Mohon tunggu...
Syifa Annisa Yaniar
Syifa Annisa Yaniar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Political Science Student at UPN Veteran Jakarta

I am a hard worker, a quick learner, and an easygoing person.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Relevansi Teori Politik Machiavelli dengan Kondisi Politik Indonesia di Era Modern

2 Juni 2021   22:24 Diperbarui: 8 Juni 2021   22:50 1292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Machiavelli merupakan salah satu negarawan asal Italia yang lahir di kota Florence (Firenze) pada 3 Mei 1469. Ayahnya yang bernama Bernardo Machiavelli merupakan seorang pengacara terkenal dari keluarga bangsawan. Machiavelli melanjutkan studinya di Universitas Florence dengan mempelajari kajian klasik dari Marcello Adriani. Dalam hidupnya, Machiavelli telah mengeluarkan karya-karyanya yang berjudul The Prince (Sang Penguasa, 1513) dan Discorsi Sopra La Prima Deca di Tito Liuio (1519), ia menulis pula karya politik Sejarah Florence (1525) serta Seni Perang (1520). Sebagai seorang humanis, ia juga menghasilkan karya sastra seperti La Mandragola (komedi, 1520), Andria dan Clizia (puisi, 1525), Belfagor Arcidiavolo (novel) dan L'asino d'oro (satire). Di usia ke-25 tahun, Machiavelli terjun ke dalam pemerintahan dengan mendapatkan posisi penting setelah runtuhnya kekuasaan Dinasti Medici di Florence. Ia pernah menjabat sebagai diplomat dengan menjalin komunikasi baik dengan negara-negara lain. Jabatan ini pun ia jadikan pengalaman berharga dalam memperkaya pengetahuannya tentang fenomena politik.

Pada masa itu, kondisi perpolitikan di Florence tak dapat disebut sempurna. Kehidupan politik Italia dipenuhi dengan kudeta serta penjajahan wilayah dari berbagai kerajaan di Italia maupun di sekitarnya. Pengaruh dari zaman renaissance pun memperburuk keadaan sosial saat itu. Banyak masyarakat mulai melepaskan diri dari belenggu gereja serta paham skolastik. Saat itu juga, moral mulai diacuhkan, pengkhianatan terjadi, hasrat dalam berkuasa tanpa memperhatikan sisi kewajaran pun merajalela. Machiavelli memandang manusia/masyarakat sebagai makhluk yang memiliki sifat saling bertentangan, yaitu positif dan negatif.

Keadaan manusia yang memiliki sikap positif seperti penyayang, jujur, adil, dan tegas. Ada pula manusia yang memiliki sifat negatif dimana mereka selalu melakukan perilaku yang buruk, seperti egois, munafik, rakus akan kekuasaan, pembohong, dan lain sebagainya. Pandangan Machiavelli terhadap sifat manusia ini cukup relevan dengan keadaan manusia dalam berpolitik di Indonesia saat ini. Tidak sedikit penguasa yang memiliki sifat negatif dalam berpolitik, salah satu contoh yang cenderung dimiliki oleh penguasa dalam pemerintahan adalah perilaku licik dan rakus akan kekuasaan. Politik di Indonesia tidak pernah luput dari politik uang, kelicikan ini sudah mengakar sejak awal Indonesia merdeka hingga saat ini, dan juga mereka yang melakukan politik uang ini awalnya memiliki sifat kerakusan akan kekuasaan. Mereka akan melakukan apapun demi mendapatkan posisi di instansi pemerintahan. Inilah yang menyebabkan manusia menjadi makhluk yang keji.

Dalam ketatanegaraan, disebutkan dalam bukunya bahwa ada kerajaan dan republik, akan tetapi ia tidak membahas bentuk republik. Machiavelli pernah mengacu pada bentuk republik karena pemerintahan yang diatur oleh warganya, hal ini berbeda dengan sistem kerajaan yang dipimpin oleh seorang penguasa tunggal yang kuat. Nusantara sendiri pernah melewati sistem kerajaan saat periode sebelum dan saat penjajahan oleh belanda.

