Mohon tunggu...
Fadil Ahmad
Fadil Ahmad Mohon Tunggu... -

saya senang membaca, menulis itu cita-citaku

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pantai Sundak: Bunga Desa yang Tak Dikenal Orang

3 November 2010   06:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:52 819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_313678" align="alignleft" width="300" caption="jepretan sendiri"][/caption] Jam kamarku menunjukan angka 08.10, tak teringat janji yang sudah di sepakati dengan kekasihku; Susi Rimayanti, smsnya pun bertubi-tubi masuk dalam inbox hapeku. Barulah teringat, janji yang sudah di pegang hampir tak lupakan. Bergegas tanpa basa-basi peralatan perjalanan ke pantai langsung disiapkan. Sesampai di kost dia aku terlupa dengan janji dengan toko swalayan; perbekalan belum saya beli, karena menurut kabar dari teman, pantai yang aku akan kunjungi itu, bak pantai yang tak bertuan, walau ada penjual makanan disana, pastinya harganya berbeda dengan harga pasaran. Aku beli sebungkus roti bantal dan sebotol air mineral.

Sarapan pun telah kujalani dengan sedikit gaya kelaparan,karena jam di hape sudah menunjukan jam 09.05, padahal aku tidak tahu dengan rute perjalanan yang akan ku tempuh, apalagi kekasihku, dia bukan asli yogya walau orang tuanya berdarah yogya, tapi tempat tinggalnya di Bali. Maka dari itu ada satu janji lagi yang harus di bayar, yaitu dengan tetangga kost, dia akan member coret-coretan tentang peta amatir yang akan diwasiatkan kepadaku. Langsung kami bergegas berangkat ke kost temapat dia tinggal. Sesampai disana, tak kusangka menepati janji itu sangatlah penting, satu keluarga sudah menunggu di pelataran kostan keluarga. Disana ada sepasang suami istri, anak dan adik dari suaminya yang sedang ngaso sambil bercanda ria. “eh susi sama fadil sudah datang” ibunya dari anaknya yang namanya amel menyapa kami terlebih dahulu, tak lama kemi berbincang, suami dari ibunya amel pun selesai membuat peta amatir petunjuk arah yang menuju ke pantai sundak, dan kami bergegas pamit, segera berangkat ke tempat yang dituju.

Perjalanan melalui jalan wonosari, yaitu sebelah timur kota yogya, bila bingung mencari jalan wonosari, cukup selusuri jalan melewati terminal giwangan (yaitu terminal kota Yogyakarta) kea rah timur melewati dua perempatan dan setelah perempatan ke dua dari jalan ringroad belok kanan ke arah timur, itulah jalan wonosari. Tanpa harus menoleh ke kana dan ke kiri untuk mencari arah ke wonosari, karena wonosari berjarak sekitar satu jam perjalanan dengan jarak tempuh 60 KM/Jam. Di seperempat perjalanan akan disambut dengan perbukitan yang indah, orang asli yogya menamainya dengan daerah “bukit bintang”, entah kenapa nama daerah tersebut dinamakan bukit bintang, padahal jelas-jelas di pinggir jalan ada plang yang bertuliskan “Ibu kota Kecamatan Patuk”, mungkin itu sebagai nama popular saja, karena kalau kita melewati sana dengan perjalanan malam hari, baik itu musim kemarau atau hujan tetap akan melihat bintang yang bertaburan, kenapa ada bintang pada musim hujan? Jawabannya, karena bintang tersebut tidak diam di luar angkasa tetapi ada di bawah bukit, yaitu, lampu-lampu kota di sekitar kota yogya yang berhamburan sangat mempesona. Setiap orang yang lewat bukit bintang dengan kendaraannya, mestinya kendaraan tersebut akan mendadak berjalan lambat, sehingga akan terlihat jelas dan terpenuhi dengan ucapan syukur kepada yang Maha Kuasa. Itu baru saja keindahan yang diciptakan dengan tidak sengaja oleh tangan-tangan manusia, bagaimanakah keindahan yang diciptakan Tuhan?

Tak kusangka perjalanan sudah melewati separuhnya, kota wonosari pun akan aku lewati. Entah apa nama daerah yang kulewati itu, yang jelas di pertengahan perjalanan ke wonosari, akan menjumpai hutan lindung, kanan kiri juga hutan, walaupun jalannya sunyi karena dipenuhi hutan tetapi jalan aspal yang dilalui sangat enak dilewati. Masalah jalan memang bagaimana produktifitas dari PemKab setempat, karena sudah otonomi daerah jalan pun bagaimana kaya atau tidaknya kota tersebut, berbeda dengan tempat aku dilahirkan, Jalan-jalan Kabupaten pun masih menjadi buah bibir karena tidak layak pakai, memang tidak adil.

Jalan yang sunyi dan mencekam sudah kami lewati, Jantung wonosari pun sudah tampak dihadapan mata. Aku suruh kekasihku susi, melihat kembali peta amatir yang diwasiatkan oleh bapaknya amel, ternyata skalanya itu sangat besar sekali, baru saja melewati pasar wonosari yang terletak di kanan jalan, tidak kurang dari 200 Meterpertigaan jalan baron sudah terlihat. Memang namanya jalan baron, karena pantai yang sudah terkenal disana adalah baron. Di jalan baron kami mendiskusikan bagaimana cara masuk ke TPR-nya, karena sebelumnya ibunya amel sudah berpesan ke kami, kalau sudah dekat atau sampai pintu masuk, sms aja. Kami bimbang dengan tawaran ibunya amel, disatu sisi menguntungkan buat kami kalau masuknya tidak bayar, satu atau dua mangkok bakso bisa kebeli, lagian yang jaganya itu teman bapaknya amel, sebelum kami berangkat dia sempat bercerita; dulu pernah ngantar satu bus tapi karena bawa orang asli tepus (nama daerah pantai sundak) ongkos masuk rekreasinya bisa free. Kami pun terdiam dalam perjalanan sambil mempertimbangkan tawaran itu dan melihat-lihat keagungan Tuhan yang berupa bukit-bukit bebatuan. Tidak lama kemudian saya usul ke kekasihku cara masuk ke obyek wisata tersebut sebaiknya bayar seperti bagaimana orang bertujuan berekreasi, dengan alasan kenapa kita harus gak bayar, lagian kita bukan orang sana.

Jam 11 sudah, pintu masuk obyek wisata pantai baron, kukup, krakal, sundak, dan ada lagi pantai-pantai yang lain (aku lupa namanya), ada sekitar 6-7 nama pantai dalam satu pintu masuk. Sangat menakjubkan, baru pertama kali masuk obyek wisata, begitu banyak tempat-tempat yang bisa di nikmati pemandangannya. Kami sudah sepakat akan membayar retribusi pintu masuk obyek wisata. Subhanallah tak ku sangka, ternyata harganya hanya semongkok bakso di pedagang kaki lima, dengan cukup membayar RP 5000,- kita bisa menikamati beberapa pantai sekaligus. Setelah masuk jalan menuju pantai kami sempat bingung, pantai mana dulu yang akan dijamahi, referensi dari teman-teman pantai yang bagus di kunjungi: pantai baron, kukup, krakal, dan sundak. Kami dihadapi dengan beberapa pilihan, ini harus sedikit menerawang dan mengira-ngira pantai mana saja yang akan dikunjungi, karena setelah ½ KM dari pintu masuk, jalan terbagi menjadi dua, yang pertama jalan menuju baron, dan yang kedua jalan menuju ke 5-6 pantai lainnya. Kami putuskan mengambil jalur yang banyak pilihan pantainya, karena bisa berkunjung 2 atau lebih pantai sekaligus dalam 1 kali perjalanan.

Kukup adalah Pantai pertama di urutan pantai-pantai yang ada, kami lewati saja, karena serasa tempat wisata itu sepi sekali, padahal ibunya amel bilang pantai kukup itu bagus pemandangannya, tetapi kami lebih penasaran ke pantai sundak, karena melihat unduhan foto teman-teman yang sudah ke sundak, sudah menyihir kami, sehingga ingin mengetahui tempat itu. Sepertinya perjalanan kami dari pantai kukup tadi sudah memakan waktu 15 menit, belum nampak tanda-tanda kehidupan pesisir pantai, belum ada bau air laut dan pasir putih yang kebakar matahari. Lima menit kemudian di ujung mata memandang terlihat hamparan air laut yang tak tahu ujung pangkalnya, tidak pikir panjang kami berbelok kepertigaan sebelah kanan, lautan dan diiringi dengan kencangnya angit pesisir pantai memaksa kami mengikuti ajakan untuk mengunjunginya. Petugas parkir menghadang perjalanan kami, ternyata kita membayar parkir dahulu, percis seperti memasuki sebuah pameran computer, kok dipungut lagi ya? Padahal tadi sudah bayar di loket pintu gerbang pertama.

Kami sudah mengira tempat tersebut adalah pantai sundak, namun pencarian kami kali ini belum tepat, di depan tempat parkir tertuliskan “Selamat Datang di Pantai Krakal”, tak kusangka 20 menit perjalanan dari pintu masuk retribusi, kami baru menemukan pantai krakal, dimanakah sundak? Apa sudah terlewati? Ya sudahlah, kami tidak terlalu ngambil pusing tentang kesalahan masuk pantai, yang ada di benak kami adalah istirahat, karena hampir 2 jam kami berada diperjalanan. Bila pantai kukup bisa bicara, mungkin saat itu kami ditertawakan dan diejek olehnya karena tidak mau melihat keindahan yang diberikan Tuhan kepada pantai itu, ternyata pantai krakal jauh lebih sepi dibandingkan dengan pantai kukup, tidak seperti obyek wisata pada umumnya, mungkin saja karena bukan waktu liburan, atau kebiasaan orang yang akan ke pantai jika matahari sudah mulai condong ke barat.

Pantai Krakal memancarkan pesonanya, ditemani dengan batu karang yang menyerupai pulau yang tak berpenghuni. Tak ada sampah yang mencemarinya, ombak yang berdatangan ke tepi pantai pun seelok putri solo yang berjalan, tak terganggu apapun, dan menyapa keindahan pasir putih seakan ingin mengajaknya menyatu dengan lautan. Batu karang terlihat disana berderet tiga batu yang menyerupai tentarayang sedang menjaga tanah airnya dari serangan penjajah.

Memang tak terasa bila sudah diam di air, sudah satu jam sudah terlewati, kami pun berencana ke tempat pertama yang di tuju, telah dijanjikan dari foto uploadan teman-teman yaitu pantai sundak. Sebagai pengetahuan saja dan pengalaman, kalau ingin ke pantai krakal dan sundak, sebaiknya rute perjalanana mendahulukan mengunjungi pantai sundak, karena kalau ke pantai kerakal dulu nanti malah bayar karcis masuk lagi, padahal dari belakang sana pintu masuk yang resmi sudah ada, entah retribusi yang di pantai itu untuk kepentingan apa, tapi bila memang mau berbaik hati sih ya monggo!

Jalur pantai krakal dan pantai sundak sebenarnya menyatu, dan pantainya juga twin alias kembar, sama-sama mempunyai pulau kecil di tengah lautan, Cuma yang membedakan adalah nama tempatnya dan suasana pemandangannya yang berbeda. Sekiranya pantai krakal dan sundak tidak kalahnya dengan pantai kuta sekalipun, walaupun aku sendiri belum pernah ke kuta-Bali, tapi menurut pengakuan kekasihku, kuta juga kalah dengan keindahan pantai yang panjang tapi berbeda-beda nama itu.

Menyisiri pantai sundak nan indah di hamparkan pasir putih yang memanjakan kaki, krikil-krikil bongkahan batu karang berkilauan di pinggir pantai, batu karang yang angkuh berdiri di tengah lautan sedang menantang ombak tak ingin beranjak dari tempatnya. Tak ada kata yang pantas untuk ku ucap dari keindahan itu rmelainkan subhanallah. Keindahan dari tangan Tuhan yang tak ada tandingannya, seniman tak bisa membajak keindahannya, arsitek pun tak akan bisa mencontek dari sebuah dekorasi surga dunia. Terlihat pencari batu-batu karang yang sedang sibuk mensortir agar bisa layak jual, pemancing professional sampai amatiran sama-sama berjejer bebarengan menghabiskan waktu, tak peduli dapat ikan atau tidak. Mata kami pun tertuju pada segerombolan orang yang sedang berjalan ke tengah lautan membawa lintar mendekati batu karang, mungkin mereka bermaksud mencari ikan, pertanyaan pun terbentuk sangat besar didalam otak kami, kok zaman sekarang masih ada orang yang bisa berjalan di atas air? Rasa penasaranpun mengundang kami untuk mendekat dan melihat ada apa di utara sana. Subhanallah, kedua kalinya kata itu terucap dari mulut kami, segerombolan orang tersebut tidak mempunyai ilmu kebatinan apa-apa, tetapi memang laut tersebut dangkal, airnya hanya bisa membasahi sampai diatas mata kaki. Tidak pikir panjang lagi, kami pun mengikuti jejak para pemuda tersebut ingin merasakan menjadi aktor dan artis lautan. Sesamapi di karang yang angkuh itu, tak terasa dan tak kuduga, baru kali ini kami bisa menjauh dari pesisir pantai dan pergi ke tengah lautan.

Gerimis mengundang, mengingatkan kami akan waktu, memang tak terasa bosan bila keindahan terus ada disekitar kita, waktupun hampir terlupakan, ingin ku sambut kedatangan matahari pergi ke ufuk barat tapi kami harus bergegas untuk pulang, karena perjalanan ke jogja memakan waktu hampir 2 jam. Sebenarnya masih ada hutang janji kepada kukup, baron yang mau tak kunjungi, tapi apa daya, mungkin belum di takdirkan untuk kesana. Tunggu kami baron dan kukup, kami insya allah akan datang lagi dilain waktu ketika kami dipersatukan. Tolong diamini ya kawan…

Begitulah secuil dari cerita rasa syukurku akan kesehatan, keindahan dan cinta.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun