Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Kampanye "CELUP" dalam Perspektif Islam

30 Desember 2017   05:15 Diperbarui: 30 Desember 2017   11:46 1192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ByHusein Ja'far Al Hadar

Asusila dalam KBBI online berarti "tingkah laku tidak baik". Maka, tentu, visi untuk meniadakannya dari seseorang atau sekelompok masyarakat adalah niat dan tujuan yang baik. Namun, niat dan tujuan saja tak cukup. Ia harus dilengkapi dengan cara yang juga baik. Amar ma'ruf harus dilakukan dengan ma'ruf, sebagaimana nahi munkar juga harus dilakukan dengan ma'ruf. (Baca: "Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar dengan Ma'ruf")

Sebagai gambaran konkrit, akan disajikan sebuah kisah dari salah satu sahabat Nabi Muhammad yang mulia, Sayyidina Umar bin Khattab ketika ia menjadi amirul mukminin, yakni khalifah kedua setelah Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq. Kisah ini diabadikan oleh Imam Al-Ghazali dalam karya monumentalnya: Ihya' Ulum al-Din. 

Suatu hari, saat Khalifah Umar berjalan berkeliling, ia mendapati suatu rumah yang penghuninya ia curigai sedang melakukan maksiat. Namun, rumah itu terkunci rapat. Khalifah Umar berusaha mengamatinya dari luar dengan berbagai cara, tapi hasilnya nihil. Akhirnya, ia memaksa masuk rumah itu dengan menaiki atap. 

Dan, kecurigaannya terbukti. Tuan rumahnya memang sedang bermaksiat. Lalu, Khalifah Umar mengadili orang tersebut, bermaksud menghukumnya. Tapi, pelaku maksiat itu menimpali  bahwa betul ia memang telah melakukan maksiat, tapi menurutnya Khalifah Umar juga telah berdosa atas tiga hal, yakni pertama, Khalifah Umar telah melakukan tindakan memata-matai (tajassus) yang itu jelas dilarang Allah (QS. Al-Hujurat:12). 

Kedua, Khalifah Umar memaksa masuk rumah dengan cara yang tidak semestinya (melalui atap), padahal Al-Qur'an menyuruh kita memasuki rumah melalui pintu (QS. Al-Baqarah: 189). Ketiga, Khalifah Umar masuk tanpa mengucapkan salam, padahal Al-Qur'an menganjurkan sebaliknya (QS. An-Nur:27). 

Menyadari kesalahannya, Khalifah Umar lalu melepaskan pemaksiat tersebut dan hanya menganjurkannya untuk bertobat. Singkatnya, seorang khalifah, niat dan tujuannya baik, dan terbukti, namun karena caranya salah, hukum batal dilaksanakan dan justru Sang Khalifah merasa bersalah.

Tulisan ini akan mencoba menilai apa yang hendak dilakukan "CELUP" (kampanye untuk memfoto dan mengunggah pasangan yang bermesraan atau berlaku asusila di ruang publik) dalam sudut pandang Islam.

 Meskipun, mengacu pada pemberitaan maupun penjelasan dari CELUP, tampaknya motif mereka bukanlah dorongan moral keagamaan, melainkan visi sosial untuk membersihkan ruang publik dari anasir-anasir yang mereka nilai mengganggu fungsi ruang publik itu sendiri.

Maka, pertama, apa yang hendak dilakukan CELUP bisa jadi tergolong tajassus yang dilarang dalam Islam. Kedua, pemotretan dan pengunggahan yang rencananya dilakukan oleh CELUP dilakukan diam-diam, yang artinya itu akan melanggar hak cipta karena tanpa mengantongi izin dari yang difoto, sebagaimana dijelaskan dan diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC).

Hal itu juga telah dinyatakan sebagai kezaliman yang karena itu ia haram oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Fatwa No. 1 Tahun 2003 tentang Hak Cipta dan Fatwa  No. 1/MUNAS VII/MUI/15/2005 tentang HAKI.

Bisa jadi Anda menimpali bahwa bertindak asusila juga adalah perbuatan haram, dan mengganggu ruang publik juga adalah kezaliman. Benar! Dan karena itu, perlu cara yang benar agar satu hukum tidak membentur hukum yang lain. Cara yang benar itupun sepatutnya bukan hanya sesuai hukum, tapi juga akhlak. 

Secara hukum misalnya, jangan sampai ia tak diawali dengan tabayyun terlebih dulu. Terlebih jika asusilanya adalah zina yang dalam Islam pembuktiannya sangat ketat sekali. Juga jangan sampai ia berangkat dari suudzon (prasangka buruk) sebagaimana kerap terjadi, khususnya akhir-akhir ini di mana seseorang dituduh bertindak asusila atau bahkan zina hingga dipermalukan, padahal ternyata tidak. Untuk yang terakhir ini, sufi agung Hasan Al-Basri pernah melakukannya dan bertaubat atas hal itu. Dan pertimbangan-pertimbangan hukum lainnya,

Adapun secara moral misalnya, jangan sampai ia didasarkan atas semangat mengumbar aib orang lain dan mempermalukannya yang itu bukan hanya dilarang, tapi dianjurkan dalam Islam untuk sebaliknya: menyembunyikan aib orang lain sebagaimana Allah menyembunyikan aib kita untuk kemudian ditangani secara bijak. 

Terlebih, bullying merupakan salah satu masalah besar di negeri ini yang mengancam mental generasi mendatang. Juga, jangan sampai kita hanya bersemangat menghakimi, tapi tak memiliki strategi bijak untuk membuat yang bersangkutan sadar dan enggan melakukannya kembali. 

Jangan sampai pula ia hanya berlaku bagi tindakan asusila semacam itu karena kebetulan dilakukan oleh orang-orang kecil, sedangkan tak mau melakukan tindakan serupa pada kejahatan moral paling mengerikan, yakni korupsi yang begitu mencengkram negeri ini sejak RT/RW dan swasta, lantaran kita takut, dan lain sebagainya. 

Padahal, jelas-jelas koruptor itu kafir menurut Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, 'pun perangkat caranya sudah jelas dan legal secara hukum melalui "Siber Pungli". Dan pertimbangan-pertimbangan moral lainnya.

Ribet? Memang! Jihad kok gak mau ribet.

Sumber: syiarnusantara.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun