28 Juni 2016 adalah hari yang istimewa bagi Harian Kompas. Tahun ini Kompas memasuki usia ke-51 tahun. Usia yang cukup matang, bahkan jika ia adalah manusia, di usia tersebut mestinya ia sudah menikmati kesuksesan secara finansial atau kesuksesan hidup yang jauh lebih baik. Bahkan bagi sebagian kalangan usia tersebut adalah saatnya menikmati hidup dengan karier yang bersinar dan kehidupan keluarga yang sudah mapan.
Berawal dari ide Jenderal Ahmad Yani, maka lahirlah koran mingguan Bentara Rakyat melalui Petrus Kanisius (PK) Ojong dan Jakob Oetama pada 28 Juni 1965. Tak lama, Bentara Rakyat berubah menjadi koran harian nasional dengan nama koran Kompas, yang hingga kini masih merajai dunia media massa Indonesia.
28 Juni 1965 koran berslogan Amanat Hati Nurani Rakyat itu terbit untuk pertama kalinya. Kini lebih dari lima dasawarsa setelahnya, Harian Kompas masih ada, di usia penerbitan yang menginjak tahun ke-51, Harian Kompas telah dan terus bertumbuh bersama Indonesia menjadi teman, melewati zaman dari generasi ke generasi hingga saat ini.
Lalu bagaimana memandang usia ke-51 bagi sebuah media cetak nasional terbesar di Indonesia atau mungkin di Asia Tenggara ini? Apakah benar Kompas sedang memasuki masa 'pensiun', mundur teratur dari jagad media cetak nasional?
Tentang harian Kompas di dari masa ke masa, rasanya banyak cerita mewarnai Indonesia, sebagian di antaranya bertebaran di Kompasiana, dari beberapa Kompasianer yang membagikan tulisannya, sekumpulan cerita tersaji di ranah Kompasiana, inilah intisarinya:
- Jurnalisme Kepiting a la Kompas
Lebih dari 5 dasawarsa usia penerbitannya, Harian Kompas telah menapaki jalan panjang dalam dunia jurnalisme sehingga harus pandai-pandai menyiasati arus kekuasaan dari era Orde Baru hingga reformasi. Jalan siasat yang ditempuh kompas untuk mempertahankan eksistensinya lama kelamaan dikenal dengan sebutan Jurnalisme Kepiting.Istilah ini bukan merujuk kepada sebuah aliran jurnalisme di dunia ini, melainkan hanya sebuah sindiran yang dilontarkan kepada harian umum Kompas pada era akhir 1970-an. Papar Yudha P. Sunandar dalam tulisannya.
Adalah Rosihan Anwar, tokoh pers Indonesia yang pertama kali melontarkan sindiran “jurnalisme kepiting” tersebut. Pasalnya, Kompas lebih memilih jurnalisme yang lebih lembut dan dinamis, dibandingkan surat kabar pada masanya yang menganut jurnalisme keras dan sarat kritik tajam terhadap pemerintahan Soeharto. Jalan jurnalisme yang lebih halus ini diambil setelah Kompas dibredel selama tiga pekan oleh pemerintahan Soeharto pada awal 1978. Saat itu, Jakoeb Oetama berusaha fokus untuk membangun strategi agar Kompas bisa kembali hadir dan melayani publik.
Sebagai konsekuensinya, Kompas harus menaati sejumlah larangan yang digariskan oleh Orde Baru dalam melakukan tugas jurnalismenya. Meskipun dikritik oleh tokoh pers dan ditentang oleh sebagian awak redaksinya, strategi inilah yang kemudian membuat Kompas bisa mencapai usianya yang ke-50 tahun pada Juni 2015 lalu.
Rikard Bangun, pemimpin redaksi Kompas 2009-2014, menjelaskan bahwa jurnalisme kepiting merujuk kepada pemberitaan redaksi yang selalu memaksimalkan pemberitaan hingga ambang batas. Ketika mulai ada teguran, kemudian ketajaman pemberitaan diturunkan hingga keadaan pemerintah reda. Begitu seterusnya, hingga pemerintah Orde Baru tumbang dan digantikan reformasi.
Jakob Oetama menambahkan bahwa Kompas berusaha lebih dinamis usai dibredel pemerintah. Surat kabar tersebut menerima peringatan dari Orde Baru. Namun, mereka juga memiliki pendapat dan berusaha untuk menyuarakannya secara mandiri. "Hal yang penting adalah message (pesan) yang ingin kita sampaikan bisa sampai kepada publik dan pemerintah yang sedang berkuasa," tandas pendiri Kompas itu. Sebuah pemaparan deskriptif dari seorang Yudha P. Sunandar.
- Harian Kompas dan Perjumpaan dengan Sejumlah Makhluk Halus
Pepih Nugraha. COO Kompasiana itu telah bergabung di koran Kompas sejak tahun 1990. Dalam perjalan karirnya, ia pertama kali berada dalam Divisi Pusat Informasi Kompas. Selang 3-4 tahun, penggemar catur tersebut pindah ke Divisi Penelitian dan Pengembangan (Litbang). Akhirnya, pada tahun 1995 Pepih resmi berprofesi sebagai wartawan harian Kompas. Hingga saat ini, sudah 20 tahun lebih profesi itu ditekuninya.25 Tahun berkarya, bekerja dan mengembangkan diri di Kompas, pria kelahiran 11 Desember 1964 itu memiliki pengalaman yang tak biasa, bukan hanya ilmu kepenulisan dan kewartawanan yang di dapatnya selama seperempat abad, tetapi juga.. Perjumpaan dengan sejumlah mahluk halus. Pengalaman itu diceritakan Pepih dalam artikelnya. Beberapa di antaranya:
Menjelang tes akhir sebelum menjadi pustakawan Kompas, malang bagi Pepih yang kehabisan kamar untuk menginap di Wisma PGRI Tanah Abang.
Semua kamar penuh tamu karena sedang dipakai untuk acara pertenuan guru.
Mau tak mau terpaksa Pepih terima saja ketika petugas menawarkannya tidur di aula lantai atas dengan disediakan matras. Jadilah malam itu Pepih ditempatkan di sebuah aula yang luas dan gelap.
"Saya merasa menjadi noktah kecil saja di sudut aula besar itu. Saya heran, mengapa petugas tidak menyalakan lampu," kenang Pepih.
Dari jauh sayup-sayup terdengar kaset mengaji dari mesjid, menandakan tengah malam sudah berlalu dan akan menuju "malam kecil" atau dinihari. Baru saja kesadarannya akan hilang karena kantuk sudah mulai menyerang, tiba-tiba Pepih merasa tubuhnya terangkat, terpisah dari velbed seakan-akan menuju atap aula.
"Astaghfirullah Betul-betul badan saya terangkat dari kasur lipat dalam posisi tidur!" Kenang Pepih.
Perjumpaan lainnya antara Pepih dengan mahluk halus juga terjadi di kantor Harian Kompas, saat itu, Pepih sudah diterima menjadi pustakawan.
Menurut catatan harian Pepih, tanggal 15 Juni 1990, ia sedang menyelesaikan sebuah artikel untuk halaman opini Harian Kompas.
Pepih kemudian tertidur setelah selesai mengetik artikel. Lagi-lagi, saat tertidur pulas ia mendadak bangun karena merasa ada benda berat yang mengimpit dadanya sedemikian keras sampai-sampai ia sulit bernafas. Pepih membelalakkan mata, tetapi tidak melihat apa-apa. Anehnya, benda berat itu masih menduduki dadanya Lagi-lagi Pepih tidak bisa berteriak. Keringat dingin keluar karena menahan beban. Setelah berjuang dengan membaca ayat Kursi, barulah ia terlepas dari impitan makhluk kasat mata itu.
Artikel menarik dan menggelitik tentang jalan panjang karier seorang wartawan dan sisi lain Harian Kompas.
- Aku dan Kompas
Harian Kompas telah sejak lama menjadi bacaan utama di rumah Christie Damayanti dan keluarga sejak Christie kecil dan masih duduk di bangku sekolah dasar.Dulu, Ayahanda Christie mengajarkannya membaca koran dari mulai hanya judul-judul berita saja, karena Christie belum tertarik membaca koran waktu ia masih duduk di bangku SD. Setiap hari, ia membaca judulnya saja, ditemani ayahnya. Sesekali Christie membaca isi berita jika tertarik dengan judulnya. Dan jika ia membaca isi berita, sang Ayah mengawal untuk menerangkan isi berita itu. Maklum, kata-kata sebuah koran sangat "tinggi" waktu itu, kenang Christie.
Ketika Sang ayah pensiun tahun 1995 lalu, beralih sebagai wiraswasta di bidang konstruksi, langganan koran dihentikan KECUALI Kompas. Keluarga kecil Christie beralih langganan majalah konstruksi serta properti. Namun Kompas adalah tetap bacaan utama Sang ayah setelah jalan pagi dan juga bacaan utama Christie sebelum berangkat berkegiatan.
"Banyak berita-berita Kompas aku kliping. Selain memang hasil guntingan berita dari ayah, aku pun selalu menggunting berita untuk yang aku butuhkan, terutama kebutuhan risetku sebagai dosen dan urban planner. Dan aku menikmatinya," kenang Christie.
Keadaan sedikit berubah ketika Christie terserang stroke, Januari 2010. Ia tidak bisa membaca selama 2 bulan karena otak yang rusak tidak bisa mencerna artinya, dan sampai sekarang Christie tetap susah membaca karena syaraf matanya mengalami kelainan setelah stroke.
Apalagi membaca tulisan kecil di kolom-kolom Kompas. Dan Christie "kehilangan" bacaan wajib, koran Kompas, tetapi ia mendapat bacaan lain yaitu Kompas.com, karena jika membaca di iPad ia bisa membesar tulisan sesuai dengan kebutuhan Tetapi sang ayah tetap menggunting berita yang memang Christie butuhkan untuk kliping.
"Walau susah membaca, ayah membacakan untukku, ketika aku memang haus berita itu, atau ayah bawa loop (kaca pembesar milik mamaku)," tulis Christie.
Tahun 2013, bulan Maret Tuhan memanggil Sang ayah, Dunia Christie berubah, yang berhubungan dengan Kompas. Tidak ada lagi guntingan berita yang diberikan padanya, dan tidak ada lagi tangan untuk mengguntingkan berita. Christie menghentikan berlanggan Kompas karena tidak ada yang membaca. Jadi sekitar akhir tahun 2013, ia berhenti berlangganan Kompas.
Tetapi Tuhan merencanakan yang lain. Silaturahmi Christie dengan Kompas tetap tersambung. Karena justru sekarang ia selalu menulis di Kompasiana Sejak 12 November 2010.
"Kekuatan menulis melalui Kompas(iana) lah yang membuat aku seperti sekarang ini. Mulai menjadi penulis tetap di Kompas(iana) sampai dipanggil 3x wawancara di Kompas TV dalam acara Kompas Pagi dan Kata Kita," Papar Christie bangga.
Pemaparan yang dalam dan mengharukan.
- Menyetrika Koran Kompas
Sebuah cerita ringan dituliskan Ahmad Saukani tentang ia dan koran Kompas. Suatu pagi di Febuari 2015 Ahmad menyeterika koran Kompas.Ini bukan tamsil atau sekedar perumpamaan tapi benar-benar begitu itu adanya, pagi itu Ahmad menyetrika Koran kompas lantaran Koran tersebut hampir separuhnya basah. Siapapun tahu bagaimana adanya kertas koran kalau terkena air dan basah sedikit saja akan mudah sekali robek. Sayang rasanya Koran yang sudah terbeli kalau sampai tidak terbaca. Jarang-jarang ia beli Koran lantaran menurutnya kalau cuma berita kita bisa ia ketahui dari televisi atau buka saja portal berita di internet.
Tetapi kalau Hari Minggu, biasanya seperti ada kekuatan magis yang mendorongnya dengan suka-rela mendatangi tukang koran.
Sejak dulu koran pilihannya biasanya koran Kompas, menurut Ahmad, Hari Minggu Koran Kompas biasanya lebih berwarna dan istimewanya biasanya Kompas terbitan Minggu ada memuat cerpen dari penulis-penulis ternama yang enak dibaca dan kalaupun ada penulis pendatang baru ceritanya juga bagus terkadang penuh kejutan. Dan satu lagi TTS-nya yang jumbo itu bikin ketagihan. Paparnya.
Pagi itu Ahmad sudah keluar rumah sambil ada satu keperluan tentu saja akan mampir beli koran. Ia kayuh pelahan sepedanya gerimis tipis ia tidak peduli malah menurutnya gerimis membuat nyaman di jalan tidak perlu saling seruduk seperti hari-hari biasanya. Setelah selesai urusan dan mampir ke tukang koran, diluar dugaan hujan begitu lebat air bak ditumpahkan dari langit, koran yang tadinya cuma ia kempit, simpan di balik jaket. Tapi tidak urung setibanya di rumah, koran itu separuh kuyup.
"Bagaimana mungkin membaca koran kuyup begini, jangankan membacanya salah-salah menyentuhnya saja bisa koyak Koran tersebut," pikir Ahmad
"Akhirnya saya gosok saja koran tersebut dengan besi panas. Ya Kkran tersebut saya triska dan akhirnya licin kembali siap dibaca," kenangnya.
Cara lucu dan unik yang akhirnya sesuai harapan.
**
Lebih dari lima dasawarsa usianya, Harian Kompas bertahan melintas zaman. Menjadi saksi ragam suka duka di negeri ini sejak orde baru sampai reformasi. Ragam cerita terurai di banyak tempat, begitu pun di Kompasiana menyoal Harian Kompas yang semakin matang usianya, itulah sebagian diantaranya.
**
Harian Kompas bertumbuh bersama pembaca dari penguasa hingga warga biasa dari beragam usia. Perjalanannya menyajikan berita telah dan masih memberi warna bagi Indonesia dulu, kini dan nanti.
**
Selamat menapak usia 51, harian Kompas, Semoga semakin dewasa dan tetap melekat di hati rakyat sebagai amanat.
*Penulis masih belajar, mohon Koreksinya :)
*Tulisan sejenis lainnya bisa dibaca dalam tag Intisari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H