Jumlah peserta didik menurut jenjang pendidikan (TA 2017/2018) sesuai sumber Badan Pusat Statistik (BPS), 2017/2018 sebagai berikut:
SMK 4,9 Juta
SMA, 4,8 Juta
SMP, 10, 1 Juta
SD, 25, 5 Juta
Dari jumlah sekolah-sekolah tersebut, manakah yang masuk dalam kriteria dan kategori sekolah yang berakal? Berapa banyak guru dan siswa yang berakal? Tentu pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab. Kita harus mempunyai kriteria dan kategori sekolah yang rasional sehingga kita bisa menentukan mana sekolah yang berakal.
Kriteria dan Kategori Sekolah Yang Berakal
1. Memiliki visi dan misi pendidikan rasional baik secara tersurat maupun tersirat
Bagaimana pandangan yayasan yang menaungisekolah dan kepala sekolah yang menjalankan manajemennya terhadap pendidikan rasional? Sejauhmana hal ini dianggap penting dan sudahkah sekolah memiliki konsep dan cara yang jelas terkait pendidikan rasional? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjadi indikasi yang menunjukkan apakah suatu sekolah sudah menjadi sekolah yang berakal ataukah belum.
Saya telah isyaratkan pada tulisan pertama bahwa terdapat perbedaan antara alim (berilmu) dan akil (berakal). Setiap orang alim belum tentu akil dan setiap yang akil pasti alim.
Biasanya sekolah akan terpanah dan silau dengan kepintaran dan kemahiran seorang guru dan mungkin akan mengabaikan kekurangannya di bidang akhlak. Cacat secara moral adalah kekurangan yang fatal bagi seorang guru, sepandai dan semahir apapun ia.Dan guru yang tidak bermoral adalah guru yang tidak berakal.
2. Mempunyai guru akhlak atau moral yang profesional
Sekolah yang berakal memiliki guru akhlak atau moral yang profesional. Guru akhlak yang profesional adalah guru yang 'aqil (berakal) yang bukan hanya menguasai bahasan akhlak secara teoritis (kognitif) dan praktis (akhlak 'amali) tapi ia sendiri sekaligus pelaku materi-materi akhlak yang diajarkannya.
Guru akhlak yang profesional tidak mungkin tunduk pada kemauan dan ajakan nafsu amarah (dorongan batin untuk berbuat yang kurang baik).Betapa bahayanya bila sekolah "memelihara" guru akhlak yang tidak profesional, karena ia akan menjadi bom waktu dan predator mengerikan yang akan memangsa anak didiknya sendiri.Â
Predator ini tidak layak disebut guru, seperti oknum pembina pramuka yang mencabuli sejumlah muridnya di Kediri, Â lagi-lagi oknum pembina pramuka yang tega membunuh dan memperkosa siswi SMP yang memikatnya di Sumatera Selatan, dan oknum guru honorer Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Pangkalpinang, yang diduga melakukan penganiayaan kepada siswa SD.
Ini sekadar contoh saja, masih banyak kasus-kasus yang serupa. Selama sekolah "memelihara" oknum-oknum yang cacat moral dan "sakit jiwa" dan tidak selektif dalam memilih guru serta tidak menjadikan akhlak dan akal sebagai acuan utama seleksi, maka kejadian dan kasus serupa akan tetap menghiasi layar kaca dan koran-koran nasional.
Ya, faktor yang paling menonjol dari halangan pendidikan rasional adalah mengikuti nafsu amarah. Nafsu amarah adalah musuh nomer wahid akal.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengeluhkan banyaknya pemuda-pemuda kita yang bekerja tanpa profesionalisme, dalam bentuk tidak menghormati atasan dan rekan kerja, tidak menghargai waktu diri, dan bersikap intoleran. Hal itu diakibatkan oleh pendidikan karakter yang kurang baik dan benar di sekolah.
3. Membangun dan mengulang kebiasaan berdasarkan rasio dan keyakinan yang kokoh
Sekolah yang tak berakal hanya mengandalkan kebiasaan. Perbuatan yang bertumpu pada kebiasaan semata adalah perbuatan yang tidak bernilai. Sebab, kebiasaan menggantikan kekuatan berargumentasi dan berdalil. Sehingga mengekang siswa dalam kebiasaan yang tidak bertumpu pada tafakur dan penyingkapan rasional akan bisa menjadi penghalang pertumbuhan pendidikan akal manusia.Â
Pembelajaran yang ada umumnya menanamkan dan membiasakan sejumlah kebiasaan kepada siswa-siswinya. Mengulang dan mempraktikkan kebiasaan itu bukanlah hal yang tercela, tapi kebiasaan dan pembiasaan itu harus dibangun dengan pondasi pemikiran dan keimanan/keyakinan yang kokoh. Sebab bila tidak, tidak jarang kita jumpai para pelajar menjalankan kebiasaan yang tidak pernah diyakini kebenarannya dan tidak pernah dijelaskan secara rasional dan ilmiah.Â
Di kemudian hari, sebagian pelajar yang terlena dengan kebiasaan-kebiasaannya di asrama dan sekolahnya justru dengan gagah berani dan sadar memberontak kebiasaan itu, bahkan tidak jarang ada pelajar yang melawan ajaran yang dibiasakan itu ketika ia keluar dari area sekolah, dan lebih tragis lagi ada siswa-siswi yang bersepakat untuk meninggalkan kebiasaan saat mereka masih berada di ruang kelas yang sepi dan tidak ada kamera pengawas.
Para guru bukan hanya berusaha mengajarkan suatu kebiasaan yang positif terhadap anak didiknya tapi juga berupaya menalarkan apa saja yang mereka biasakan. Sebab mentradisikan suatu ajaran dan tindakan tanpa penjelasan rasional yang memuaskan dan hubungan emosional yang kuat sangat rawan terhadap pemberontakan dan pengingkaran individual dan massal di kemudian hari.
Mereka yang anti terhadap kebiasaan menilai bahwa metode pembiasaan yang merupakan paradigma masa lalu, hanya akan membuat manusia sejak lahir sampai mati menjadi korban kebiasaan.
Akhirnya, mari kita renungkan ucapan Sokrates ini:
"The secret of change is to focus all of your energy, not on fighting the old, but on building the new." (Rahasia perubahan itu adalah fokus pada energi/potensi yang kamu miliki, bukan terus bergulat dengan tradisi/kebiasaan yang lama, tapi membangun sesuatu  yang baru).
Syekh Muh. Alcaff, Pendiri Sekolah Keliling Insan Hakim dan Founder Chanel Manazila TV di Youtube
Referensi:
katadata.co.id
kompas.com
kompas.com
tribunnews.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H