku Nonfiksi & Kisah Inspirasi. | Pengagum B.J Habibie. | Pengguna K'- Mobilian. | Addicted With Joe Sacco's Books. | Risk Taker. ¦ A Warrior Princess on Your Ground. | Feel The Fear, and Do It Anyway :)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Perempuan September

30 Juli 2016   20:25 Diperbarui: 1 Agustus 2016   06:39 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber gambar thoughtcatalog.com"][/caption]

"Bagiku September itu seperti bola-bola kapas, dibagi sepuluh, dilempar-lempar dan akhirnya hancur berantakan."

Arina perempuan September meski awal hidupnya tidak dimulai pada bulan sembilan itu. Baginya senja September selalu tirus lambang harap yang tergerus, hangus.

September belum bosan-bosannya mengeja neraka dalam hidup perempuan itu. September yang pernah amat manis dan ia percaya, justru melesatkan meteor tepat ke jendela kamarnnya, membawakannya duka dan deru kereta sembilan kuda.

Namun September pula yang mengajarinya jadi tabah, dan dewasa, lebih tabah dari hujan bulan Juni. Kini rasa bersalah dan rindu itu tak punya tempat lagi selain di hadapan pusara.
--
September 1 tahun silam,
Kobar rindu di dada Arina tak mampu lagi dibendung teduh Bandung.

"Kamu ke sini atau kita putus!" Bentak Arina pada Dimas kekasihnya yang tinggal di Surabaya, suara gadis itu meninggi di sebrang telepon.

"Sabar ya Rina, sayang, aku lagi banyak deadline. Bulan depan aku ke Bandung, oke?" Dimas berusaha tetap tenang.

"Kamu mikirin deadline kerjaan kamu, itu aja terus, tapi kamu gak mikirin deadline hubungan kita, ke sini atau sudah! 7 bulan kita gak ketemu, jomblo aja sekalian!" Arina merajuk.

"Oke Aku ke sana weekend ini, kalau dapat tiket kereta, sudah jangan ngambek, jelek tahu" Balas Dimas.

"Pasti dapat asal mau cari" Tukas Arina.

"Bukan cari Na, beli dong, tiket kereta kan bukan pokemon, mana ada yang kasih kalau cuma cari," canda arek Suraboyo itu.

"Sesukamu, yang penting ke sini minggu ini." Sambar Arina.

"Iya aku cari terus beli, kan gak mungkin aku ke sana merangkak." Goda Dimas.

Oke, gitu dong sayang, awas ya jangan mangkrak," suara Arina berubah senang di ujung telepon.
--
Akhir minggu itu, Jumat malam, Dimas menempuh 13 jam perjalanan Surabaya-Bandung, kereta api Turangga jadi kuda semberani yang akan mengantarnya bertemu Arina di Kota kembang. Tiket sudah di tangan, sebersit kelegaan terlintas di hati Dimas.

Di setiap deru roda kereta, terbayang olehnya wajah Arina, perempuan yang akan dinikahinya dalam waktu dekat itu akan tersenyum menjemputnya di Stasiun Cimindi, selanjutnya mereka akan minum bandrek susu berdua, minuman favorit Dimas.
--
Sore itu di Stasiun Cimindi, Bandung.

Tubuh jangkung Dimas berlari semangat melihat lambaian tangan Arina dari kursi tunggu di seberang peron. Duar! Tiba-tiba kereta berkecepatan tinggi menerjang tubuh Dimas yang langsung roboh seketika.

Dimas meregang nyawa di depan mata Arina, pertolongan medis masih sempat didapatnya, kepalanya dihadiahi 10 jahitan sesaat setelah dilarikan ke rumah sakit, namun tambalan benang seteril dan perban itu tetap tak mampu memberi Dimas hidup lebih lama.

Dimas Pergi sejauh-jauhnya, Arina menangis sejadi-jadinya kini jarak cinta mereka sedekat pusara, sekadung tanah, namun sejauh dua dunia. 

Jarak antar kota yang pernah dikutuk Arina telah berganti menjadi jarak abadi. Kota kembang sesuai namanya, benar-benar menaburkan kembang pada istirahat Dimas yang terpanjang.
--
Sekarang ujung Juli, Arina membatin, menghitung. Dua jengkal lagi September datang, bulan yang menjatuhkan bintangnya.

Dimaasss.. Kalau kamu ke sini antar nyawa, buat apa!

Ngapain kamu beli tiket kereta bawah tanah!

Mata Arina penghujan. Mengenang dan menggenang, sekujur tubuhnya memeluk hampa udara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun