Mohon tunggu...
Syifa Ann
Syifa Ann Mohon Tunggu... Penulis - Write read sleep

Alumni Sosiologi, Penyuka Puisi | Pecinta Buku Nonfiksi & Kisah Inspirasi. | Pengagum B.J Habibie. | Pengguna K'- Mobilian. | Addicted With Joe Sacco's Books. | Risk Taker. ¦ A Warrior Princess on Your Ground. | Feel The Fear, and Do It Anyway :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sekelumit Cerita Lain tentang Harian Kompas dari Mata Warga Biasa

27 Juni 2016   14:36 Diperbarui: 28 Juni 2016   17:03 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

  • Aku dan Kompas
    Harian Kompas telah sejak lama menjadi bacaan utama di rumah Christie Damayanti dan keluarga sejak Christie kecil dan masih duduk di bangku sekolah dasar.

    Dulu, Ayahanda Christie mengajarkannya membaca koran dari mulai hanya judul-judul berita saja, karena Christie belum tertarik membaca koran waktu ia masih duduk di bangku SD. Setiap hari, ia membaca judulnya saja, ditemani ayahnya. Sesekali Christie membaca isi berita jika tertarik dengan judulnya. Dan jika ia membaca isi berita, sang Ayah mengawal untuk menerangkan isi berita itu. Maklum, kata-kata sebuah koran sangat "tinggi" waktu itu, kenang Christie.

    Ketika Sang ayah pensiun tahun 1995 lalu, beralih sebagai wiraswasta di bidang konstruksi, langganan koran dihentikan KECUALI Kompas. Keluarga kecil Christie beralih langganan majalah konstruksi serta properti. Namun Kompas adalah tetap bacaan utama Sang ayah setelah jalan pagi dan juga bacaan utama Christie sebelum berangkat berkegiatan.

    "Banyak berita-berita Kompas aku kliping. Selain memang hasil guntingan berita dari ayah, aku pun selalu menggunting berita untuk yang aku butuhkan, terutama kebutuhan risetku sebagai dosen dan urban planner. Dan aku menikmatinya," kenang Christie.

    Keadaan sedikit berubah ketika Christie terserang stroke, Januari 2010. Ia tidak bisa membaca selama 2 bulan karena otak yang rusak tidak bisa mencerna artinya, dan sampai sekarang Christie tetap susah membaca karena syaraf matanya mengalami kelainan setelah stroke.

    Apalagi membaca tulisan kecil di kolom-kolom Kompas. Dan Christie "kehilangan" bacaan wajib, koran Kompas, tetapi ia mendapat bacaan lain yaitu Kompas.com, karena jika membaca di iPad ia bisa membesar tulisan sesuai dengan kebutuhan Tetapi sang ayah tetap menggunting berita yang memang Christie butuhkan untuk kliping.

    "Walau susah membaca, ayah membacakan untukku, ketika aku memang haus berita itu, atau ayah bawa loop (kaca pembesar milik mamaku)," tulis Christie.

    Tahun 2013, bulan Maret Tuhan memanggil Sang ayah, Dunia Christie berubah, yang berhubungan dengan Kompas. Tidak ada lagi guntingan berita yang diberikan padanya, dan tidak ada lagi tangan untuk mengguntingkan berita. Christie menghentikan berlanggan Kompas karena tidak ada yang membaca. Jadi sekitar akhir tahun 2013, ia berhenti berlangganan Kompas.

    Tetapi Tuhan merencanakan yang lain. Silaturahmi Christie dengan Kompas tetap tersambung. Karena justru sekarang ia selalu menulis di Kompasiana Sejak 12 November 2010.

    "Kekuatan menulis melalui Kompas(iana) lah yang membuat aku seperti sekarang ini. Mulai menjadi penulis tetap di Kompas(iana) sampai dipanggil 3x wawancara di Kompas TV dalam acara Kompas Pagi dan Kata Kita," Papar Christie bangga.

    Pemaparan yang dalam dan mengharukan.

    HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    4. 4
    5. 5
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
    Lihat Humaniora Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
  • LAPORKAN KONTEN
    Alasan
    Laporkan Konten
    Laporkan Akun