Setelah melewati periode itu, maka lahirlah kesatuan dan kemerdekaan Indonesia yang berbentuk republik. Machiavelli juga mengatakan bahwa mereformasi tatanan yang ada adalah salah satu hal paling berbahaya dan sulit yang dapat dilakukan oleh seorang pangeran. Pada poin ini, bisa dirasakan bahwa orang sebagian orang secara dasarnya akan menyangkal pada perubahan. Keinginan untuk merubah tatanan pernah dilakukan beberapa kali di Indonesia seperti pemberontakan PKI dan DI/TII yang berusaha menjalankan pemerintahan sesuai keinginannya. Hal yang begitu pasti, yaitu para bagian yang meraih manfaat dari sistem sebelumnya akan menolak keras akan perubahan tersebut. Selain masih asing, tatanan yang didirikan mungkin tidak bisa memenuhi sesuai janjinya untuk semua orang terlebih kepada pendukungnya karena jika ia kehilangan dukungan maka akan berkurangnya kekuatan tersebut.

Untuk urusan militer, Machiavelli memaparkan beberapa ulasan fondasi yang pas terutama terdiri dari hukum yang baik dan senjata yang baik. Tentara terdiri dari tentara bayaran, pembantu, campuran, dan milik negara. Menurutnya, tentara bayaran dan pembantu merupakan yang tidak berguna dan membahayakan, karena jika pasukan bayaran hanya akan tunduk ketika adanya uang, tidak setia terhadap kerajaan, dan menolak bersatu dan pasukan pembantu kekuatannya bisa lebih berbahaya daripada pasukan bayaran karena jika menang, majikan akan berada di bawah dukungan mereka dan jika kalah maka semua akan hancur, dan yang paling mengancam adalah akan melawan balik.

Dalam bentuk dan tata kelola militer Indonesia, Indonesia memiliki pasukan militer tersendiri, tidak membeli jasa pasukan bayaran atau peminjaman tentara untuk menumpas lawan pada pemerintahan yang dulu. Akan tetapi, jika dalam bentuk kerjasama dalam bidang militer dengan negara lain ada seperti kerjasama menjaga maritim antar Indonesia-Amerika pada tanggal tujuh belas Oktober 2020. Dalam pandangan perpolitikan Machiavelli, terdapat langkah-langkah mempertahankan kekuasaan dengan cara apapun seperti tipu muslihat, membunuh sesama teman perjuangan, mengkhianati rakyat, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh penguasa.

Di Indonesia tidak tertulis bahwasanya harus melakukan perbuatan itu, akan tetapi, bukan berarti tidak ada. Salah satu contohnya adalah beberapa aktivis reformasi dikorupsi pada tahun 2019 menghadapi pemukulan, penculikan, dan penangkapan oleh aparat. Sama halnya seperti aksi demo tolak Omnibus Law yang terjadi pada oktober tahun lalu. Contoh-contoh yang disebutkan merupakan salah satu cara yang disebutkan oleh Machiavelli dalam bukunya "The Prince".

Selanjutnya, Machiavelli berbicara tentang esensi kekuasaan, tetapi tidak mengulas kembali konsep kekuasaan negara. Hal Ini mungkin yang dipelajarinya dari orang hebat yang dia akui menjadi anggota. Ia telah memberikan kontribusi besar untuk karya-karyanya. Machiavelli mendobrak konsep kekuasaan tradisional yang berlaku pada masanya, yaitu legitimasi agama dari dominasi gereja atas otoritas negara, tetapi alasan ia melanggarnya hanya dapat dipahami sebagai kekuasaan negara yang dijalankan oleh lembaga-lembaga keagamaan dan raja adalah perpanjangan tangan dari kekuasaan negara. Lengannya telah menyebabkan kehancuran dan ketidakadilan. Sikap Machiavelli berdampak pada tujuan negara. Sebagai entitas negara, kekuasaan harus dipertahankan dengan cara ini di tangan raja, agar tidak kehilangan kekuasaan dan membentuk tentara yang kuat.

Jika dalam mengkaji filsafat Tuhan sebagai fenomena sosial, sifat kekuasaan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, maka sangat berbeda dari segi legitimasi dasar. Oleh karena itu, dari perspektif ini, sumber legitimasi kekuasaan berasal dari kekuatan supranatural, yaitu Tuhan. Dan legitimasi dari sudut pandang sosiologis dasar berasal dari masyarakat. Jika kekuasaan merupakan fenomena alam, maka masyarakat akan mengumpulkan semacam kekuasaan melalui interaksi, kemudian mendelegasikan kekuasaan tersebut kepada pemimpin atau sekelompok orang untuk mengimplementasikannya dalam sistem. Pengalaman di negara-negara Eropa Barat, khususnya pada akhir Abad Pertengahan, dikritik karena legitimasi kekuasaan Tuhan, karena penguasa pada saat itu memonopoli kekuasaan dengan dalih kehendak Tuhan, sehingga tidak ada yang berhak menghakimi. Legitimasi nilai-nilai agama yang bersumber dari teokrasi memiliki arti bahwa kekuasaannya lebih tinggi daripada moral judgement. Penguasa adalah sesuatu yang bisa bergerak, bukan subjek yang bertanggung jawab. Publik tidak akan berdaya kecuali mereka menerima perintah dari pihak berwenang.

Jika konsep legitimasi dianggap sebagai keyakinan, dan keyakinan ini didesentralisasikan dalam bentuk kekuasaan, maka hal tersebut sebenarnya hal yang lebih dalam adalah batin dari keyakinan, yaitu nilai yang menunjukkan adanya keyakinan. Mengapa orang percaya bahwa penguasa yang ada dapat menjalankan kekuasaan? Hal ini tampaknya sulit untuk dijelaskan secara logis. Karena ini bersifat internal (tersembunyi) dalam hati nurani rakyat. Legitimasi bukan hanya tentang keyakinan, yaitu nilai kebenaran dan keadilan yang menggerakkan kesadaran keyakinan, oleh karena itu nilai dapat mengendalikan kekuasaan, setidaknya moralitas.

Machiavelli tampaknya memiliki kontrol moral semacam ini karena memberikan banyak hak kepada raja untuk memerintah, tetapi tidak memberikan informasi tentang siapa atau siapa yang harus memberikan kontrol moral kepada raja. Aspek moralitas ini tidak dikemukakan oleh Machiavelli, sehingga ide-idenya sering ditandai sebagai tidak moralis. Legitimasi moral bukanlah isu utama, karena stabilitas dan stabilitas kekuasaan lebih penting. Ia memang menentang tren pemikiran yang berkembang saat itu. Machiavelli menerima semacam sinisme moral dalam filsafat politik dan dengan berani mengungkapkan gagasannya bahwa tujuan politik penguasa adalah untuk memastikan kekuasaan di tangannya.

Machiavelli memandang agama dari perspektif pragmatisme dan kepentingan politik yang sebenarnya. Jika agama bermanfaat untuk kepentingan politik, maka ia memiliki manfaat yang berarti. Agama hanya akan mendorong manusia untuk memperoleh kepuasan spiritual pribadi, yang justru akan berdampak buruk bagi negara. Machiavelli percaya bahwa otoritas penguasa suatu negara tanpa keyakinan agama tidak cukup untuk menjamin persatuan dan keutuhan negara. Perilaku politisi Indonesia yang menjadikan tulisan politik Machiavelli sebagai manual adalah menggunakan agama sebagai alat untuk meraih kekuasaan.

Mirip dengan pemikiran Machiavelli, kebajikan, agama, dan moralitas adalah alat untuk mendapatkan kekuasaan. Hal tersebut bukanlah kekuatan agama, kebajikan atau moralitas, karena hakikat kekuasaan adalah kekuatan itu sendiri. Kami juga dapat menganalisis model ini sebelum pemilihan. Baik calon legislatif maupun calon presiden lebih dekat dengan tokoh agama untuk mendapatkan dukungan. Agama sendiri merupakan pusat daya tarik massa. Selain itu, cara memasuki masyarakat dengan memperindah atau membagikan sembako atas nama keutamaan dan kesusilaan. Ini dilakukan dengan menggalang suara. Pemandangan seperti ini sering terjadi di masyarakat dan telah menjadi budaya merdeka dalam dinamika politik negara saat ini

Seperti yang sudah kita ketahui, Machiavelli merupakan sosok pendobrak pemikiran tradisional tentang kekuasaan yang berlangsung pada masanya serta sebagai pencetus pertama terhadap pertahanan dan keamanan dari negara modern. Menurutnya, penguasa diibaratkan sebagai seorang raja yang memiliki kewenangan untuk bertindak kasar dan licik seperti kekerasan fisik disertai dengan fokus terhadap kekuatan militernya. Hanya penguasa lah yang berhak dalam mengendalikan kekuasaan dengan keterbatasan peran serta masyarakat dalam pemerintahan. Pemikiran Machiavelli tentang penguasa berikutnya adalah raja wajib mempertahankan kekuasaan atas bantuan militer atau angkatan perang sebagai suatu keharusan yang dimiliki oleh sebuah negara, dengan memiliki tujuan untuk menjaga kehormatan dan menyelamatkan kehidupan negara. Menurut Machiavelli, penguasa wajib berupaya mengatur rakyat untuk selalu bergantung padanya dan sanggup memakai kekuasaan secara efisien untuk kepentingan publik ataupun masyarakatnya. Penguasa ideal merupakan penguasa yang mampu dan memiliki moral manusia dan moral kebinatangan dan di waktu yang bersamaan politik dan moral merupakan dua bidang yang tidak dapat dipisahkan.

Pemikiran politik Machiavelli tentang penguasa tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia karena bertolak belakang dengan makna demokrasi yang melibatkan partisipasi masyarakat. Sedangkan, penguasa menurut Machiavelli adalah sosok raja yang memiliki kewenangan dan berkuasa dengan cara kekerasan untuk mempertahankannya, hal ini sudah jelas bertolak belakang dengan hukum dan demokrasi yang berlaku di Indonesia. Meskipun demikian, pada era Orde Baru tepatnya pada tahun 1983 terdapat kebijakan penembakan misterius dengan dalih upaya pencegahan terhadap tindak kejahatan, seperti preman, perampok, pemerkosa, dan lain-lain. Usaha ini juga bisa dikatakan sebagai tindak mempertahankan kekuasaan yang bisa mengancam stabilitas negara sehingga suatu shock treatment perlu diambil untuk menghilangkan atau paling tidak mengurangi kejahatan.

Petrus bertujuan untuk memberantas kejahatan dengan efek jera yaitu tembak mati yang mayatnya ditinggalkan begitu saja dengan tangan terikat dimasukkan ke dalam karung, diletakkan di pinggiran toko atau sungai, dan di semak-semak. Tujuan lain dari Petrus yaitu untuk menurunkan tingkat kriminalitas di Indonesia dengan melibatkan aparat keamanan negara yang memiliki standar operasional prosedur dalam menggunakan senjata api. Selama beroperasi, Petrus telah menewaskan banyak korban jiwa. Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat data tertinggi korban Petrus pada tahun 1983 terdapat 781 korban jiwa. Kebijakan Petrus termasuk dalam tindakan kekerasan yang bertentangan dengan Norma Hukum dan HAM di Indonesia, karena penjahat tetap memiliki hak untuk diadili sesuai prosedur hukum yang berlaku bukan ditembak mati sewaktu-waktu tanpa adanya putusan dari pengadilan dan tak jarang mayatnya ditinggalkan begitu saja atau dibuang secara tidak lazim dimana saja.

Kesimpulannya, Machiavelli memiliki pemikiran politik penting tentang manusia/masyarakat, negara, kekuasaan, agama, dan penguasa. Pertama, pemikiran Machiavelli tentang manusia/masyarakat sebagai sosok yang jahat jika mendapatkan kesempatan. Selain itu, ia juga berpendapat bahwa manusia memiliki dua sifat yang bertentangan yaitu sifat positif dan negatif. Kedua, pemikiran tentang ketatanegaraan yaitu negara dianggap sebagai simbol kekuasaan politik tertinggi yang bersifat mutlak dan mencakup seluruh bidang. Ketiga, pemikiran tentang kekuasaan yaitu kekuasaan bukanlah alat untuk menjaga moralitas, etika, atau agama. Tetapi, negara merupakan simbol tertinggi dari kekuasaan politik yang mutlak dan mencakup seluruh bidang, serta kekuasaan adalah tujuan dari kekuasaan itu sendiri. Keempat, ia memandang agama dari perspektif pragmatisme dan kepentingan politik yang sebenarnya. Jika agama bermanfaat untuk kepentingan politik, maka ia memiliki manfaat yang berarti. Agama hanya akan mendorong manusia untuk memperoleh kepuasan spiritual pribadi, yang justru akan berdampak buruk bagi negara. Machiavelli percaya bahwa otoritas penguasa suatu negara tanpa keyakinan agama tidak cukup untuk menjamin persatuan dan keutuhan negara. Kelima, pemikiran tentang penguasa harus selalu berusaha agar rakyatnya bergantung padanya dan mampu menggunakan kekuasaannya secara efektif untuk kepentingan umum/masyarakat. Penguasa yang ideal adalah penguasa yang memiliki kemampuan, kemanusiaan dan kebinatangan sekaligus. Politik dan moral adalah dua bidang yang tidak dapat dipisahkan. Keberadaan angkatan perang yang kuat sangat diperlukan untuk kepentingan negara.

DAFTAR PUSTAKA

Isnaeni, H. F. (28 Oktober 2018). Tanggung Jawab Soeharto dalam Penembakan Misterius. https://historia.id/politik/articles/tanggung-jawab-soeharto-dalam-penembakan-misterius-Pdj81/page/2, diakses pada tanggal 13 Mei 2021, 20.00 WIB.

Machievelli, Niccolo. (1991). Sang Penguasa : Surat Seorang Negarawan kepada Pemimpin Republik (cetakan ketiga). Terjemahan oleh C. Woekirsari, Kata Pengantar M. Sastrapratedja dan Frans M. Parera. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Muqaddim. (2016). Pemikiran Politik Machiavelli dan Dinamika Politik Indonesia. Kompasiana.

Puspitasari, S. H. (2001). Kontekstualisasi Pemikiran Machiavelli tentang Kekuasaan-Tujuan Negara. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 8(18), 30--45. https://doi.org/10.20885/iustum.vol8.iss18.art3.

Robert, R. (2018). Moral Politik Machiavellian. http://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/moral-politik-machiavellian, diakses pada tanggal 20 Mei 2021, 21.30 WIB.

Zein, F. (2016). Kritik konsep politik Machiavelli dalam perspektif etika politik Islam, Vol. 1 (No. 2), 489 -- 507.

Disusun Oleh:

Naufal Bariq Alauddin Simamora (2010413047)

Syifa Annisa Yaniar (2010413061)

Ardinda Sri Amrihi (2010413066)

Maria Uli Silalahi (2010413069)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun