2. Mempunyai guru akhlak atau moral yang profesional
Sekolah yang berakal memiliki guru akhlak atau moral yang profesional. Guru akhlak yang profesional adalah guru yang 'aqil (berakal) yang bukan hanya menguasai bahasan akhlak secara teoritis (kognitif) dan praktis (akhlak 'amali) tapi ia sendiri sekaligus pelaku materi-materi akhlak yang diajarkannya.
Guru akhlak yang profesional tidak mungkin tunduk pada kemauan dan ajakan nafsu amarah (dorongan batin untuk berbuat yang kurang baik).Betapa bahayanya bila sekolah "memelihara" guru akhlak yang tidak profesional, karena ia akan menjadi bom waktu dan predator mengerikan yang akan memangsa anak didiknya sendiri.Â
Predator ini tidak layak disebut guru, seperti oknum pembina pramuka yang mencabuli sejumlah muridnya di Kediri, Â lagi-lagi oknum pembina pramuka yang tega membunuh dan memperkosa siswi SMP yang memikatnya di Sumatera Selatan, dan oknum guru honorer Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Pangkalpinang, yang diduga melakukan penganiayaan kepada siswa SD.
Ini sekadar contoh saja, masih banyak kasus-kasus yang serupa. Selama sekolah "memelihara" oknum-oknum yang cacat moral dan "sakit jiwa" dan tidak selektif dalam memilih guru serta tidak menjadikan akhlak dan akal sebagai acuan utama seleksi, maka kejadian dan kasus serupa akan tetap menghiasi layar kaca dan koran-koran nasional.
Ya, faktor yang paling menonjol dari halangan pendidikan rasional adalah mengikuti nafsu amarah. Nafsu amarah adalah musuh nomer wahid akal.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengeluhkan banyaknya pemuda-pemuda kita yang bekerja tanpa profesionalisme, dalam bentuk tidak menghormati atasan dan rekan kerja, tidak menghargai waktu diri, dan bersikap intoleran. Hal itu diakibatkan oleh pendidikan karakter yang kurang baik dan benar di sekolah.
3. Membangun dan mengulang kebiasaan berdasarkan rasio dan keyakinan yang kokoh
Sekolah yang tak berakal hanya mengandalkan kebiasaan. Perbuatan yang bertumpu pada kebiasaan semata adalah perbuatan yang tidak bernilai. Sebab, kebiasaan menggantikan kekuatan berargumentasi dan berdalil. Sehingga mengekang siswa dalam kebiasaan yang tidak bertumpu pada tafakur dan penyingkapan rasional akan bisa menjadi penghalang pertumbuhan pendidikan akal manusia.Â
Pembelajaran yang ada umumnya menanamkan dan membiasakan sejumlah kebiasaan kepada siswa-siswinya. Mengulang dan mempraktikkan kebiasaan itu bukanlah hal yang tercela, tapi kebiasaan dan pembiasaan itu harus dibangun dengan pondasi pemikiran dan keimanan/keyakinan yang kokoh. Sebab bila tidak, tidak jarang kita jumpai para pelajar menjalankan kebiasaan yang tidak pernah diyakini kebenarannya dan tidak pernah dijelaskan secara rasional dan ilmiah.Â
Di kemudian hari, sebagian pelajar yang terlena dengan kebiasaan-kebiasaannya di asrama dan sekolahnya justru dengan gagah berani dan sadar memberontak kebiasaan itu, bahkan tidak jarang ada pelajar yang melawan ajaran yang dibiasakan itu ketika ia keluar dari area sekolah, dan lebih tragis lagi ada siswa-siswi yang bersepakat untuk meninggalkan kebiasaan saat mereka masih berada di ruang kelas yang sepi dan tidak ada kamera pengawas.