-Â [caption caption="SGA Saksi Mata (Dok Pri)"][/caption]
Seno Gumira Ajidarma- Selanjutnya ditulis SGA, nama yang malang melintang di dunia sastra itu, sebelumnya adalah kuli tinta untuk sejumlah media. Pasca efek sebuah berita pada masanya, SGA lantas berputar melewati jalan sastra, mantan redaktur majalah Jakarta Jakarta itu menumpahkan darah dalam buku Saksi Mata. Buku yang berisi 16 cerpen bertema konflik ini dibubuhi lukisan cairan merah itu dalam tiap-tiap kisah. Kelam, mengerikan, namun luar biasa.
Sastra itu membebaskan. Barangkali itu yang Ingin dikatakan Seno Gumira Ajidarma lewat kumpulan cerpen bertajuk Saksi Mata. Pada 1992, SGA dilepaskan dari tugasnya sebagai Redaktur Pelaksana majalah Jakarta Jakarta karena pemberitaan terkait insiden Dili. Hal itu mendorong penulisan sejumlah cerita tentang insiden tersebut, barangkali sebagai pengalihan dari ketakutan dan kemarahannya. Insan pers pada masa itu memang terpasung tirani.
Ambruknya harapan, rusaknya kemanusiaan, kesepian yang mencekam, kemarahan dan darah dilukiskan SGA lewat kata-kata dalam kanvas buku setebal 155 halaman ini. Hati-hati dengan sepi, rindu dan dendam bisa jadi sedemikian mengerikan. Hal ini dituangkan SGA dalam salah satu cerpennya berjudul Telinga, ceritanya tentang seorang tentara di medan perang yang mengirimkan potongan-potongan telinga pada pacarnya, oleh sang kekasih telinga itu dipajang di ruang tamu sebagai simbol kehebatan pria-nya dan obat kangen!
Betapa rindu bisa jadi sesuatu yang satir ditangan seorang SGA. Makanya kalau rindu jangan merajuk, nanti dikirimi telinga yang terpotong.. Hii!
Sementara bagaimana jika kamu menanti seseorang selama setahun di depan jendela rumahmu, namun begitu ia datang mengharapkan pelukanmu, ketampanan dan kegagahannya tak ada lagi, tak kamu kenal lagi sebab ia datang dengan baju compang-camping dan mata yang hampir buta, apa yang kamu rasa? Akankah kamu mengusirnya karena merasa tak kenal, atau mencoret namanya dari kartu keluarga? Itulah yang dilakukan Maria pada anaknya sendiri, sipil yang dihajar habis-habisan oleh tentara dan dibiarkan pulang mengenaskan setelah setahun. Ironi seorang Ibu yang menanti, dikemas SGA dalam cerpen Maria. Sentimentil!
Sisanya, Kemarahan, ketakutan dan protes SGA atas Insiden berita Jakarta-Jakarta yang berujung pemecatannya seolah dituangkan dalam cerpen berjudul Saksi Mata - yang juga didapuk menjadi judul besar kumpulan cerpen ini, dan juga Klandestin. Setidaknya pada dua cerpen itu, saya menangkapnya begitu, ada curahan hati penulisnya di dalam cerita yang dikemas satir namun rapi.
Dalam Saksi Mata SGA menceritakan seorang saksi kunci yang dicongkel matanya oleh sekelompok orang, namun sang saksi kunci merasa kejadiannya cepat sekali seperti dalam mimpi. Tapi ia tetap pergi ke pengadilan untuk bersaksi atas apa yang telah ia saksikan. Karena ingatannya tidak Ikut terbawa bersama matanya, seorang Saksi Mata tanpa mata masih bisa bersaksi, begitupun Seno, tanpa majalah Jakarta Jakarta pun ia tak kehabisan cara mencerita peristiwa Dili yang masih begitu dekat di mata dan ingatannya, dan lewat Saksi Mata, SGA melakukannya dengan jalan sastra.
[caption caption="Petikan cerpen Saksi Mata SGA Capture: Google Books"]
Selanjutnya ada cerpen bertajuk Klandestin, bercerita tentang intrik kuli tinta dan ruang redaksi. Dalam cerpen itu, ada satu kalimat tajam yang dituliskan SGA:
"Aku hanya perlu membebaskan pikiranku dari ideologi (yang merasa)paling sempurna". Sebuah cerita yang ditulis dengan semangat perlawanan.
Masih ada Manuel dan 11 cerpen lainnya dalam buku itu yang lebih seru jika dibaca sendiri.
Saksi mata memang bukan buku tentang kewartawanan, namun sedikit banyak, buku ini menggambarkan dunia seorang wartawan pada masa Orde Baru di mana penulisan berita begitu dibatasi pada masa itu.
Sebagian nama tokoh dalam cerpen-cerpen SGA dalam buku itu menggunakan nama Timur Leste- Timur- Timor sebelum hilang. Karena memang disitulah ujung tombak cerita, gambaran konflik Dili dalam sastra. Sebuah jalan lain seorang wartawan untuk bercerita, menyamarkan berita dibalik berita tentang apa yang tak seluruhnya termuat di media.
"Keangkuhan yang merasa diri paling benar, itulah peghinaan terbesar pada kemanusiaan yang harus dibantai." Tukas SGA dalam Klandestin.
Memang benar kata SGA, jika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara.
Menarilah lewat fiksi, jika nyatamu terlalu sulit untuk bicara.
Perjuangan manusia, jurnalisme, sastra, konflik dan fiksi diracik ngeri namun senikmat kopi dalam buku ini.*
*Sebaiknya buku ini dibaca oleh umur 17 tahun ke atas
Sekilas Data Buku
Judul: Saksi Mata
Pengarang: Seno Gumira Ajidarma
Penerbit: Bentang Pustaka (Cetakan ulang 2016)
Salam Kreatif!
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H