Mengapa virus Corona dari persoalan kesehatan/medis berubah menjadi persoalan teologi? Apakah kita benar-benar sedang menghadapi persoalan teologi? Apakah dengan menyebarnya virus Corona di 200 negara yang merujuk data real time Global Cases by the CSSE at John Hopkins University, tercatat ada 785.709 orang di dunia terinfeksi, lebih dari 37 ribu meninggal hingga selasa (31 Maret 2020) pagi menandakan bahwa keyakinan tentang Tuhan hanya dongeng dan omong kosong dan sekaligus membuktikan kelemahan dan ketidakberdayaan-Nya bagi yang tetap mempercayai-Nya?
Corona adalah virus yang menyebabkan sakit namun penyebarannya di seluruh dunia  menunjukkan bahwa masalah ini bukan hanya berhenti pada dataran kedokteran dan kesehatan namun secara cepat memengaruhi juga ekonomi, politik dan budaya.
Dalam pandangan masyarakat, keabsahan dan keunggulan sesuatu tidak bisa menandingi pengetahuan (sains). Bahkan sains hari ini sampai pada titik menjadi tolak ukur kemuktabaran  bagi masalah-masalah yang lain. Misalnya, nilai ekonomi suatu produk, nilai sosial suatu masyarakat dan bahkan kemuktabaran agama-agama samawi terkadang ditimbang oleh pengetahuan (sains).
Sebagai contoh, di Australia untuk mempromosikan Kristen ditulis seperti ini: "kebenaran Injil kaum Masehi sudah teruji secara ilmiah." Sementara itu di dunia Islam pun ada aliran yang cukup kuat dan dengan investasi yang cukup besar pada tiap tahunnya untuk membuktikan kebenaran Alquran secara ilmiah (tafsir 'ilmi/interpretasi saintifik), Doktor Nidhal Guessoum menggagas rekonsiliasi Islam dan sains modern dalam bukunya yang berjudul "Islam's Quantum Question: Reconcilling Muslim Tradition and Modern Science", IB Tauris (London, UK), 2010.
Oleh karena itu, ada sebagian yang menganalisa bahwa penyebaran virus Corona merupakan lonceng kematian bagi agama dan ucapan selamat tinggal pada Tuhan atau keyakinan tauhid (monoteisme).
Apakah faktanya memang demikian? Apakah dengan datangnya virus Covid 19 ini agama sudah tidak mempunyai tempat di hati masyarakat dunia? Ataukah justru sebaliknya, agama semakin mendapat angin dan tempat di pelbagai belahan dunia?
Mari kita perhatikan pelbagai realita dan fenomena berikut ini:
Peradaban-peradaban yang memang menjaga jarak dengan Tuhan alias tidak percaya atau meragukan keberadaan Tuhan, dengan penyebaran virus Corona, kini menghampiri Tuhan dan mencari-Nya. Ini menunjukkan keterasingan manusia di era modern.
Ketika wabah corona virus berlanjut, Kepala Rabbi Israel David Lau menyerukan kepada masyarakat untuk berpuasa setidaknya setengah hari pada hari Rabu, yang menandai malam hari pertama bulan Ibrani bulan Nisan.
Melalui cuitannya, Donald Trump mendeklarasikan 15 Maret 2020 sebagai Hari Doa Nasional di Amerika Serikat.