Awalnya, ia hanya sekembang bunga putih nan langu, yang serbuk benang sarinya terjatuh pada putik karena kepakkan sayap kumbang. Selang beberapa hari, sang kelopak layu dan jatuh, meninggalkan bakal biji dengan putik mengering.
Hari demi hari berlalu, Si Bakal Biji mulai tumbuh, mulanya hanya bulatan kecil yang tak dipedulikan, hingga perjalanan waktu merubahnya menjadi tumbuh mengembang puluhan kali lebih besar. Warnanya pun berangsur mulai berganti, hijau muda menjadi hijau tua, hijau tua menjadi kekuningan, kekuningan menjadi jingga, kemudian jingga menjadi merah merekah.
Mana kala Sang Biji telah pantas disebut buah dan bahkan telah siap dipanen. Kemudian dalam radius kiloan meter, Si Mata Beringas menyala-nyala mendapat radar dari keranuman kulit buah yang memerah. Sambil menunggu malam, Si Mata Beringas nan bermulut runcing mengendap-endap menyelinap, berloncatan dari dahan-dahan ke ranting-ranting hingga sampailah Si Mata Beringas itu pada pokok pohon Si Buah berada.
Malam telah bersambang di tempat Si Buah berada, dengan segala kesigapan dan kemampuan yang sangat berpengalaman, Si Mata Beringas menerkam si buah. Dalam sekejap saja, kulit buah yang merekah itu mengelupas, tercampakkan di antara reruntuhan daun, sedangkan dua bijinya yang sangat mulia bagai berlian itu tertelan dalam-dalam, merosot jatuh di lambung Si Mata Beringas, dan terpisah dengan Sang Kembaran.
Si biji buah terfermentasi dalam perut si Mata Beringas, memenuh sesak bersama biji-biji lain yang sejenis tapi ia tak mengenali. Hingga dorongan yang maha dasyat, yang sangat mendesak mendorong biji-biji itu keluar dari perut Si Mata Beringas melalui jalan pembuangan.
Biji yang dulu terbungkus kulit nan ranum itu, kini terbungkus sesuatu yang ia sendiri tak mengerti pembungkus macam apa yang membalutnya bersama biji-biji yang lain itu.
Masa terus berputar, siang berganti malam, malam berganti siang… terang berganti hujan, begitu pula hujan berganti terang. Si Biji kini telah bersih dari bungkus yang menjijikkan, dan telah berubah berkilauan ditimpa sinar mentari. Hingga saatnya tangan Si Dara memungut dan mengumpulkannya bersama dengan biji-biji lain, dimandikannya dalam air mengalir, dikeringkannya dengan sejuk angin dan hangat matahari.
Tangan Si Dara pun melepas baju baja nan kaku dengan telaten, diangsurnya satu persatu, hingga semua tampak malu, telanjang dengan kulit keabu-abuan. Dengan cekatan tangan Si Dara menyalakan api dalam tungku dan memasang wajan pemanggangan, Si Biji dan kawan seperjuangannya diraup dan dijatuhkan ke dalam wajan, diaduk hingga berubah kehitaman.
Waktu berlalu, Si Biji telah ada dalam lesung penumbukan, bagai ada dalam dimensi yang mengerikan, benda besar nan keras menimpa-nimpa, menghancurkan Si Biji bersama kawan-kawannya menjadi partikel lembut bermasa tak ubahnya debu. Bau yang menagihkan segera menguar dari butiran debu nan eksotis itu, Si Dara segera menampungnya ke dalam wadah.
Dengan senjata pusaka, yang bernama sendok, Si Dara mengeruk bubuk kehitaman itu, memindahkannya ke dalam cangkir, menyeduhnya dengan air panas dan menambahkan gula. Dengan muka berbinar, Si Dara menyuguhkan minuman racikannya pada Sang Bujang.
Si Bujang yang telah menunggunya dengan setia akan janji dari Si Dara, tersenyum gembira sambil menyeruput seduhan seduhan bubuk istimewa itu. “Ini Kopi sempurna…” gumam Si Bujang sambil menatap lekat mata Si Dara. “Benarkah?” Si Dara bertanya. “Ya, seperti cintaku padamu…” kata Si Bujang dengan mantapnya. Si Dara hanya tersipu, malu.