dOK Pri syifa
Basuki T. Purnama. Sosok Gubernur DKI Jakarta yang akrab disapaAhok ini kerap menuai kontroversi dengan gayanya yang khas dan ceplas-ceplos, beberapa ucapannya-pun kerap memancing polemik di masyarakat, tapi dalam catatan saya Ahok adalah orang yang sederhana diposisinya saat itu yang masih menjadi Wagub DKI Jakarta.
Begini ceritanya, November tahun 2012 saya adalah mahasiswi jurusan Sosiologi semester awal di sebuah PTN di Jakarta, saat itu saya mengambil satu paket Kartu Rencana Studi (KRS) berisi 8 matakuliah didalamnya termasuk matakuliah Sosiologi Politik yang ada pada semester tersebut. 3 minggu jelang ujian tengah semester atau UTS, dosen yang mengajar matakuliah itu memberi kami tugas membuat makalah yang disertai turun lapangan. Tema pembuatan makalah berkisar pada isu-isu terkait gejala Sosiologi Politik yang terjadi di masyarakat. Saat itu dosen tersebut membagi kelas kami menjadi 7 kelompok yang masing-masing beranggotakan 4-5 orang, penentuan tema berdasarkan undian, saya dan teman-teman satu tim saya mendapat tema DKI Jakarta. Mulailah kami berfikir apa isu Sosiologi Politik yang bisa digali dari sebuah kota "DKI Jakarta".
Saya melihat saat itu dua sosok yang sedang mencuri perhatian saat itu adalah Jokowi Ahok. 2 sosok pemimpin baru Jakarta yang saat itu baru satu bulan dilantik.
Diskusi terjadi antara saya dan tenam-teman satu tim:
"Kita Wawancara Jokowi atau Ahok tentang Jakarta secara umum saja gimana?" Usul saya.
"Intinya apa?" Timpal teman saya.
"Jakarta kan punya pemimpin baru nih, kita wawancara Jokowi atau Ahok, rencana mereka, Jakarta kedepannya ini mau dibikin seperti apa ditangan mereka." Saya menjelaskan
"Pasti mereka akan jawab yang bagus-bagus semua", timpal rekan saya.
"Ya siapa sih yang mau punya rencana yang jelek, namanya rencana kan pasti bagus semua. Nanti di makalah kita paparkan hasil wawancara kita sama pemprov, dan kita tunjukan juga realitanya Jakarta hari ini." Papar saya.
"Kita ke Walikota saja, sepertinya wawancara Walikota lebih mudah deh daripada ke Jokowi atau Ahok," Timpal teman saya.
"Walikota Mana? Walikota Di Jakarta tuh ada banyak ada Utara Selatan, Barat, Timur dan kalau wawancara ke Walikota kita harus spesifik mau bahas satu wilayah Jakarta yang mana, karena walikotanya kan beda-beda, kayaknya gak cukup waktu untuk ngumpulin data pra wawancara tentang satu wilayah. Kalau Jakarta secara umum kita masih bisa, masalah umum Jakarta itu Banjir, Macet, Tunawisma. Tanya seputar itu saja." Saya jelaskan panjang lebar.
"Kamu gak takut Syifa? Ahok kan suka marah-marah, canda teman saya.
"Yeh. Syifa bukan koruptor, jadi gak mungkin dimarahi" :D Balas saya bercanda.
"Tapi Kamu yakin Fa, bisa ketemu Jokowi atau Ahok? Rekan-rekan satu tim saya ragu-ragu."
"Optimis saja dulu" Syifa malah mau ketemu dua-duanya kalau bisa". Tandas saya.
Akhirnya disepakati bahwa tim kami akan turun lapangan mewawancarai Jokowi atau Ahok. Satu judul ditemukan dan diajukan ke Dosen.
"Menantang. Mereka baru satu bulan dilantik", komentar dosen saya.
"Iya pak justru baru satu bulan makanya judul ini masih hangat." Timpal saya.
"Ya sudah asal kalian bisa ketemu narasumbernya, tapi kalau gak bisa kalian bisa wawancara saja ke pengamat tata kota. Dosen saya memberi saran.
"Kami akan coba dulu narasumber utama", kata saya.
Saya pribadi yang memang menyukai matakuliah tersebut tertantang untuk mewawancarai Jokowi atau Ahok, atau keduanya.
Saya dan rekan rekan satu tim pun berbagi tugas ada yang mengumpulkan buku dan koran untuk bahan wawancara, ada yang bertugas menonton rekaman-rekaman wawancara Jokowi- Ahok di youtube, dll. Saya bertugas melobi orang, juga sebagai pewawancaranya - Bodoh dan nekatnya saya saat itu, saya meluputkan satu elemen penting dalam wawancara resmi yaitu surat permintaan izin wawancara dari kampus! Saya yang saat itu mahasiswa semester awal belum paham cara mengurusnya ke bagian kemahasiswaan. kampus. Nekatnya saya, surat itu saya buat sendiri atas nama saya pribadi menggunakan ketikan komputer dan logo kampus dan dengan PD nya saya minta dosen saya untuk menandatangani surat tersebut.
Dosen saya saat itu hanya tersenyum melihat surat itu seraya berkata,
"Ini bikin sendiri ya suratnya?"
"Iya pak, memangnya kenapa?" Tanya saya- Bodohnya saya saat itu belum paham kalau harus ngurus surat izinnya di bagian akademik.
"Gakpapa."
Dosen saya memberikan tandatangannya pada surat itu dan tersenyum - Senyum yang kemudian saya tahu, senyum itu akibat kenekatan mahasiswinya bernama Syifa ini.
Bermodal surat izin yang ditandatangani dosen dan daftar pertanyaan yang sudah saya susun bersama teman sekelompok, keesokan harinya pergilah saya ke rumah dinas Jokowi saat itu di Jl Taman Suropati Nomer 7 Menteng Jakarta Pusat.
Sesampainya disana, Saya bertemu dan bergabung dengan wartawan dari berbagai media yang sedang meliput suasana sekitar rumah dinas Jokowi, Permisi mbak, Saya kenalkan diri saya apa adanya sebagai mahasiswa yang ingin wawancara Jokowi Ahok untuk tugas kuliahnya.
"Waduh Syifa, kayaknya salah kamu kesini sekarang, Pak Jokowinya pergi nengok pintu air Manggarai. Ujar Icha Rastika salah satu wartawan Kompas.com saat itu. Kalau Ahok, Mungkin kamu bisa kejar ke Balai kota DKI besok, Dia ada di Balkot, datang pagi, nanti mungkin aku bisa bantu kamu untuk izin wawancara. Kata mbak Icha sambil memberikan nomer kontaknya.
"Iya mbak", saya menurut tapi masih tidak mau pulang juga, bersama para wartawan, saya memilih menunggu di rumah dinas Jokowi, siapa tahu bisa ketemu Jokowi dan wawancara.
Tunggu punya tunggu, sampai sore Jokowi tak muncul juga, akhirnya selepas maghrib saya memilih pulang, sementara mbak Icha dan wartawan lainnya masih tetap disana.
"Maaf nih mbak, gak bisa nemenin sampai malam, soalnya rumah kos saya dikunci pagarnya kalau lewat jam 11 malam. Besok kita ketemu di Balai kota ya." Pamit saya kepada mereka.
"Iya gakpapa, kamu bisa pulang sendiri kan, hati-hati ya? pesan mbak Icha.
"Iya mbak", Kata saya.
Hari itu berakhir dengan saya belum mendapat wawancara dari siapa-siapa, tapi saya senang bertemu dan berkenalan dengan banyak wartawan, sesuatu yang dikemudian hari mengantarkan saya menjadi wartawan freelance di salah satu media online untuk rublik lifestyle. :)
Keesokan harinya, saya datang pagi ke Balai Kota sesuai arahan mbak Icha, tapi mbak Icha-nya sudah mau pergi meliput Jokowi di daerah Tanah Tinggi.
"Wah mau liputan Jokowi, Ikut dong mbak", Pinta saya.
"Gak bisa Fa, Agenda kita hari ini padat banget takutnya Tanah tinggi ricuh ada relokasi", kata mbak Icha, kamu stay aja disini, tunggu Ahok, kata mbak Icha, seraya memberi kode kepada rekan-rekan wartawannya menitipkan saya.
"Titip ini mahasiswa UNJ mau wawancara Ahok, dibantu ya kalau bisa." Pinta mbak Icha.
"Iya" kata mereka."
Saya saat itu jadi tidak enak karena kesannya merepotkan sekali, tapi saya tidak punya pilihan.
Sebagian wartawan mengajak saya ikut masuk ke pers room nya Balaikota DKI. Disitulah Pos titik kumpul wartawan-wartawan Balaikota yang sedang melakukan liputan.
"Coba lihat kartu mahasiswamu", pinta seorang wartawan pada saya, saya tunjukan,
Mana surat kampusmu?", pintanya lagi.
"Ini" saya tunjukan surat yang saya bawa.
"Mana proposalmu?, pintanya lagi.
"Waduh kalau cuma ini, kalau kamu butuh cepat, kalau pakai izin resmi ke Pamdal gak akan diterima sekarang katanya, perosesnya agak panjang, deadline nya kapan?" Tanya si wartawan itu.
"Tiga minggu lagi, sudah harus dikumpulkan tugasnya." Kata saya.
"Kalau gitu kita coba pakai cara gak resmi ya, mau?" Wartawan itu tanya saya.
"Mau" Saya menurut.
Si Wartawan bernama Agus itu mengajak saya keluar ke pojokan sisi-sisi Balai Kota Jakarta, saya diajak duduk melantai layaknya wartawan yang sedang menunggu narasumber untuk wawancara doorstop.
"Nah itu orangnya, itu ajudannya Pak Ahok, saya Coba minta izin untuk kamu ke dia, tapi gak janji ya", Jelas mas Agus.
"Iya mas, makasih sudah dibantuin, kata saya.
Dalam 20 menit, entah apa yang diomongkan mas Agus ke Ajudannya Ahok itu, tapi si ajudan Ahok bernama Michael itu menghampiri saya dan bertanya,
"Mbak Mahasiswa, mau wawancara pak Wagub ya?"
"Iya" saya mahasiswa UNJ jurusan Sosiologi.", Kata saya.
"Lihat daftar pertanyaannya?" Pinta ajudannya Ahok.
"Ini."
Ajudannya Ahok itu menimbang sebentar sebelum berkata,
"Saya tanyakan dulu sama pak Wagub."
Selang setengah Jam, Ajudan Ahok bernama Michael itu keluar lagi menghampiri saya sambil bilang.
"Nanti sekitar jam 13.00 sehabis makan siang ya mbak, bapak sudah mau, tapi cepat, soalnya jam 2 Bapak mau jalan lagi agendanya, Mau?" Tanya Michael.
"Mau Mas." Ucap saya antusias.
Syukur deh bisa nembak Ahok buat diwawancara, pikir saya.
Jam 1 siang kurang sedikit, saya diajak masuk ke ruang kerja Ahok untuk mulai wawancara, Ahok Menyambut saya dengan memastikan data diri saya.
"Syifa Annisa, Mahasiswa UNJ jurusan Sosiologi?" Tanya Ahok.
"Benar Pak", jawab saya sambil menjabat tangan pria kelahiran 29 Juli itu.
"Duduk", Ahok menunjuk kursi di dekat meja kerjanya. Sementara si Ajudan mengawasi di pintu ruang kerja Ahok.
Saya duduk, nurut sama Ahok,
"Silahkan mau tanya apa? Tapi cepat jam 2 saya ada mau jalan lagi", kata Ahok.
"Iya pak" Wawancara dimulai, saya minta izin untuk merekam proses wawancara.
Saya mewawancarai Ahok banyak hal apa yang ada di daftar pertanyaan, maupun apa yang terlintas di pikiran saya, Ahok menjelaskan sesuai kapasitasnya sebagai Wagub Jakarta saat itu.
Berikut sebagian transkip wawancaranya secara garis besar;
Dalam catatan rekaman saya, Wawancara tersebut berlangsung selama ± 38 menit on the record. Selesai wawancara, Ahok mengatakan;
"Kamu ini nekat juga, wawancara saya cuma bawa ini aja, Kata Ahok ramah sambil menunjuk surat saya yang berantakan itu.
Jleb!
"Maaf pak saya mahasiswa semester awal, masih belajar." Ucap saya,
"Oke, lain kali ikuti prosedur resmi ya." pesan Ahok.
"Iya pak."
"Kamu kenapa?" Sepertinya ada yang lain?
"Apanya pak?" Tanya saya
"Fisikmu", kata Ahok.
"Ini biasa saja pak, saya sakit mata dari lahir, tapi ini gak nular, bapak tenang saja" :) Saya mencoba bercanda tanpa penjelasan lebih lanjut mengingat waktu Ahok yang terbatas.
"Oke Sudah, belajar yang benar". Pesan Ahok
"Tunggu pak, minta foto sama-sama ya, untuk bukti saya ke Kampus," Pinta saya.
"Oke."
Saya minta tolong ajudannya Ahok untuk mengambil foto saya dengan Ahok.
Klik. Selesai foto saya menyalami Ahok lagi.
Dan wawancarapun berakhir.
Saya keluar ruangan, melewati pojokan Balai Kota, beberapa teman wartawan tersenyum, beberapa dari mereka nyeletuk "Cieh Syifa, Ketemu Pak Ahok."
"Iya Kak, Terima Kasih" kata saya.
"Gimana Wawancaranya Syifa, lihat rekamannya boleh gak? Tanya seorang rekan wartawan.
Cuma 10 Menit, kelamaan nunggunya." Saya terpaksa berbohong tidak mengatakan wawancaranya 38 menit karena rekaman itu milik saya, untuk data makalah saya, bukan untuk konsumsi media. Saya tidak mau dituduh Copas berita dari media massa sama dosen saya.
Oke Syifa, sekarang mau kemana? Tanya si wartawan itu.
"Gak tahu mungkin disini sampai sore kata saya.
"Nunggu apa lagi?"
"Nunggu Jokowi." kata saya, saya mau wawancara Jokowi.
"Gak cukup ya sama Ahok?" Tanya dia
"Kayaknya gak deh".
Saya kembali duduk melantai di Pojokan Balai kota bersama para wartawan yang meliput, namun ditunggu sampai sore pun Jokowi tak kunjung muncul di Balai kota hari itu.
Singkat cerita, 5 hari kemudian saya berhasil wawancara singkat dengan Jokowi dengan cara men-doorstop Jokowi di Kawasan Monas bersama para wartawan *To be Continue*
Singkat cerita, makalah saya dan tim mendapat nilai A dari dosen yang mengajar matakuliah. Tapi dosen saya hanya tersenyum sambil menjelaskan secara khusus pada saya prihal kenekatan surat yang saya bikin sendiri untuk wawancara orang sekaliber Ahok.
"Harusnya suratnya diurus ke akademik dulu, bukan yang begini yang dibawa." Kata dosen saya.
Saat itu untuk pertama kalinya saya sadar kalau saya ini mahasiswa nekat sekaligus beruntung. Nekat karena hanya bawa surat izin seadanya dan beruntung karena banyak yang bantuin: makanya bisa dapat wawancara meskipun nembak dan akhirnya bisa menyelesaikan tugas makalah itu.
Sampai saat ini, wawancara tembak dengan sejumlah orang masih sering saya lakukan, tapi untuk surat izin penelitian saya gak berani lagi bikin sendiri, setiap mau penelitian atau wawancara pasti saya urus surat izin resminya ke bagian akademik kampus! Lengkap dengan stempel kaprodi :)
Cerita diatas adalah tentang Sosok Ahok yang sederhana dalam catatan saya, seorang mahasiswa tingkat awal yang nekat bin dodol saat itu.
Mahasiswa nekat yang hanya bawa surat kampus seadanya diterima dan dibiarkan Ahok untuk menembaknya wawancara. Ahok; sosok yang mungkin kontroversial dimata sebagian orang, dimata saya Ahok adalah sosok yang sederhana yang tidak pelit berbagi waktunya ditengah padatnya agenda kerja.
* semua capture dari dok pri.
Salam Progresif!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H