Mohon tunggu...
Syifa Ann
Syifa Ann Mohon Tunggu... Penulis - Write read sleep

Alumni Sosiologi, Penyuka Puisi | Pecinta Buku Nonfiksi & Kisah Inspirasi. | Pengagum B.J Habibie. | Pengguna K'- Mobilian. | Addicted With Joe Sacco's Books. | Risk Taker. ¦ A Warrior Princess on Your Ground. | Feel The Fear, and Do It Anyway :)

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi: Mencerita Kota Berbau Kopi, Bersusun Puisi

20 Januari 2016   02:35 Diperbarui: 20 Januari 2016   17:11 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi - kota kelam (kfk.kompas.com/Urianto Wu)"][/caption]1: 

Di kota tua yang jauh, dingin  
Di mana gelap lekas datang... 
Ada namaku di salah satu sudut kota itu 

Di kota itu... 
Hujan berwarna lain 
Seseorang berjalan menangis  
Membawa beragam warna dari air matanya 

Membungkusnya dalam temaram 
Sepercik kelam yang bukan malam 

Kota adalah banjir
Rumah-rumah berdesakan
Gedung-gedung ditinggikan
Jalan air tak terpikir

Di kota itu
Udara menyusutkan diri
Seperti racun
Membuat mata rabun

Di tepi Kota itu, di sana
Ornamen sajak tersusun
Bersama senja merah
Membenam dalam tabah
Untuk kembali merekah
Esok selepas siang lelah

Semesta pun tau siapa aku:
Rembulan pucat yang bersandar di bayang lidah mentari:
Terseok menapaki malam
Beradu terang dengan bintang pari

2:
Kopi adalah ranting Tuhan
Tempat di mana mimpi mulai berbuah perlahan
Sunyi ini adalah dingin
Menghirup kopi hangat yang mulai kehilangan aroma

Di punggung wanita yang sedang menikmati kopi
Ada puisi paling sedih yang dibaca oleh sepi
Sungguh melankolisnya tersaji

Rasa pahit tercecer mencari tempatnya sendiri
Sementara jemari menari
Mengabadikan sebuah nama ke dalam puisi
Mengemas cemas sebelum pukul tiga pagi

3:
Dan ketika fajar menanda jeda
Ada yang tetiba menyelinap pergi sementara
Mungkin satu babak, dua episode atau tiga musim
Bagus!
Teruslah diam atas nama tak tega
Maka semua akan tampak lazim
Meski tak mengubah apa-apa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun