Mohon tunggu...
Syekh Farhan Robbani
Syekh Farhan Robbani Mohon Tunggu... wiraswasta -

Memiliki mimpi memajukan pertanian Indonesia dengan Lembaga Pendamping dan Pembimbing Pertanian-Petani Indonesia (Agrimotion Inc.) dengan cabang di Seluruh Propinsi di Indonesia. Interesting dalam bidang Motisawuf, Agripreneur, Craetive Industry dan Islamology

Selanjutnya

Tutup

Money

Kenapa Saya Memilih untuk Ber-Entrepreneurship?, Catatan Kecil Mengawal RUU BJPS

24 Juli 2011   00:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:26 717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_120895" align="aligncenter" width="484" caption="Etrepreneur ?., Pilihan Hidup atau Keterpaksaan Hidup. "][/caption] Sejak tahun 2000-an gaung entrepreneurship (kewirausahaan) begitu santer terdengar di masyarakat kita. Entrepreneurship menjadi euforia dikalangan masyarakat Indonesia. Bahkansedikitnya jumlah entrepreneur di Indonesia disebut-sebut oleh pemerintah sebagai penyebab miskinya negara ini. Mungkin anda sering mendengar statment dari pemerintah kita tentang entrepreneurship, yang menyatakan negara Indonesia termasuk negara miskin (setidaknya berkembang) karena jumlah pengusahanya kurang dari 2%. Statment ini, menurut saya pribadi seperti sebuah upaya lepas tanggung jawab pemerintah dalam urusan penyejahteraan/penyelenggaraan negara, khususnya ketersediaan lapangan pekerjaan. Entrepreneurship menjadi kambing hitam dari ketidakmampuan pemerintah mengatur kesejahteraan sosial masyarakat dan mengatasi besarnya gap antara sistem pendidikan kita dan dunia kerja.

Ya sudahlah., walaupun telah menjadi kambing hitam, entreprenurship (setidaknya menurut saya, red) memang bagus –dalam sudut pandang pribadi-. Biarlah bekerja sesuai jalurnya. (Semoga!).

Bukan itu titik tekannya!. Gaung entreprenurship yang begitu menggema di masyarakat kita, khususnya di dunia pendidikan ternyata telah menghipnotis ribuan/jutaan orang untuk terjun di dunia-nya para pengusaha ini. Dengan iming-iming kesejahteraan, kemakmuran dan bisa memberikan lowongan pekerjaan (membantu orang lain) dan tentunya ‘membantu negara’ mengurangi jumlah pengangguran, Entrepreneurship rupanya menjadi jurus ampuh pemerintah mendoktrin para pendidik, akademisi dan sarjana untuk berbondong-bondong terjun di dunia entrepreneurship. Padahal ini nyata-nyata akibat lemahnya regulasi pemerintah dalam mengelola ekonomi.

Ups., melenceng lagi.., maaf bukan itu titik tekannya.,

Ini berbicara selera pribadi, bagaimana entrepreneurship telah berhasil menghipnotis saya untuk menjadikanya jalan hidup. Bukan pilihan hidup!. Bukan sekedar euforia semata, saya mencoba berfikir (seklaigus dalam proses pencarian jati diri) apakah entrepreneurship memang layak menjadi jalan hidup. Dan hasil perenungan inilah yang saya tekankan disini. Inilah mengapa saya ingin ber-entrepreneurship sejak kelas 2 SMP (walaupun malu dan tidak berani berjualan).

Namun berdasarkan hasil perenungan, ternyata entreprenurship adalah prinsip yang sejak kita dilahirkan sudah memilikinya. Sebelumnya membahas itu, saya ingin sedikit flashback bagaimana sistem pendidikan mengkonstruksi cara berfikir kita untuk hidup, bekerja dan pekerjaan :

Kita mengalami fase kehidupan : lahir-bayi-anak-anak-sekolah-bekerja(karir)-nikah-berkeluarga-orang tua-mati !

Benar? Kalo salah mohon dibetulkan

Yups, setidaknya itulah yang dikonsep yang saya dapatkan tentang bagaimana menjalani hidup. (saya kira, juga termasuk anda). Termasuk doktrin sekolah adalah digunakan untuk mencari kerja (bukan untuk bekerja dan bermanfaat bagi orang banyak), sehingga ketika mencari ilmu(sekolah/kuliah) hal ditanamkan adalah bagaimana ijazah digunakan untuk melamar pekerjaan. Setelah kita sekolah, tidak ada ruang bagi kita untuk belajar lagi. Disibukan untuk mencari uang, apapun itu caranya.

Lalu apa relevansinya?.,

[caption id="attachment_120894" align="alignleft" width="300" caption="Entrepreneur., bekerja bukan hanya untuk uang. Tetapi bekerja untuk passion, dengan itu ia menghasilkan uang"]

13114669471707224100
13114669471707224100
[/caption] Entrepreneurship adalah dunia pembelajaran yang sangat dinamis selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman seiring dengan tumbuhnya usia. Sejak bayi kita diajari untuk menjadi pembelajar sejati. Kita selalu belajar bagaimana ini, prosesnya berhasil atau tidak, kalo tidak berhasil menggunakan cara yang lain. Dan seterusnya, begitupun hingga kita anak-anak sampai pada mas usia sekolah. Kita sebagai selalu belajar dengan riang gembira.

Entrepreneurship adalah dunia ketidakpastian yang sangat dekat dengan konsep tawakal dalam memahami rezeki yang kita peroleh. Saat kita bayi/anak-anak begitu bahagia menjalani kehidupan tanpa gaji bulanan. Tapi toh, makan, mendapatkan pakaian, tempat tidur. Karena kita dalam dunia entreprenurship yang ditekankan adalah kerja keras dan kejujuran, seperti anak-anak.

Selanjutnya, entreprenurship adalah dunia kesenangan (seharusnya) yang sesuai jati diri, artinya dalam memilih bidang yang kita geluti sesuai apa hati kita dan keinginan kita. Kita tidak dipaksa untuk menyukai bidang tertentu dengan segala dinamisasinya. Entreprenur yang berhasil, selalu fokus memilih dan mengembangkan bidang yang menjadi passion-nya, tidak melawan kata hati. Seperti anak-anak yang begitu fokus bermain sesuatu yang menjadi minatnya tanpa menghiraukan orang disekelilingnya suka atau tidak, dia selalu fokus dalam memainkan setiap mainan-nya.

Terakhir, entrepreneurship tidak melulu berbicara tentang menghasilkan uang tetapi passion yang dapat menjadi uang. Titik tekannya adalah kita tidak bekerja keras untuk mendapatkan uang, tetapi kita bekerja keras untuk menghasilkan apa yang terbaik dan yang disenanginya tanpa beban, dan hasil kerja keras itu menghasilkan uang. Kemnfaatan dari apa yangkita minati, disalurkan agar orang lain dapat menikmati/merasaknay pula, itu yang disebut dengan nilai tambah. Entreprenurship selalu berfikir bagaimana memberikan nailai tambah terhadap produknya.

Cukup jeniuh juga, sistem sekolah kita meng-konstruk (membentuk) pemikiran tentang memaksakan kehendak dalam melakukan sesuatu (tidak sesuai kata hati). Seperti yang kita ketahui, kita satu sama lain unik memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Tetapisekolah mengeneralisir kemampuan/kepintaran atau kesuksesan seseorang dilihat dari kemampuan matematika, sains dan bahasa inggris-nya. Yang terkadang lupa, bahwa manusia memang ada yang diciptakan dengan kemampuan sosial dan humanoria yang lebih unggul. Sekolah (sistem pendidikan) telah mngesampingkan hal itu. Ya, tentu saja karena hal ini tidak terlepas dari sejarah pendirian sekolah (pada zaman belanda) yang dididk untuk menjadi pekerja/karyawan. (saya sarankan anda membaca tentang sejarah sekolah di Indonesia).

Oke dech, kembali lagi ke fokus pembahasan.Entreprenurship.

Lalu kenapa saya begitu tertarik dalam dunia entrepreneurship. Coba kita fikirkan.., entah menjadi pegawai, karyawan, atau profesi apapun semua menitikberatkan pada kita harus bekerja. Yup, bekerja. Dunia karyawan memang bekerja dibawah tekanan dan bekerja untuk uang, sedangkan dalam entreprenurship walaupun dalam tekanan juga (tekanan tidak nampak) tetapi yang menyenangkan adalah bekerja untuk belajar (dan untuk uang juga) dan untungnya, kita mendapatkan aksess untuk berkembang. Sedangkan dalam dunia karyawan relatif lebih sulit berkembang dan mengembangkan ilmu pengetahuan, apalagi posisi/jabatan kita tidak sesuai dengan passion, lebih sulit lagi untuk berkembang. Hal ini, tentu lebih membahagiakan daripada kita harus rutin melakukan pekerjaan yang sama setiap harinya.

Selain itu, dengan entreprenurship diri kita dilatihuntuk tidak mengandalkan sepenuhnya hidup kita kepada gaji/uang. Maka seseorang yang sadar akan pemahaman ini akan lebih memahami bahwa hidup kita tidak hanya tergantung kepada manusia (gaji), tetapi hanya kepada-Nya lah kita berharap. Jangan salah (termasuk banyak pengusaha), yang masih menyakini bahwa pekerjaan/profesi-nyalah yang memberinya rezeki/uang/kehidupan. Maka dengan ber-entreprenurship, kita mempunya media yang bisa membersihkan hati kita dari ketergantungan kepada manusia.

Memang jalan untuk menjadi entrepreneur butuh kerja ikhlas, kerja cerdas, kerja keras, kerja keras, kerja keras, kerja keras, kerja keras, kerja keras dan kerja keras + kejujuran. Tentunya, jalanya panjang., namun yang lebih penting adalah bagimana fokus kepada passion kita, lalu menjaikanya sistem agar dapat dimanfaatkan oleh orang lain.

Saya kira profesi apapun, (sebenarnya) membutuhkan mindset dan ketrampilan entreprenurship. Karena, entrepreneurship bukan hanya tentang pekerjaan. Tetapi tentang kehidupan. Tentang membangun dan mengembangkan kehidupan. Mengembangkan minat dan kemampuan kita agar dapat dirasakan dan bermanfaat bagi orang banyak. Bahkan seorang penyanyi-pun, perlu membuat sekolah menyanyi agar banyak penyanyi berkualitas di Indonesia.

So, kalau pemerintah punya mindset tentang entreprenurship ini, sepertinya pemerintah tidak perlu repot-repot membuat UU BJPS (badan jaminan perlindungan sosial), tapi buat saja UU BJPPP, badan jaminan perlindungan pengusaha pemula (maunya.., ^_^). Supaya lebih banyak orang Indonesia yang tertarik menjadi pengusaha yang usahanya dilindungi dan diasuransikan oleh UU, daripada menjaminkan jaminan sosial yang membentuk masyarakat dengan mental mengemis. Yes, ini tentang mindset.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun