ByZainul Maarif
Saat ini, para ekstremis berkedok Islam sedang bahagia. Mengapa? Sebab, wacana yang selama ini mereka sebarkan secara diam-diam, akhir-akhir ini dipublikasikan secara masif oleh banyak orang. Wacana yang dimaksud adalah wacana kebencian kepada pihak tak seagama, pihak seagama yang tak sepemahaman dan pihak aparat negara yang tak sesuai dengan 'ideologi' mereka. Dengan penyebaran wacana itu, mereka dapat merekrut para pelaku teror bom bunuh diri.
Dulu, para ekstremis berkedok Islam bersusah payah untuk menemukan dan meyakinkan 'calon pengantin' (sebutan untuk pelaku bom bunuh diri). Â Sedikitnya, mereka perlu melewati tiga fase untuk mendapatkan target pelaksana tindakan teror itu: yaitu 'fase keimanan' (mn), 'fase hijrah' (hjar) dan 'fase jihad' (jhad).
Sebelum  wacana kebencian pada pihak lain merebak seperti sekarang, mereka menerapkan 'fase keimanan' dengan berceramah ala kadarnya sambil memantau orang-orang (khususnya remaja/pemuda tanggung) yang mungkin direkrut jadi teroris. Setelah target ditemukan, mereka mengajak target itu berhijrah, menjauh dari masyarakat luas, menyatu dengan para ekstremis dalam suatu pelatihan yang diisi doktrin-doktrin kebencian. Di training itu, mereka menyortir peserta yang sungguh-sungguh siap 'berjihad' (dalam pengertian mati bunuh diri). Peserta yang sudah masuk ke fase jihad itulah yang diutus menjadi 'pengantin'.
Kini, para perekrut pengantin itu tak lagi bersusah payah. Internet mempermudah mereka. Mereka dapat mempersingkat tiga fase di atas berkat internet. Remaja/pemuda yang di internet menampakkan kebencian pada non muslim, muslim berpandangan lain dan pemerintah merupakan target untuk direkrut menjadi pengantin.
Setahun belakangan ini, target itu membludak. Kolaborasi agamawan populer garis keras dan politisi haus kekuasaanlah yang mengeskalasikan kuantitas calon-calon ekstremis berkedok Islam.
Politisi tersebut punya banyak dana dan mesin politik untuk menebarkan kebencian. Agamawan populer tersebut punya modal sosial dan agama untuk mengagitasi dan memobilasisi banyak orang untuk membenci non muslim, memusuhi muslim yang tak mau membenci non muslim dan menjelek-jelekkan apapun yang dilakukan pemeritah. Dengan kolaborasi dua pihak itu, teroris berkedok agama menyaksikan banyak 'benih' yang bisa dipoles lebih lanjut menjadi 'pengantin'.
Para teroris berkedok agama tak perlu bersusah payah lagi untuk menebarkan kebencian. Sebab, mesin politik politisi haus kekuasaan dan jamaah agamawan garis keras telah menjalankan apa yang selama ini dilakukan oleh para teroris berkedok agama itu.
Kebencian kepada non muslim, kepada muslim yang tak sepaham politik dan kepada pemerintah yang berkuasa, sudah menebar di masjid-masjid, mushola-mushala dan di dunia maya, lantaran propaganda kebencian yang dilancarkan kolaborasi politisi busuk dan agamawan buruk itu. Para teroris tinggal memilih siapa gerangan remaja/pemuda yang langsung bisa digerakkan melakukan tindakan teror, tanpa melalui dua fase sebelumnya, bahkan tanpa harus melalui tatap muka di dunia nyata.
Di titik itulah para ekstremis berkedok Islam bersuka cita. Islam dan muslim tercoreng namanya, karena diidentikkan dengan intoleransi dan kekerasaan. Masyarakat umum pun tak bisa hidup damai, karena kebencian menjadi udara yang dihidup di lingkungan sekitar.
Kondisi semacam itu tentu sangat tidak kondusif. Agamawan penebar kebencian berbasis Islam seyogianya sadar bahwa Islam pada dasarnya damai dan menebarkan kedamaian, sehingga dakwah Islam pun seharusnya sejuk dan menyejukkan, sehingga Islam yang dianutnya pun tetap (dianggap) terpuji dan layak dipanuti.Â
Politisi yang haus kekuasaan seharusnya sadar bahwa tindakannya menebar kebencian demi kekuasaan itu lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi kehidupan bersama di masa kini dan masa depan. Masyarakat sepatutnya sadar untuk tidak mudah terprovokasi ujaran kebencian berbasis SARA, apalagi berisi kebohongan dan fitnah. Pemerintah harus tegas menangani hoax berbalut kebencian, dengan tetap berpedoman pada hukum yang berlaku dan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Sekiranya agamawan, politisi, masyarakat dan pemerintah memiliki kesadaran dan bertindak sedemikian rupa, suasana kondusif multikultural di negeri ini bisa diharapkan.[]
Sumber: syiarnusantara.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H