Pemberdayaan, jika ditelusuri dari kata dasarnya adalah “daya”. Daya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, didefinisikan sebagai kemampuan melakukan sesuatu. Dengan demikian, pemberdayaan dapat diartikan sebagai kegiatan untuk membuat berdaya. Dalam konteks ini, yang dibuat berdaya adalah masyarakat. Menurut Sumodiningrat, pemberdayaan adalah upaya memandirikan masyarakat melalui wujud dan konsep yang mereka miliki. Hal ini dapat direalisasikan melalui strategi pengembangan masyarakat. Strategi pengembangan masyarakat adalah salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat dengan menggali potensi yang dimiliki oleh masyarakat. Tujuan-tujuan utama dari strategi pengembangan masyarakat berfokus kepada peningkatan kemandirian, produktivitas, dan keswadayaan, serta kemampuan partisipasi aktif masyarakat.
DKI Jakarta, selaku ibu kota Indonesia, memiliki masyarakat yang latar belakangnya beragam, baik itu latar belakang daerah, bahasa, kultur, dan potensi. Secara geografis, DKI Jakarta sendiri yang merupakan kota yang dapat dikatakan “punya semua”, terutama infrastruktur dan kaya akan SDM. Salah satu dosen saya pernah mengatakan, “Jakarta itu kalau siang populasinya 11 juta, kalau malam 8 juta.” Maksudnya, populasi Jakarta bertambah sebab banyak orang yang masuk dari daerah-daerah lain, terutama untuk bekerja dan beraktivitas. Belum lagi orang dari daerah yang menetap di Jakarta. Dengan adanya fenomena ini, dapat dikatakan bahwa Jakarta merupakan tempat di mana pemberdayaan masyarakat menjadi suatu hal yang penting dan patut untuk diberlakukan.
Selama masa pandemi Covid-19, masyarakat DKI Jakarta memiliki tingkat aktivitas yang tinggi. Salah satu aktivitas sehari-hari yang dilakukan oleh penduduk adalah berbelanja. Bagaimana tidak, pusat perbelanjaan mudah untuk ditemukan. Tidak perlu ke supermarket, keluar ke ujung jalan sedikit, langsung terdapat minimarket atau warung. Benda yang paling umum digunakan saat berbelanja, selain uang tentunya, adalah kantong plastik. Tidak dapat dipungkiri bahwa plastik sudah menjadi salah satu kebutuhan esensial dalam kehidupan sehari-hari, hampir setiap aktivitas atau kebutuhan akan lebih mudah dengan memanfaatkan plastik. Mulai dari bangun tidur hingga kembali ke kasur, hampir tidak mungkin apabila seseorang tidak menggunakan benda berbahan dasar plastik, paling tidak sebanyak 2 kali.
Dengan kegunaannya yang berlimpah, plastik menjadi bahan dasar utama yang mudah diolah dan diperjualbelikan. Namun, mudahnya pengolahan plastik menjadi pisau bermata dua bagi masyarakat. Di satu sisi, pabrik pengolahan plastik dapat menarik tenaga kerja yang banyak sehingga dapat mengikis angka pengangguran, tetapi sifat mayoritas penduduk yang pragmatis terhadap plastik akhirnya berujung kepada terjadinya pencemaran lingkungan.
Upaya untuk mengurangi penggunaan kantong plastik telah diawali melalui kebijakan yang ditetapkan pemerintah, yakni kebijakan plastik berbayar. Kebijakan tersebut diuji coba pada 21 Februari 2016 dan diikuti oleh seluruh anggota ritel modern yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) di 22 kota di Indonesia.. Meskipun begitu, angka sampah plastik tetap saja tinggi. Selain sifat pragmatis yang dimiliki mayoritas masyarakat, kemungkinan lain mengapa kebijakan tersebut tidak efektif adalah arga yang ditetapkan bisa dikatakan terlampau murah, yakni sebesar 200 rupiah per kantong.
Rendahnya harga kantong plastik dan tingginya penggunaan kantong plastik dalam kehidupan sehari-hari akhirnya gagal dalam menanggulangi jumlah produksi limbah plastik yang dihasilkan oleh penduduk. Menurut InSWA (Indonesia Solid Waste Association), pada tahun 2021, sampah berjenis plastik berjumlah 5.4 juta ton per tahun (14% dari total produksi sampah). Jumlah ini berselisih 1.8 ton lebih banyak daripada sampah berjenis kertas. Apabila jumlah ini tetap stagnan atau bahkan bertambah, bisa-bisa TPA sudah tidak mampu menampung limbah lagi, sehingga terpaksa dibuang ke perairan atau dibiarkan begitu saja, tidak diolah.
Banyaknya jumlah limbah plastik tidak hanya berujung kepada pencemaran lingkungan, tetapi kepada penduduk yang bekerja sebagai pemulung sampah. Seringkali, kehadiran pemulung tidak diterima dengan baik oleh warga yang tinggal di pemukiman kelas menengah : perumahan. Saya pernah mendapati sejumlah kompleks perumahan di Jakarta dan sekitarnya yang melarang pemulung untuk memasuki kompleks tersebut. Alasannya beragam, salah satunya pemulung yang dikambinghitamkan sebagai maling karena ada pemulung yang terpergok mengambil barang milik penghuni secara diam-diam.
Memang, alasan tersebut adalah alasan yang masuk akal dan dapat diterima, sayangnya penduduk perkotaan kelas menengah justru menjadikan hal tersebut sebagai stereotip bagi pemulung di manapun. Padahal, sebagaimana masyarakat umum, pemulung melakukan pekerjaannya demi menghidupi diri dan keluarganya, apalagi mengingat mayoritas pemulung datang dari masyarakat kelas bawah, atau dapat dikatakan sebagai penduduk yang mengalami kemiskinan. Selain pemulung, pihak lain yang juga berurusan dengan sampah adalah tukang sampah. Namun, jika dibandingkan dengan pemulung, tukang sampah masih dapat dikatakan lebih sejahtera. Saya pernah tinggal di perumahan di mana pihak yang bertugas untuk mengangkut dan memilah sampah diberikan tempat tinggal di area perumahan serta iuran bulanan yang dikumpulkan dari setiap penghuni di perumahan tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa faktor sosial (ketidakpedulian terhadap lingkungan dan diskriminasi kelas) merupakan faktor utama terjadinya pencemaran lingkungan akibat sampah plastik.
Era digital yang memacu pesatnya perkembangan teknologi, diiringi dengan inisiatif sekelompok orang memunculkan titik terang bagi permasalahan sampah plastik yang dikira tak berujung ini. Pada tahun 2019, berdirilah aplikasi bernama Duitin (Daur Ulang Ini Itu). Berdirinya Duitin dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap tingginya angka sampah plastik di Indonesia. Selain berfokus kepada lingkungan hidup Indonesia, Duitin juga memiliki fokus terhadap masyarakat melalui ajakan bagi penggunanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan menaikkan taraf hidup serta citra Duitin picker (sebutan bagi penjemput sampah di Duitin) di masyarakat.
Duitin mengupayakan hal tersebut dengan memfasilitasi daur ulang sampah berjenis tertentu, yang hasilnya dapat dipergunakan oleh banyak pihak. Saya merupakan salah satu pengguna Duitin selama kurang lebih 3 bulan untuk menyumbangkan sampah botol plastik, dan hasilnya memuaskan. Untuk menggunakan jasa Duitin, pengguna hanya perlu mengunduh aplikasi melalui Play Store maupun App Store, lali mendaftar dengan memasukkan email dan nomor telepon pribadi, setelah itu memesan Duitin picker melalui customer service atau aplikasi Duitin. Setelah itu, Duitin picker akan datang ke tempat tinggal sesuai jadwal kedatangan untuk menjemput sampah daur ulang yang telah dikumpulkan pengguna. Sampah tersebut kemudian dibersihkan dan disortir berdasarkan jenis, warna, dan bahan, kemudian dikirim ke pabrik-pabrik untuk “disulap” menjadi karung, botol plastik, biji plastik, benang, dan kain. Beberapa hasil daur ulang tersebut bahkan dapat menjadi produk ekspor.