[caption id="attachment_74285" align="alignleft" width="520" caption="http://nofieiman.com/wp-content/images/penerimaan-cpns.jpg"][/caption] “Lamun hoyong ngurus eta mah kedah ka rt/rw heula”. Itulah kata kata yang terlontar dari bapak RT ketika bertemu di balai desa yang artinya: kalu pengen ngurus itu harus ke rt/rw dulu. yang akan saya urus untuk dibuat dalam rangka mencoba mengadu nasib ke pemerintah melewati jalur CPNS, jalur ini di indonesia masih digemari dan di buru para lulusan D3/DIV/S1/ataupun S2, motifasi utamanya adalah tidak lain untuk masa depan yang terjamin oleh pemerintah yaitu berupa pesangon yang diberikan di hari tua. Walaupun rumor yang beredar itu tidak akan ada dana pensiun untuk PNS tetapi orang masih banyak berbondong-bondong untuk mendapatkannya, termasuk aku.
Persiapan untuk membuat skck sudah aku siapkan sejauh-sejauh hari, dengan bermodal browsingdi internet menyisipkan kata kunci “cara membuat SKCK” di mbah google, hasil pun didapatkan beberapa artikel dari para blogger yang berbaik hati menulis untuk kepentingan orang banyak, telah terlihat. Aku tulis persyaratannya, diantaranya: surat pengantar dari kelurahan, foto copy Kartu Keluarga (KK), foto copy KTP, pas foto 4x6. Itu semua belum termasuk banyak berapa jumlah dari masing-masing, nanti aku runtut satu-satu.
Aku pun diantar oleh ua edy (panggilan akrab pak RT), kebetulan dia sedang di balai desa, hampir-hampir dia mau pulang, karena mungkin sudah kenal, dengan bahasa kekeluargaan aku menyapa dia, tos ti bale desa ua? Tanyaku kedia, uhun, bade kamana a? Tangkas orang yang separuh baya tersebut, bade ngadamel SKCK ua.., balasku sambil menaruh helm ke dalam jok motor, hayu atuh ku ua di anter...! kata dia langsung mengajak aku masuk ke balai desa. Pikirku, emang bisa ya ngurus SKCK langsung ke balai desa? Padahal menurut panduan yang dikeluarkan oleh mbah google, prosedurnya harus dari tingkat bawah dulu yaitu rt, dengan membawa blangko surat pengantar, dari rt hingga kecamatan. Tidak dipikir pusing aku pun memasuki balai desa itu, disana sudah ada carik (sekertaris desa) sampai pembantu umum, akupun diajak masuk ke dalam ruang administrasi, ua edy dengan gaya kepemimpinannya menyuruh ke carik tersebut untuk membuatkan pengantar desa untuk membuat SKCK buat aku, keanehan terjadi pada sistem birokrasi di tingkat pedesaan, apa bisa seorang rt menyuruh sekretaris desa untuk mengerjakan kepentingan administrasi, padahal begitu jauh tingkat jabatannya, selisihnya juga dua level, apakah hal ini karena terlalu kentalnya kekeluargaan sehingga bisa menembus sampai dua level jabatan, ataukah ini sebuah kolusi yang terselubung? Entahlah apa namanya, waktu itu karena aku hanya diajak sama ua edy saja masuk ke balai desa. Carik pun berfikir sejenak, tidak lama kemudian sambil menggerak-gerakan mouse yang ada dihadapannya, dia angkat bicara dibarengi dengan deheman ala presiden soeharto tempo doelo, nya kedah aya cap ti rt/rw ua..! dia mencoba berkata bijak dan sopan agar surat pengantar itu ditambahkan cap rt/rw didalamnya. Dengan sedikit mengangguk orang yang sebagai ketua rukun tangga di rumahku itu mulai memahami prosedur dari birokrasi.
Suasana hening, hanya ada suaru mesin ketik yang sudah usang telah memenuhi ruangan administrasi desa, mungkin bingung untuk membuka topik pembicaraan setelahnya carik menegur pak rt. “Ciamis oge kenging ku lebu merapi nya?” inisiatifku untuk membuka topik pembicaraan pun muncul seketika, aku bermaksud mengajak bicara orang-orang yang ada disana tentang sampainya abu vulkanik dari gunung merapi ke ciamis, yang meletus dari tanggal 26 oktober 2010. Ternyata inisiatifku lumayan berhasil, seorang ibu pegawai desa bagian kependudukan pun menanggapi pembicaraanku dan membenarkan bahwa ciamis kena dampak dari abu vulkanik merapi. Surat pengantar yang akan dijadikan prasyarat pembuatan SKCK sudah ditulisi alakadarnya oleh carik, karena itu sebuah blanko saja, yang terpenting dari blanko itu Cuma tanda tangan pejabat yang sudah tertera dan cap stempelnya. Sebelum pulang, bermaksud untuk mengikuti ua edy kerumahnya aku dikejutkan dengan sesosok pemuda yang membuka memoriku pada masa duduk di bangku SD. hera...! sambil kaget aku berjabat tangan dengannya, kayaknya dia masih ingat sama aku. Ternyata dia mempunyai jabatan fungsional di aparatur desa, walau belum mendapatkan ijazah sarjana di fakultas ekonomi unigal, dia sudah diperjaya menjadi bagian keuangan desa, ya syukurlah, berarti dia sudah bisa dipercaya oleh masyarakat dan sudah mengabdi kepada negara.
Hanya ingin mendapatkan beberapa cap stempel basah yang dibubuhkan kedalam secarik kertas, sebagai bentuk administrasi syarat dari pembuatan SKCK, saya bolak-balik mendatangi pintu-pintu rumah para pejabat pemerintah tingkat VII sampai tingkat VIII (rt sampai rw), untungnya pejabat tingkat VI dan V sudah ada di balai desa, jadi bisa sekalian minta ttdnya di sana. Hingga adzan duhur pun sudah meramaikan dan menyejukkan hati para insan manusia, aku pun hampir selesai dalam pencarian cap stempel, tinggal dari pejabat pemerintah tingkat IV (kecamatan). Rencana pergi ke kantor setelah jam istirahat terhambat, karena hujan dan sindrom males melandaku, aku putuskan besok pagi pergi ke kantor kecamatan.
Hari jumat pun tiba, dimana agendaku berikutnya adalah memburu cap stempel berikutnya sebelum berangkat ke polsek ciamis. Dengan tergopoh-gopoh aku segera pergi ke kantor kecamatan, tak kusangka tak jauh dari rumah orang tuaku, kantor kecamatan sudah ditemukan. Ruang administrasi langsung jadi sasaran utamaku, tanpa basa-basi aku mengutarakan maksud kedatanganku ke sana. Kelihatannya kertas itu langsung sudah di tanda-tangan dan di cap stempel basah, akupun dipanggil oleh petugas, sesuai dengan petunjuk yang dicari dari mbah google pengurusan surat keterangan sampai ke kecamatan itu sifatnya gratis atau tidak bayar, tapi kenapa aku dimintai uang RP 10.000? buat apakah itu? manakah yang benar? Apakah ada aturan baru yang sifatnya tidak dipublikasikan? Entah lah, analisisku belum nyampe sampai sana, walaupun ada aturannya semestinya hal tersebut seharusnya dipublikasikan, minimal ada tempelan tentang peraturan harus membayar biaya administrasi.
Ya sudahlah, ber-khusnudzon aja, sekiranya itu lebih baik daripada apa yang kita berikan jadi tidak bermanfaat. Yang penting setelah runtutuan tersebut kita semestinya pergi ke polsek untuk membuat pengantar lagi, apabila di ciamis polseknya terdapat di dekat koprasi tumbal, ruangan pengurusan pengantar SKCK ada di gerbang polsek. Kesan pertama kepada polsek, tidak begitu menyeramkan dan tidak pula menyebalkan karena sapaan khas orang ciamisnya masih ada. Namun setiap orang memang berbeda karakter, petugas yang berbaju bebas itu sepertinya handap asor-nya itu hanya kepada pimpinan atau orang yang dia takuti saja, jangankan mengharapkan senyuman, sapaan yang sopan pun tidak terlotar dari mulutnya. Kesiapan mental di kantor kecamatan dan polsek memang berbeda kadarnya.
Cek dulu kelengkapan sebelum masuk. Mungkin selogan itu cocok untuk di tempel di depan ruangan administrasi apapun, karena tidak kebayang capeknya bila abis sampai polsek ternyata persyaratannya kurang, tidak ada toleransi pasti disuruh melengkapi lagi persyaratannya. Hanya sedikit yang diminta di polsek diantaranya: (1) surat pengantar dari kelurahan, (2) pas foto berwarna 4x6 dua lembar, (3) foto copy KK (kartu keluarga). Sejatinya tidak ada yang rumit dalam pengumpulan persyaratan tersebut hanya saja butuh kesabaran. Alangkah bagusnya bila sebelum menyerahkan persyaratan membaca kertas-kertas dulu yang ditempel di sekitar ruangan, dan aku dapatkan secuir kertas yang berisikan peraturan dalam pembuatan skck, diakhir kata ada tulisan RP 10.000. Kepalaku terangguk beberapa kali, mengerti dan setuju apabila peraturannya sudah jelas dan transparan kepada publik. Aku suka itu.
Pencarian secarik kertas skck hampirlah rampung. Tinggal pergi ke Polres ciamis. Bila belum dapet sidik jari nanti tiba di polres tidak usah mampir kesini kemari, tinggal tanya aja tempat sidik jari diman? Karena itu pasti menjadi syarat membuat skck, namanya juga surat keterangan catatan kepolisian, pastinya membutuhkan sidik jari, bila mana ada yang nyolong (nyuri) bisa ketauan (tapi nyolong duitnya rakyat kok jarang yang ketauan ya??!!). Ditempat sidik jari siapkan pas foto 4x6 dua lembar dan surat keterangan dari kapolsek tadi. Disertakan menulis data pribadi dari kertas yang sudah dipersiapkan. Sudah selesai penyidikan sebenarnya, tapi sebelum meninggalkan ruangan kok disuruh “masukin” kotak amal ya? Serasa kotak amal kayak gitu adanya di masjid, ternyata di kapolres juga ada, bukan untuk beramal karena keikhlasan, tapi karena ada penukaran jasa. Sekali lagi dihatiku ada yang mengganjal, apa susahnya sih mencantumkan sebuah peraturan yang mengatur membuat sidik jari itu sifatnya berbayar, itu pun kalau memang peraturannya ada. Kalau hanya berbentuk sebuah kotak amal, berapakah nominal yang harus diberikan untuk pengurusan sidik jari? Satu juta bisa, seratus rupiah pun bisa tuk masuk ke kotak amal, sungguh “terlalu” peraturan di negri ini.
Setelah kejadian “kotak amal” akupun sempat berfikir, mendingan meminta langsung daripada harus mengisi kotak yang tidak jelas nominalnya, kalah dengan wc umum, mandi: 2000, kencing 1000, jelas peraturannya. Ya sudahlah, sifat orang jawa yang selalu nerima, keluar dari mulutku. Setelah beranjak dari ruangan sidik jari akupun masuk ke ruangan skck, dan disana ada lagi suatu keanehan. Dari petugas yang menerimaku, memerintah untuk mengisi data pribadi sebelum pencetakan skck. Tapi kenapa harus membeli blangko di foto copy? Walaupun harus bayar 5000 Kenapa tidak disediakan di sana saja? Pemberdayaan foto copy kah? Sehingga kami yang disana pun “dikerjain”, disuruh membeli blangko isian di foto copy-an depan polres. Sungguh tidak efektif. Isian blanko tersebut memuat data pribadi sampai pernyataan kriminalitas. Sebuah format blanko isian data pribadi juga terjadi keanehan yang kesekian kali, adakah orang yang akan membuka aibnya sendiri? Ataukah seorang penjahat, akankah mengaku dia pernah berbuat kejahatan? Karena balanko isian tersebut diisikan oleh diri sendiri.
Skck pun telah selesai dibuat sebelum aku menyelesaikan tugas mengisi data pribadi, 10.000, dimintakan untuk administrasi, dan legalisir satu lembar seribu rupiah. Memang apa yang diutarakan semuanya adalah hal yang sepele dari sebuah birokrasi kepemerintahan, adakah birokrasi yang tidak memberatkan rakyat di negri ini? Janganlah menyepelekan masalah-masalah yang kecil, karena api juga awalnya kecil, bila dibiarkan pastinya akan menjadi bencana.
Salam
Fadil
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI