Teori populisme dapat memberikan pemahaman yang mendalam tentang dinamika politik yang terjadi selama Pilkada DKI Jakarta 2017. Pilkada tersebut menjadi salah satu momen politik yang memperlihatkan aspek populisme yang kental, terutama dalam retorika dan strategi kampanye yang digunakan oleh beberapa aktor politik. Populisme di sini mencerminkan pendekatan di mana seorang pemimpin atau kandidat menyampaikan aspirasi rakyat secara langsung, dengan mengklaim diri sebagai perwakilan sejati dari "rakyat" melawan "elit" atau "status quo" yang dianggap tidak peduli.
 Pengertian Teori Populisme
Populisme adalah fenomena politik di mana seorang aktor atau gerakan politik mengklaim bahwa mereka adalah suara dari "rakyat" atau "warga biasa" melawan "elit" yang berkuasa. Menurut Cas Mudde dan Cristbal Rovira Kaltwasser, populisme mencakup dikotomi antara "rakyat murni" melawan "elit korup." Teori ini sering diadopsi oleh politisi untuk menarik dukungan dari kelompok masyarakat tertentu yang merasa tidak terwakili atau terpinggirkan oleh pemerintah.
 Populisme dalam Konteks Pilkada DKI 2017
Dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, populisme terlihat jelas pada kampanye yang menonjolkan identitas dan agama. Salah satu kandidat, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang saat itu merupakan petahana, menghadapi tantangan besar dari Anies Baswedan. Pilkada ini akhirnya tidak hanya menjadi ajang kompetisi politik, tetapi juga mencerminkan ketegangan sosial yang ada di masyarakat Jakarta dan sekitarnya.
Isu populisme tampak pada dua aspek utama:
- Isu Identitas: Perbedaan agama dan etnis menjadi titik perhatian dalam kampanye. Pihak yang menentang Ahok menggunakan sentimen agama untuk menggalang dukungan, mengklaim bahwa kepemimpinan Ahok tidak mewakili nilai-nilai mayoritas.
- Dikotomi Elit dan Rakyat: Dalam narasi populisme, Ahok dianggap mewakili "elit" yang jauh dari rakyat kecil. Lawan politiknya berupaya mencitrakan diri sebagai "orang biasa" atau pemimpin yang peduli pada warga kecil, khususnya dalam isu perumahan dan kebijakan tata kota.
 Taktik Populis dalam Kampanye
Pendekatan populis dalam kampanye Pilkada DKI 2017 dilakukan melalui beberapa cara:
- Pengerahan Massa: Demonstrasi besar-besaran yang dikenal sebagai "Aksi Bela Islam" terjadi di Jakarta dan menarik ribuan orang untuk menyuarakan penolakan terhadap Ahok.
- Media Sosial: Platform media sosial menjadi sarana utama untuk menyebarkan pesan-pesan yang memperkuat narasi populis, terutama yang menyudutkan Ahok. Meme, video, dan pesan singkat yang mengangkat isu agama dan ketidakadilan menjadi alat yang efektif untuk membentuk opini publik.
- Pesan Anti-Elit: Kampanye melawan Ahok juga menggunakan narasi bahwa sang petahana hanya memihak kelompok elit yang berkuasa di Jakarta, dan tidak memperhatikan kebutuhan rakyat kecil. Ini dimanfaatkan oleh kubu lawan untuk memperkuat persepsi bahwa pemimpin baru (Anies) akan lebih berpihak pada rakyat biasa.
 Dampak Populisme pada Pilkada DKI 2017
Pendekatan populisme ini memiliki beberapa dampak jangka pendek maupun jangka panjang:
- Polarisasi Sosial: Pilkada ini mengakibatkan polarisasi di kalangan masyarakat Jakarta dan bahkan secara nasional, dengan isu agama dan etnis yang semakin menonjol. Pemilih terbelah antara pendukung Ahok yang merasa bahwa isu identitas tidak relevan dengan kapabilitas pemimpin, dan pendukung Anies yang menganggap pentingnya kepemimpinan yang selaras dengan mayoritas identitas penduduk.
- Normalisasi Isu Agama dalam Politik: Pilkada ini membuka pintu bagi penggunaan agama secara terbuka dalam kontestasi politik. Hal ini dapat mempengaruhi kampanye pemilu selanjutnya, di mana sentimen agama dan identitas menjadi alat politik yang kuat.
- Menguatnya Oposisi terhadap Elitisme: Kemenangan Anies menunjukkan bahwa narasi melawan elitisme efektif dalam memobilisasi massa. Hal ini memberi pelajaran kepada politisi bahwa membangun citra sebagai "pemimpin rakyat" dapat menjadi strategi sukses dalam memenangkan dukungan.
 Kritik terhadap Populisme dalam Pilkada DKI 2017
 Teori populisme juga mendapat kritik, khususnya dalam konteks Pilkada DKI 2017. Beberapa pengamat berpendapat bahwa populisme yang berfokus pada identitas dan agama berisiko merusak fondasi demokrasi, dengan mengutamakan emosi daripada rasionalitas dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu, narasi populisme sering kali menyederhanakan masalah kompleks menjadi sekadar pertentangan antara "rakyat" dan "elit," yang dapat mengaburkan perdebatan substansial tentang kebijakan.
 Kesimpulan
Pilkada DKI Jakarta 2017 menunjukkan bagaimana teori populisme dapat diimplementasikan dalam konteks politik Indonesia, terutama melalui isu-isu agama dan identitas yang menonjol dalam kampanye. Populisme di sini dimanfaatkan untuk menggalang dukungan dari masyarakat luas, terutama dari kalangan yang merasa terpinggirkan atau tidak terwakili. Meski efektif dalam memenangkan dukungan, pendekatan ini memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap tatanan sosial-politik Indonesia dan memberikan tantangan bagi proses demokrasi yang sehat dan inklusif di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H