"Islam Tersandera! Siapakah Pencuri (Masjid) Jami` dan Kemanakah Laju Hari Jumat" Demikian tajuk utama buku yang ditulis oleh Al-Sadiq Al-Nayhum. Judulnya provokatif. Isinya pun tulisan-tulisan polemis.
Penulis Libya itu menyajikan 24 tulisan. Beberapa penulis dari Timur Tengah mengkritik  tulisannya itu. Sebagai reaksi, Al-Nayhum memberi tanggapan untuk 14 kritikan tersebut. An-Naqid, media massa Timur Tengah, yang menampilkan dialog itu, lalu Riad El-Rayyes mengkompilasinya menjadi buku berjudul Al-Islm fl Asr: Man Syariqal Jmi` wa Aina Dzahaba Yaumul Jum`ah?
Judul itu mengkonotasikan tinjauan Al-Nayhum tentang realitas Islam, (masjid) jami` dan hari jumat, berikut tindak lanjutnya atas realitas itu. Yang jadi persoalan, di titik manakah ketersanderaan Islam? Siapakah penyandera Islam dan siapa pula pencuri (masjid) jami`? Ke manakah hari jumat hingga kini pergi dan kemanakah seharusnya ia berjalan?
Tulisan ketujuh di buku itu memberi jawaban untuk pertanyaan tentang keterpasungan Islam. Tulisan itu berjudul "Rukun Islam bukan (hanya) lima". Syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji memang rukun Islam. Tapi pembatasan Islam pada lima rukun itu adalah penyanderaan Islam.
Menurut Al-Nayhum, yang pertama melakukan penyanderaan Islam sedemikian rupa adalah Dinasti Umayah yang ditopang para ahli agama di sekitarnya. Keluarga yang mengubah sistem pemerintahan umat Islam menjadi monarki itu berupaya meredam hak-hak politik umat Islam dengan membatasi identifikasi keislaman pada aspek-aspek ritual belaka. (h. 52)
Padahal rukun Islam tidak sekadar lima ritual yang selama ini diperkenalkan melalui hadits Abu Hurairah itu. Rukun Islam juga mencakup amar ma'rf (mengajak ke arah kebaikan), nahi mungkar (mencegah keburukan), pengharaman riba, tanggung jawab atas segala tindakan, menjaga hak-hak perempuan, memelihara hak-hak anak-anak, membela orang-orang lemah, berdebat dengan baik dan melaksanakan ajaran kitab suci. (h. 58-59)
Untuk membebaskan Islam (dan tentu umat Islam) dari kurungan yang dibuat oleh Dinasti Umayah itu, Al-Nayhum mendorong umat Islam untuk meningkatkan dimensi keislaman: dari sekadar menjalani aspek ritual Islam menuju pelaksanaan aspek-aspek sosial-politik Islam.
Al-Nayhum juga ingin membebaskan (masjid) jami` dan (shalat) jumat dari pihak-pihak yang secara sadar atau tidak sadar melanjutkan tindakan Dinasti Umayah membatasi Islam. Sejak Nabi Muhammad saw. hidup hingga Ali ibn Abi Thalib wafat, "masjid" bukan hanya tempat beribadah, tapi tempat berkumpul masyarakat, sehingga tempat itu dinamai "jmi`" (tempat yang menyatukan). (h. 21). Hari jumat juga bukan hanya hari untuk shalat jumat, tapi hari untuk masyarakat berkumpul melakukan dialog sosial-politik, sehingga hari itu disebut jum`at (hari berkumpul). (h. 87)
Di jmi`, terutama di hari jumat, rakyat di zaman Nabi dan Khulafaurrasyidin dapat bertukar pendapat bahkan mendebat pemimpin. Di jami`, di masa itu, ada rakyat berani berkata kepada Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, "Demi Tuhan! Jika kami melihatmu melenceng, maka kami akan meluruskanmu dengan pedang kami!".
Dan ada rakyat yang mempertanyakan apakah khalifah Umar ibn Khathab telah membagikan bahan pakaian secara adil, mengingat bahan yang dibagikan hanya cukup untuk menjadi pakaian satu orang berukuran standar, sementara Umar yang bertubuh lebih tinggi besar dari ukuran standar memakai pakaian dari bahan tersebut. Jami` kala itu adalah public space untuk "berdemokrasi" ala umat Islam.
Usai pemerintahan Khulafaurrasyidin usai pula suasana dialogis umat Islam di jami` di hari jumat. Jami` yang sebelumnya tempat berinteraksi sosial menjadi masjid yang diposisikan terutama sebagai tempat ibadah. Jumat yang sebelumnya merupakan hari berkumpul dan berdialog menjadi sekadar hari untuk berkumpul melaksanakan shalat jumat dan mendengarkan khutbah jumat.Â
Di momen itulah, hakikat jami` menghilang dan inti hari jumat pergi, sementara Islam dan umat Islam dikurung. (h. 89) Agar jami` (ruang) dan jumat (waktu) kembali seperti idealitas masa Nabi dan Khulafaurrasyidin, jami` dan jumat harus diposisikan sebagai ruang dan waktu dialog sosial berkesetaraan, bukan sekadar ruang dan waktu ritual-monolog. Dalam dialog, semua pihak terkait aktif. Dalam monolog, hanya satu orang berbicara, sementara yang lain hanya pendengar pasif yang kadang mengantuk.
Di Aula Nurcholish Madjid Universitas Paramadina, Jakarta, Indonesia, idealitas itu diselenggarakan. Aula itu bukan masjid tapi jmi`. Di situ, tak hanya diadakan beragam kegiatan bernuansa dialog, tapi juga shalat jumat dan khutbah jumat sebagaimana umumnya. Tapi, pasca shalat jumat, ada sarasehan, di mana jamaah berdialog tentang tema di khutbah jumat kala itu dan hal-hal lain yang terjadi di masyarakat. Itu tindakan yang perlu diteruskan dan dikembangkan supaya tidak ada lagi realitas jami` tercuri, jumat pergi dan Islam tersandera.Â
Sumber: syiarnusantara. Id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H