Mohon tunggu...
Syekh Muchammad Arif
Syekh Muchammad Arif Mohon Tunggu... Konsultan - Menawarkan Wacana dan Gagasan Segar sertaUniversal

syekh muhammad arif adalah motivator dan bergerak di bidang konsultasi pendidikan dan pemerhati sosial dan keagamaan universal

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Penghormatan Habib: Syiar Islami atau Perbudakan Spiritual? Bagian Pertama dari Dua Tulisan

24 November 2020   20:49 Diperbarui: 25 November 2020   05:31 1537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Habib, Sayyid, dan Syarif adalah nama dan julukan yang disematkan/dinisbahkan kepada keturuan Nabi saw. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, habib dimaknai sebagai

1. seorang yang dicintai; kekasih

2. panggilan kepada orang Arab yang berarti tuan

3. panggilan kepada orang yang bergelar sayid.

Adalah hal yang tak terbantahkan bahwa memang keturunan Rasulullah saw itu ada di pelbagai penjuru dunia, dari kulit hitam sampai kulit putih; dari mata lebar sampai mata sipit; dari hidung mancung sampai pesek.

Tidak ada data resmi (statistik ilmiah yang memastikan jumlah habaib (bentuk jamak/plural dari habib) di dunia) tetapi beberapa analisa dan pengamatan menunjukkan bahwa tidak kurang dari sekitar 70 juta jumlah habaib dan syara'if (wanita keturunan Nabi Muhammad saw) yang ada di dunia. Ketua Umum Rabithah Alawiyah Sayyid Zen Umar bin Smith menyatakan bahwa di seluruh dunia kurang lebih ada sekitar 68 qobilah (marga) dari keturunan Rasulullah, termasuk di Indonesia dan jumlah keturunan Nabi Muhammad yang ada di Indonesia sekitar 1-1,5 juta orang.

Tentu angka ini terus bertambah. Banyaknya populasi habaib di dunia semakin meneguhkan kebenaran mukjizat Al-Qur'an bahwa al-Kautsar yang salah makna tafsirnya adalah keturunan Siti Fatimah az-Zahra memang menyebar dan banyak ditemukan dimana-mana. 

Tidak ada satupun yang mengingkari fenomena dan fakta keberadaan orang-orang yang mengklaim dirinya yang memiliki nasab bersambung kepada Baginda Nabi Muhammad saw dan mereka dikenal menjaga nasabnya serta mempunyai syajarah nasab (pohon nasab) yang di Indonesia bentuknya seperti paspor hijau yang di situ tertulis ayahnya, kakeknya dan sampai bersambung kepada Siti Fatimah al-Bathul dan Rasulullah saw.

Peran dan kontribusi historis habib/habaib di kancah nasional dan internasional pun tak bisa dipandang kecil/enteng, sehingga tidak berlebihan bila dikatakan bahwa mereka adalah pilar peradaban Islam, penyebab persatuan dan amannya umat dari perselisihan, dan terbentuknya identitas masyarakat Islami. Dengan kata lain, habaib adalah kekuatan software dunia Islam yang memiliki pengaruh secara langsung atau tidak pada masyarakat.

Zen mencontohkan, di Jakarta ada Habib Ali bin Abdurrahman Kwitang, Habib Ali bin Husein Alatas di Cikini, Habib Abdullah bin Muchsin Alatas di Bogor dan lain-lain. Menurutnya, beberapa habib itulah sedikit contoh dari yang memang benar-benar habib dalam arti yang sebenarnya.

Sayyid Zen menyatakan bahwa banyak keturunan Sayidina Hasan  yang menjadi raja atau presiden di Maroko, Jordania, dan kawasan Timur Tengah. Pertama kali ulama-ulama dari Yaman atau Hadramaut masuk ke Indonesia di beberapa daerah. Karena adanya akulturasi budaya, sebutan sayyid di Aceh berubah menjadi Said, di Sumatra Barat menjadi Sidi dan lain sebagainya.

Habib Zen mengemukakan bahwa tidak gampang mengaku sebagai habib karena ada berbagai persyaratan, di antaranya: harus memiliki ilmu yang luas dan mengamalkannya, ikhlas, wara dan bertakwa kepada Allah. Dan yang paling penting adalah akhlak yang baik. Sebab, bagaimanapun keteladanan akan dilihat orang lain. Seseorang akan menjadi habib atau dicintai orang kalau mempunyai keteladanan yang baik dalam tingkah lakunya. Demikian Habib Zen.[1]

Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, ada barisan habaib yang memberikan kontribusi signifikan, di antaranya:

1. Al Habib Ali Al Habsyi (lahir di Jakarta 20 April 1870). Beliau merupakan salah satu yang berperan dalam kemerdekaan dalam penentu hari dan waktu proklamasi.

2. Al Habib Idrus Al Jufri

Ulama yang lahir di Tarim, Yaman, 15 Maret 1892 M ini memiliki peran penting dalam kemerdekaan sebagai pengagas bendera pusaka Merah Putih.

3. Al Habib Syarif Sultan Abdul Hamid II

Sultan Abdul Hamid II yang lahir di Pontianak, 12 Juli 1913 M merupakan tokoh bangsa yang sangat berjasa dalam kemerdekaan. Beliau merancang Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila dan menjadi peserta Konferensi Meja Bundar saat Belanda akhirnya mengakui kedaulatan negara Republik Indonesia.

4. Al Habib Husein Muthahar

Beliau lahir di Semarang, 5 Agustus 1916 M  dan dikenal sebagai bapak Pramuka Indonesia dan pencipta Lagu Kebangsaan, yakni Hymne Syukur, Mars Hari Merdera, Dirgahayu Indonesia dan 17 Agustus.

Beliau menerima gelar kehormatan negara bintang Mahaputera atas jasanya menyelamatkan bendera pusaka Merah Putih dan juga memiliki bintang gerilya atas jasanya ikut berperang gerilya pada tahun 1948 hingga 1949.[2]

Menurut Habib Luthfi bin Yahya, di antara generasi wali yang datang untuk berdakwah di Indonesia terdapat banyak nama habaib, di antaranya: Sayyidina Imam Quthub Syarif bin Abdullah Wonobodro, Sayyid Ibrahim, Sunan Gribig, Sayyid Jalal Tuban, Syeikh Datuk Kahfi/Dzatul Kahfi/Sayyid Mahdi Cirebon, Sayyid Abdul Jalil (Sunan Bagus Jeporo).[3]

Di Afghanistan tidak kurang dari 3 juta jumlah habaib. Dan di negara yang sering dilanda perang dan sampai sekarang masih berkecamuk, para habaib sangat berperan dalam mendamaikan pihak-pihak yang berseteru. Karena para habaib di Afganistan sering melayani masyarakat maka mereka mendapatkan kehormatan khusus di tengah masyarakat.

Pada dekade abad kedua sampai kelima Hijriah di Barat Afrika, berdiri pemerintahan yang bernama Idarasah atau Idrisiyyun dan Fathimiyyun yang satu bernasab Hasani (terhubung nasabnya dengan Sayidina Hasan) dan yang lain Husaini (terhubung nasabnya dengan Sayidini Husain). 

Sampai sekarang keturunan mereka tetap ada di sana dan dikenal dengan sebutan "syarif" (orang mulia) meskipun pemerintahannya sudah tumbang. Raja Hasan di Maroko adalah salah satu keturunan Nabi saw. Perlu dicatat juga bahwa Fathimiyyun di Mesir memerintah kurang lebih duaratus (200) tahun dan banyak keturunan Nabi saw tersebar dari mereka di Mesir. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Sayyid Barzanji, Syarif Hussen Yordania, termasuk deretan habaib.

Bani Abbas yang cukup lama  memerintah di dunia Islam sekitar lima ratus (500) tahun adalah para habaib. Dan banyak dari keturunan Bani Abbas yang hidup di pelbagai negara Islam. Di Lebanon pun banyak ditemukan habaib.  Sementara itu, di Maroko lebih terdapat dari satu (1) juta habaib yang mereka dijuluki dengan sebutan Idrisi dan 'Alawi.

Menurut Ustad Asad Syahab, di Indonesia, kebanyakan habaib berasal dari keturunan Rasulullah saw yang berasal Hadromaut dari Sayyid Uraidi Husaini yang hijrah ke Indonesia. Sebagian habaib keturunan 'Uraidhi menjabat di pemerintahan Oman.

Hasan Assegaf, penulis produktif yang tinggal di Yordania adalah seorang Habib. Dan salah satu keluarga habaib Ahlu Sunnah adalah keluarga Alusi. Bisyir al-Hafi seorang wali besar di Irak berguru dan taubat di tangan Sayidina Musa bin Jakfar al-Kazhim dan Raja Abdullah Yordania adalah Habaib dari keturunan Sayidina Hasan. 

Dan Sayyid 'Alawi Maliki di Mekkah yang banyak habaib dan para kyai dan ajengan di Indonesia menjadi muridnya dan mengidolakannya, penulis kitab "Mafahim Yajibu an Tushahhah" adalah juga seorang habib. 

Habib Umar bin Hafizh, ulama asal Yaman adalah idola masa kini kaum Muslimin di Indonesia. Guru-guru (syekh-syekh/masyayikh) thariqah sufi di Mesir kebanyakan dari kalangan habaib. Abbas Mahmud 'Aqqad, penulis kondang Mesir adalah seorang Sayyid. Shadiq al-Mahdi, perdana menteri Sudan mengklaim  bahwa dirinya adalah keturunan Nabi saw. Sementara itu di India, keluargan Panteh semuanya dari keturunan Nabi saw, seperti keluarga Abul A'la Maududi. Sayyid Abdullah Bukhari yang merupakan Imam Jumat Dihli termasuk habib.

Persoalan yang mengemuka dan masih banyak yang gagal paham  adalah apakah takzim dan takrim (penghormatan) kepada mereka habaib termasuk syiar Islami atau pengkultusan atau perbudakan spiritual (mendewa-dewakan keturunan Nabi saw)? 

Apakah memang ada jejak rekam perintah Al-Qur'an untuk memuliakan mereka sebagai keturunan Nabi saw atau Al-Qur'an justru menegaskan penafian dzurriyah/nasab dan semua di mata Allah sama (tidak ada keutamaan orang Arab atas orang ajam/non-Arab) dan yang membedakan satu sama lain hanya aspek ketakwaannya? Apakah habaib itu---sebagaimana kedudukan sebagai manusia---memiliki karamah dzatiyyah (kemulian inheren) sebagai habib, sehingga yang berdosa pun tetap harus dimuliakan semata karena nasabnya?

Artikel singkat ini mencoba menjawab pelbagai pertanyaan tersebut secara obyektif berdasarkan pandangan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi saw.

  • Pembahasan

Al-Qur'an dan Urgensi Dzurriyah (Keturunan)

Salah satu hal yang mendapatkan perhatian khusus Al-Qur'an adalah masalah keturunan. Bila hal ini tidak dianggap penting, tentu Al-Qur'an akan mengabaikannya, apalagi sebagaimana maklum bahwa salah satu prinsip kitab samawi ini adalah hanya membahas masalah yang penting dan utamanya terkait dengan aspek pendidikan dan hidayah manusia. 

Karena itu, tidak jarang Al-Qur'an---saat menyampaikan suatu kisah---memilih untuk tidak menyebutkan nama orang, TKP (tempat kejadian peristiwa) dan waktu. Kembali ke masalah keturunan. Keturunan disebutkan dalam Al-Qur'an bukan hanya dengan satu kata,  yaitu dzurriyah tapi juga digunakan kata-kata yang lain yang berdekatan makna dan mafhum (pemahaman)-nya seperti nasl (generasi), nasab, al/ahl, bait (keluarga), dan qarabah/qurba (kerabat dekat).

Dzurriyah---yang merupakan sebutan bagi keturunan Nabi saw di Indonesia---secara bahasa bermakna memencar dan menyebar dalam keadaan kecil-kecil. Karena itu benda yang kecil dalam bahasa Arab disebut dzurrah (atom). Dan kata dzurrah itu merupakan derivasi dari dzurriyah.

Sebagian ahli bahasa meyakini bahwa kata dzurriyah berasal dari "dzara'a" yang bermakna (menciptakan), sehingga karena itu turunan manusia dan jin disebut dengan "dzarrah".

Jauhari (jilid 1, hal. 51), pakar bahasa, berpandangan bahwa kata dzurriyah berasal dari "dzarara" dan "dzar" berarti semut-semut yang kecil dan lembut.

Kata dzurriyah  dalam Al-Qur'an bermakna anak-anak manusia, baik kecil maupun besar (dewasa). Meskipun kata dzurriyah bentuknya mufrad (tunggal) namun biasanya digunakan dalam mafhum jamak (plural). Kata-kata yang lain yang berdekatan maknanya dengan dzurriyah seperti nasab, nasl dan qurb/qarabah tidak akan penulis bahas. 

Dan penulis hanya mengisyaratkan makna kata al dan ahl. Kata "al" bermakna kembali sehingga karena itu kata ini selalu digunakan dalam bentuk idhafah (penisbatan) seperti Al Dawud (keluarga Dawud), Al 'Imran (keluarga 'Imran) dan Al Yasin (Keluarga Nabi Muhamamad saw). Kata "al" sinonim dengan kata "ahl". 

Bedanya adalah kata "al" digunakan hanya untuk orang-orang yang mulia (keluarga terhormat), sedangkan kata "ahl" memiliki makna yang lebih luas. Sebagai contoh, Fulan ahli Madinah (si anu termasuk penduduk kota), fulan ahli qaryah (si anu penduduk desa), tapi kata "al" tidak bisa digunakan demikian, yakni al madinah.

Yang menarik penggunaan kata dzurriyah dalam Al-Qur'an disertai dengan ekspresi kasih sayang dan kecintaan kepada keturunan yang akan datang dan memberi perhatian kepada masa depan mereka. Penulis akan menunjukkan contoh ayatnya berikut ini.

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, "Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia." Dia (Ibrahim) berkata, "Dan (juga) dari anak cucuku?" Allah berfirman, "(Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zhalim."

(QS. Al-Baqarah [2]: 124). Penggunaan kalimat "wa min dzurriyati" mengisyratkan perhatian dan kasih sayang Nabi Ibrahim terhadap keturunannya dan beliau menginginkan maqam yang diterimanya ini pun diberikan kepada anak keturunannya. Dan ayat ini seolah memberitakan bahwa permohonan Nabi Ibrahim tersebut menunjukkan perhatian beliau terhadap warisan pemikiran dan biologis (darah), meskipun maqam yang dimaksud tidak serta merta diberikan karena "darah biru"saja, namun ayat ini tidak membantah pengaruh keturunan yang saleh dan baik.

Bersambung....

Referensi:

[1] https://republika.co.id/berita/nd9vk0/salah-kaprah-sebutan-habib-di-masyarakat

[1]https://rri.co.id/humaniora/info-publik/884776/kumpulan-tokoh-ulama-berperan-dalam-kemerdekaan-indonesia

[1] https://matan.or.id/2020/01/14/walisongo-matan-menurut-habib-luthfi/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun