Mohon tunggu...
Humaniora

Tentang Sombong kepada Orang Sombong

26 November 2017   16:38 Diperbarui: 26 November 2017   16:44 7777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Print Friendly, PDF & Email

Salah itu lumrah, termasuk bagi guru atau ustaz sekalipun. Siapapun kita adalah manusia yang tak luput dari salah. Seperti juga jika seseorang tak tahu, itu tak masalah. Memang manusia tak tahu sebelum mencari tahu atau belajar. Karena itu, ketika Ustaz Abdul Somad (UAS) melakukan kesalahan dengan mengejek artis Rina Nose (RN) dengan sebutan "jelek, buruk", meskipun kita menyayangkan, namun tetap kita tetap setia menunggu dan berhusnuzon bahwa ia akan meminta maaf. Sebab, jika itu terjadi, maka itu bukan hanya membuat masalah selesai, alih-alih bisa jadi membuatnya lebih terhormat di mata umat: walau seorang ustaz, ia tetap besar hati untuk meminta maaf saat salah.

Namun, menjadi ironi ketika klarifikasinya justru membela diri dengan mengatakan: "Sombong kepada orang yang sombong, shodakoh. Allahuakbar!!" Ia seolah tak tahu dan tak tahu kalau dirinya tak tahu. Tak ada celah yang dapat melegitimasi kata-katanya itu, apapun alasannya. Terlebih UAS adalah seorang ustaz yang disebutkan dalam hadis sebagai "pewaris para nabi". Dalam hadis riwayat Abu Dawud dikisahkan bahwa suatu hari Sayyidah Aisyah pernah berkata, "Aku pernah berkata kepada Nabi: Shofiyah pendek" Maka Nabi bersabda, "Sungguh telah kau ucapkan suatu kalimat yang jika kalimat tersebut dimasukkan ke air laut, niscaya akan mengubahnya (karena dahsyatnya dampak buruknya)" "Pendek" jelas setara dengan "pesek". Bisa jadi ia fakta, namun Nabi melarangnya lantaran dahsyatnya dampak buruknya pada objeknya: sakit hati, dan lain-lain. Terlebih UAS masih menambahkan kata "jelek", yang itu merupakan kategori estetis (keindahan), plus "buruk", yang itu masuk kategori etis. Apakah pesek berarti jelek atau apalagi buruk? Tentu tidak! Di Amerika Serikat, Iran, dan Brasil, masyarakatnya berbondong-bondong untuk mengoperasi hidungnya agar mungil.

Lalu, terkait klarifikasi tersebut, penting untuk dijelaskan bahwa, sebagaimana disebutkan UAS dalam video klarifikasinya, kata-kata tersebut bukanlah hadis, melainkan perkataan Imam Syafi'i. Di sisi lain, ada begitu banyak ayat dan hadis yang mengutuk orang-orang yang sombong. Selain beberapa ayat, dalam satu ayat yakni QS. Al-Baqarah: 34, ditegaskan bahwa sombong adalah perilaku iblis dan disebut Ibnu Katsir dalam tafsirnya atas ayat tersebut sebagai dosa pertama iblis. Dalam banyak hadis ditegaskan bahwa orang-orang yang sombong takkan masuk surga. Bahkan, dalam hadis qudsi disebutkan bahwa Allah akan membinasakan orang-orang yang sombong karena ia memakai "pakaian"-Nya, yakni sifat sombong tersebut.

"Keagungan adalah selimut-Ku dan kesombongan adalah selendang-Ku, barang siapa menentang-Ku dalam keduanya, maka akan Kubinasan dia." (HR Hakim)

Artinya, sudah sepatutnya bagi kita untuk berhati-hati dalam menuduh orang lain sombong, sekaligus berhati-hati juga dalam melawan kesombongan dengan kesombongan. Sebab, ancaman pada mereka yang sombong sungguh mengerikan, dan jika kita tergelincir ke dalamnya, maka kita akan menjadi orang-orang yang benar-benar merugi, yang kelak di akhirat akan menjadi pribadi yang bangkrut: menduga akan mendapat ganjaran surga atas shodaqohsombongnya, padahal justru kebinasaan lantaran kesombongannya adalah kesombongan dalam arti yang sebenarnya, bukan sebagaimana yang diajarkan oleh Imam Syafi'i.

Penting juga ditegaskan bahwa yang dimaksud dalam perkataan Imam Syafi'i tersebut tujuannya adalah sebagai strategi dakwah agar orang yang sombong tersebut sadar. Poin ini tentu juga harus dipertimbangkan, agar kesombongan kita benar-benar sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Imam Syafi'i. Jangan sampai kesombongan itu justru kontra produktif. Dalam arti, ia justru membuat objeknya menjadi semakin terjerumus dalam lubang kemunkaran.

Oleh karena itu, dalam masalah di mana kita tak tahu persis apa yang terjadi serta motifnya, ada baiknya untuk memilih jalan menyadarkan yang persuasif: menasehati dengan lembut. Termasuk dalam konteks RN, di mana sangat mudah diketahui bahwa ia tak menunjukkan sikap menentang, melainkan lebih semacam pergolakan. Di mana, sebaik-baiknya sikap adalah terus mendampinginya dengan nasehat.

Terakhir, juga yang terpenting adalah agar kita tak hanya menuntut wanita menutup auratnya, tapi juga laki-laki menundukkan pandangannya. Agar kita menjadi pribadi yang adil dan tak bias gender.

"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat."" (QS. An-Nur [24] : 30).

Sumber: Syiarnusantara. Id


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun