Tantangan global yang dihadapi saat ini mulai dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) yang begitu pesat, ekonomi bebas ASEAN 2015 yang makin mendekat, sumber daya alam yang makin terbatas, dan kompleksitas permasalahan lainnya yang makin sulit diatasi, memaksa negara-negara di dunia tidak terkecuali Indonesia harus bersiap diri menghadapinya. Lebih-lebih jika tantangan tersebut muncul diluar prediksi (unpredictable), bagaikan tamu yang tidak diundang, seringkali tuan rumah tidak siap menyambutnya.
Berbagai penelitian menyimpulkan, untuk menghadapi tantangan tersebut diperlukan pemerintahan yang mampu bergera cepat, fleksible, dan dinamis dengan batasan-batasan norma sebagai cermin dari tata pemerintahan yang baik (good governance). Dengan tata pemerintahanbercirikan dinamis ini, Negara akan mampu menghadapi berbagai perubahan zaman baik yang predictable maupun unpredictable karena didukung oleh sistem proses dan SDM yang adaptive.
Lalu bagaimana dengan Indonesia saat ini? Indonesia Governance Index (IGI) 2012 menunjukan bahwa kinerja tatakelola pemerintah secara nasional dari skala 10 hanya mencapai 5,70 dengan efektifitas birokrasi hanya mencapai 5,38. Hal ini dikuatkan dengan publikasi Worldwide Governance Indicator oleh World Bank 2013, yang menunjukkan bahwa sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2012kinerja pemerintahan Indonesia cenderung tidak membaik. Bahkan berdasarkan indikator efektivitas pemerintahan (government effectiveness),menempatkan Indonesia bersama Vietnam pada posisi terendah dibandingkan dengan 7 (tujuh) nagara ekonomi asia lainnya seperti Singapura, India, Malaysia, Thailand, China, dan Filipina. Rendahnya efektifitas pemerintahan tersebut diukur dari rendahnya beberapa variable pendukungnya antara lain rendahnya kualitas pelayanan publik, SDM aparatur yang tidak kompeten dan tidak independen, rendahnya kualitas kebijakan, dan rendahnya komitmen penerapan kebijakan.
Dengan kondisi ini maka keberlangsungan pemerintahan Indonesia masih jauh dari harapan. Kondisi yang tidak sebanding dengan tuntutan lingkungan strategis, seperti perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, globalisasi, serta harapan masyarakat terhadap kinerja pemerintah terus berkembang, sejalan dengan perkembangan dan dinamika masyarakat. Masyarakat menginginkan pelayanan real time dan on time, sementara pelayanan cenderung berbelit-belit, memakan waktu, dan tidak akuntabel. Pemerintah sebagai unsur pelayanan publik dituntut lebih kreatif, inovatif, dan cerdas mengekspresikan mana yang harus dilakukan dengan skala prioritas, serta mampu membedakan antara yang urgent dan tidak. Dalam situasi ini, Pemerintah tidak bisa tinggal diam melihat kesenjangan antara kondisi dan tuntutan strategis tersebut, karena hanya negara yang memiliki sistem administrasi negara yang efisien dan efektif dapat bersaing dengan negara-negara lain.
Indonesia harus melakukan perubahan sistem secara fundamental baik dilevel mikro maupun makro. Pada level makro, diperlukan perubahan sistem secara nasional yang salah satu langkahnya yaitu melalui reformasi hukum, yaitu reformasi yang dilakukan disektor hukum yang meliputi aspek regulasi, penegakan hukum, dan budaya hukum masyarakat. Perbaikan dibidang regulasi dilakukan dengan melakukan harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan dengan mengubah atau mengganti perundang-undangan yang overlapping, bertentangan satu dengan yang lain, atau tidak lagi relevan diterapkan. Dalam perbaikan ini, satu Undang-Undang yang paling esensial diperlukan adalah Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah (UU AP).
Rancangan UU AP yang baru saja disetujui untuk menjadi Undang-Undang oleh DPR RI pada tanggal 26 September 2014, sangat diperlukan untuk mewujudkan pemerintahan dinamis. Adapun beberapa alasan pentingnya UU AP antara lain: pertama, menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahaan, UU AP berfungsi sebagai manual book/pedoman pejabat pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugasnya mengambil keputusan dan tindakan. Selama ini tidak ada standar baku bagaimana pemerintah menjalankan kewenangannya, darimana sumber kewenangan tersebut, time frame-nya dan bagaimana pertanggungjawabannya? kapan seorang pejabat dapat melakukan diskresi dan batasan-batasan apa diskresi itu dilakukan juga tidak jelas. Tidak adanya standarisasi dalam tata laksana pengambilan keputusan/tindakan administrasi pemerintahan ini mengakibatkan sulitnya mewujudkan kepastian hukum bagi pejabat pemerintah dalam melaksanakan tugasnya. Kondisi ini berimplikasi pada lambatnya akselerasi pemerintahan karena pejabat pemerintah seringkali tidak berani bertindak cepat dalam mengatasi persoalan-persoalan yang memerlukan penyelesaian cepat. Jika tindakan cepat itu dilakukan, yang ada justru mereka rentan untuk dikriminalisasi karena dianggab menyalahgunakan wewenang.
Hal ini tidak sesuai dengan keberadaan Indonesia sebagai negara hukum, dimana setiap kebijakan yang dilakukan pemerintah harus berdasarkan hukum. Segala tindakan penyelenggara Negara dan warga Negara harus sesuai dengan hukum yang berlaku. Hukum yang berlaku dimaksud adalah peraturan perundang-undangan yang berdasarkan jenis dan hierarkinya terdiri dari UUDNRI Tahun 1945;Tap MPR; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;Peraturan Pemerintah;Peraturan Presiden;Peraturan Daerah Propinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten; Serta Peraturan Perundang-undangan lainnya yang diakui keberadaannya danmempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Maka kehadiran UU AP menjadi penting untuk menjamin kepastian hukum dan meningkatkan akselerasi pemerintahan.
Kedua, UU ini menjadi ketentuan Materiil Hukum Administrasi Pemerintah. Jika ditinjau dari sejarah pembentukan peraturan perundang-undangan, sadar atau tidak, selama ini kita belum menerapkan prioritas pembentukan peraturan perundang-undangan dengan baik. Peraturan Formil tentang bagaimana cara menegakkan hukum Materiil administasi pemerintah justru lahir lebih dahulu sejak 1986 melalui UU Nomor 5 tahun 1986 dengan beberapa kali perubahannya. Sementara itu, peraturan Materiil yang menjadi rambu-rambu pokok administrasi pemerintahannya, justru baru terbentuk dengan UU AP. Suatu tahapan pemberlakuan perUUan yang terbalik, anaknya lahir duluan sebelum bapaknya lahir. Kondisi ini mengakibatkan Hakim-Hakim peradilan TUN kesulitan dalam mengadili sengketa administrasi pemerintahan, karena tidak ada ukuran pasti kapan hukum administrasi itu dilanggar oleh pejabat pemerintah. Akibatnya yang menjadi tolak ukur adalah norma kebiasaan dan Yurisprudensi. Maka dengan lahirnya UU ini, akan memudahkan hakim dalam memberikan keputusan terhadap ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dalam penyelenggaraan administrasi pemerintah baik untuk melindungi Pejabat dari kiriminalisasi maupun melindungi masyarakat dari keputusan yang menimbulkan kerugian.
Ketiga, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik (AAUP) sebagaimana telah diadopsi oleh Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, masih menjadi asas-asas yang bersifat umum yang perlu dioperasionalkan terutama dalam ranah administrasi pemerintah. Tidak ada ukuran tegas kapan seorang pejabat pemerintah telah menerapkan AAUP dan sebaliknya kapan ia melanggarnya. Untuk itu, konkritisasi AAUP tersebut kedalam norma-norma hukum yang lebih tegas dan kongkrit menjadi penting sehingga jelaslah bagaimana cara-cara pejabat pemerintah melaksanakan tugasnya dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik.
Dari berbagai pentingnya UU AP tersebut, maka setidak-tidaknya UU ini memiliki 3 (tiga) tujuan, antara lain:
1.Meningkatkan kualitas dan akuntabilitas pemerintah;
2.Meningkatkan akselerasi pemerintah; dan
3.Mempererat hubungan warga masyarakat dengan pemerintah.
Untuk membatasi ruang lingkup pembahasan, berikut ini akan membahas dan menguraikan tentang bagaimana UU AP dapat mewujudkan tujuan-tujuan tersebut.
B.Meningkatkan kualitas dan akuntabilitas Pemerintah
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa salah satu penyebab rendahnya efektifitas pemerintahan Indonesia adalah disebabkan oleh rendahnya kualitas kebijakan atau peraturan perundang-undangan yang dibentuk. Banyaknya kebijakan/peraturan perundang-undangan yang overlapping, disharmoni, saling bertentangan antara yang satu dengan lainnya, dan tidak lagi relevan untuk diterapkan, telah menjadi sekelumit masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas kebijakan di Indonesia.
Pada dasarnya hampir setiap K/L dan Pemda bertugas melakukan sinkronisasi atau harmonisasi kebijakan/peraturan perundang-undangan sesuai dengan tupoksinya masing-masing. Bahkan DPR/DPRD dalam fungsinya melakukan pengawasan, budgeting, dan legislasi juga menyangkut harmonisasi. Namun persoalan klasiknya adalah tidak adanya koordinasi yang baik antar instansi tersebut, kewenangan yang tumpang tindih, ego sektoral, dan faktor terkait lainnya semakin memperkeruh suasana. Belum lagi kondisi SDM pemerintah dimana pejabat fungsional yang fokus melakukan sinkronisasi seperti legal drafter, peneliti, analis kebijakan jumlahnya masih terbatas. Dengan situasi ini, dapat dikatakan bahwa institusi yang sudah ada belum memiliki kapasitas yang memadai untuk menyelesaikan permasalahan disharmoni kebijakan/peraturan perundang-undangan.
Ada beberapa solusi yang dapat digunakan untuk mengatasi persoalan ini, misalnya membentuk atau memakasimalkan fungsi lembaga pemerintah yang spesialisasinya melakukan harmonisasi kebijakan/peraturan perundang-undangan, memanfaatkan teknologi informasi dengan membentuk data based peraturan perundang-undangan yang terintegrasi baik bidang maupun hirarkisnya, mengubah tata cara perumusan peraturan perundang-undangan yang lebih efektif, efisien, dinamis dan menjamin kualitasnya, dan melibatkan masyarakat dalam setiap perumusan peraturan perundang-undangan.
Untuk membatasi pembahasan, tulisan ini tidak akan menguraikan satu-persatu solusi tersebut tetapi akan berfokus pada pertanyaan bagaimana UU AP menjamin kualitas dan akuntabilitas kebijakan pemerintah? setidak-tidaknya ada 3 (tiga) langkah yang diterapkan untuk menjamin kualitas dan akuntabilitas kebijakan pemerintah, antara lain: keputusan dikeluarkan oleh Pejabat yang Berwenang; setiap keputusan harus menguraikan dasar filosofis, sosiologis, dan yuridis pengambilan keputusan; serta setiap pengambilan keputusan atau tindakan harus melibatkan masyarakat yang berkepentingan.
Suatu keputusan atau tindakan administrasi pemerintah dapat memiliki implikasi yang luas, baik bagi internal instansi atau eksternal instansi, baik menyangkut individu atau kelompok. Implikasi ini amat ditentukan oleh cakupan keputusan/tindakan tersebut. Dalam praktik, implikasi ini bisa bersifat menguntungkan atau merugikan subjeknya. Untuk itu, setiap keputusan/tindakan harus dapat dipertanggungjawabkan. Salah satu jaminan adanya pertangungjawaban tersebut adalah bahwa setiap keputusan/tindakan harus diterbitkan oleh pejabat yang berwenang.
Selama ini, akuntabilitas dari keputusan/tindakan administrasi pemerintah Indonesia amat rendah diakibatkan oleh tidak adanya ukuran pasti siapa yang harus bertanggung jawab dengan terbitnya suatu keputusan/tindakan. Ketika masyarakat atau individu merasa dirugikan dari suatu keputusan administrasi pemerintah, mereka seringkali kebingungan harus menuntut kemana karena badan/pejabat yang mengeluarkan keputusan saling lepar tanggung jawab. Permasalahan ini sering terjadi terutama disektor perizinan.
Selama ini yang menjadi pedoman untuk menentukan akuntabilitas keputusan/tindakan administrasi pemerintah hanyalah teori/doktrin-doktrin, dan/atau yurisprudensi. Dengan lahirnya UU AP, secara tegas diatur bahwa untuk menentukan pertanggungjawaban atau sah-tidaknya suatu keputusan/tindakan administrasi pemerintah, ditentukan oleh tiga hal, yaitu :
- Kewenangan pejabat yang mengeluarkan keputusan/tindakan;
- Prosedur mengeluarkan atau melaksanakan keputusan/tindakan; dan
- Substansi keputusan/tindakan tersebut.
1.Kewenangan pejabat pemerintah
Sebelum UU AP berlaku, tidak ada kepastian hukum dari mana sumber kewenangan administrasi pemerintah diperoleh. Jika peraturan perundang-undangan tidak tegas mengaturnya, maka tidak jelas dari mana kewenangan tersebut diperoleh? Batasan-batasan apa kewenangan tersebut digunakan? Dan bagaimana pertangungjawabannya? Hal ini mengakibatkan sulitnya mengukur dan menentukan akuntabilitas kebijakan pemerintah karena ada ketidak pastian hukum dalam kewenangan. Tidak mudah untuk menentukan apakah suatu keputusan sah atau tidak, karena persoalan kewenangan.
UU AP menentukan ada 3 (tiga) cara pejabat pemerintah memperoleh kewenangan, yaitu: Kewenangan yang diperoleh melalui Atribusi, Kewenangan yang diperoleh melalui Delegasi, dan Mandat.
Untuk memperjelas 3 (tiga) cara memperoleh kewenangan tersebut, bagan di bawah ini akan menguraikan perbedaan dan persamaannya.
SUMBER KEWENANGAN PEMERINTAH
ARTIBUSI
DELEGASI
MANDAT
Pemberian Kewenangan kepada Badan atau Pejabat Pemerintahan oleh UUDNRI 1945 atau UU.
Pelimpahan Kewenangan dari Badan atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah.
Pelimpahan Kewenangan dari Badan atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah.
Syarat kewenangan:
a.diatur dalam UUDNRI 1945 dan/atau UU; dan
b.merupakan Wewenang baru atau sebelumnya tidak ada.
Kewenangan atribusi tidak dapat didelegasikan, kecuali diatur di dalam UUDNRI Tahun 1945 dan/atau UU.
Syarat kewenangan:
a.diberikan oleh Badan /Pejabat Pemerintahan di lainnya;
b.ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perUUan; dan
c.merupakan Wewenang pelimpahan atau sebelumnya telah ada.
diperoleh apabila:
1.ditugaskan oleh Pejabat Pemerintahan di atasnya; dan
2.merupakan pelaksanaan tugas rutin.
a.Plh melaksanakan tugas rutin pejabat definitif berhalangan sementara; dan
b.Plt melaksanakan tugas rutin pejabat definitif berhalangan tetap.
3.Penerima Mandat harus menyebutkan a.n Badan/Pejabat yang memberikan Mandat.
Tanggungjawab Kewenangan berada pada Badan/Pejabat yang bersangkutan.
Tanggung jawab Kewenangan beralih/berada pada penerima Delegasi.
Tanggung jawab tetap pada “pemberi” Mandat.
UU AP mengatur dengan ketat sumber kewenangan badan/pejabat pemerintah. Jika melihat 3 jenis kewenangan tersebut, maka pada dasarnya seluruh kewenangan pemerintah harus tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Kewenangan yang pertama kali muncul adalah kewenangan atribusi yang diberikan oleh legislator melalui Konstitusi atau UU. Kemudian Konstitusi atau UU tersebut selanjutnya mengatur apakah kewenangan atribusi itu bisa didelegasikan atau tidak. Jika bisa didelegasikan maka pelaksanaannya ditetapkan dalam PP, Perpres, atau Perda.
Pejabat penerima delegasi harus menggunakan sendiri kewenangan yang telah didelegasikan. Pendelegasian kembali kewenangan (sub delegasi) hanya bisa dilakukan kalau peraturan perUUan memungkinkan. Dengan ketentuan ini maka tidak semua kewenangan atribusi dapat didelegasikan, dan tidak semua kewenangan delegasi dapat disub-delegasikan. Semua harus secara ketat diatur atau ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Jika peraturan perUUan memungkinkan untuk dilakukannya sub-delegasi, pelaksanannya harus mengikuti mekanisme yang juga diatur UU, antara lain:
·dituangkan dalam peraturan sebelum dilaksanakan,
·dilakukan dalam lingkungan pemerintah itu sendiri, dan
·paling banyak diberikan kepada Badan/Pejabat Pemerintahan 1 (satu) tingkat di bawahnya.
Pengaturan yang begitu ketat ini dimaksudkan untuk menjamin kepastian dan memperjelas pertangungjawaban. Sehingga dalam praktik akan meminimalisir saling lempar tanggung jawab antar pejabat pemerintah. Jika kewenangan itu atribusi, maka pertanggungjawabannya melekat pada badan/pejabat yang memperoleh wewenang tersebut. Begitu juga dengan kewenangan delegasi, pertanggungjawabannya melekat pada badan/pejabat yang menerima wewenang delegasi.
Berbeda halnya dengan Mandat, pada dasarnya atasan pejabat dapat memberikan mandat kepada bawahan kecuali peraturan perundang-undangan melarang atau tidak memungkinkan. Mandat diperoleh dari sumber kewenangan atribusi atau delegasi. Pertanggungjawaban pelaksanaan mandat tidak beralih ke penerima mandat melainkan tetap berada pada pemberi mandat. Oleh karena itu, Mandat hanya dapat diberikan terkait dengan pelaksanaan tugas rutin atau tugas sehari-hari dan penerima mandat tidak berwenang mengambil keputusan/tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.
Walaupun hanya menyangkut tugas sehari-hari dan tidak bersifat strategis, pelaksanaan mandat bisa saja menimbulkan permasalahan. Untuk itu, sebagaimana wewenang delegasi, Jika pelaksanaan Mandat menimbulkan ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan, Pejabat pemberi Mandat dapat menarik kembali Mandat yang telah diberikan. Dalam hal ini, seorang pejabat juga harus cermat dan tidak sembarang dalam memberikan mandat kepada pejabat di bahwahnya. Pejabat dituntut untuk berhati-hati dalam memberikan mandat karena pertanggungjawaban pelaksanaan mandat tersebut tetap berada ditangannya.
Dengan jelasnya sumber kewenangan dan tanggung jawab kewenangan tersebut, maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dan sejauhmana kewenangan tersebut dapat dilaksanakan? Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang, UU AP mengatur adanya batasan-batasan kewenangan dan larangan penyalahgunaan wewenang.
Wewenang Badan/Pejabat Pemerintahan dibatasi oleh 3 (tiga) hal, yaitu:
a.masa atau tenggang waktu wewenang (menyangkut batas waktu);
b.wilayah atau daerah berlakunya wewenang (menyangkut teritorial); dan
c.cakupan bidang atau materi wewenang (menyangkut lingkup substansi).
Badan/Pejabat Pemerintahan yang melewati atau keluar dari batas-batas kewenangan tersebut tidak dibenarkan mengambil keputusan/tindakan administrasi pemerintah. Jika pejabat melanggar batasan tersebut maka terjadilah penyalahgunaan wewenang. Penyalahgunaan wewenang tersebut meliputi 3 (tiga) bentuk yaitu: melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang, atau larangan bertindak sewenang-wenang.
Dikategorikan melampaui wewenang apabila keputusan/tindakan yang dilakukan:
a.melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya Wewenang;
b.melampaui batas wilayah berlakunya wewenang; dan/atau
c.bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan kategori mencampuradukkan wewenang apabila suatu keputusan/tindakan yang dilakukan di luar cakupan bidang atau materi wewenang yang diberikan; dan/atau bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan.
Sedangkan dikategorikan bertindak sewenang-wenang apabila keputusan/tindakan yang dilakukan: tanpa dasar kewenangan dan/atau bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan tetap.
Keputusan/tindakan yang dilakukan dengan melampaui wewenang dan/atau secara sewenang-wenang, akibat hukum dari keputusan tersebut “tidak sah” setelah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Keputusan/tindakan yang dilakukan dengan mencampuradukkan wewenang, akibat hukum dari keputusan tersebut “dapat dibatalkan” setelah telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Keputusan yang “tidak sah” diartikan sebagai keputusan yang dianggap tidak pernah ada karena dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang. Sehingga akibat yang ditimbulkan dari keluarnya keputusan tersebut, harus dikembalikan ke kondisi semula sebagaimana kondisi sebelum keputusan dikeluarkan. Sedangkan keputusan yang “dapat dibatalkan” diartikan sebagai keputusan yang perlu diuji terlebih dahulu pembatalannya oleh atasan pejabat atau pengadilan. Bersama dengan itu, atasan pejabat dan pengadilan tersebut juga menentukan konsekuensi hukum selanjutnya.
2.Konflik Kepentingan
Selain kewenangan badan/pejabat pemerintah, sah-tidaknya suatu keputusan/tindakan administrasi pemerintah juga ditentukan oleh prosedur yang dilalui dalam mengeluarkan keputusan. Dalam hal ini, pejabat pemerintahan sesuai dengan kewenangannya wajib menyusun dan melaksanakan pedoman umum standar operasional prosedur (SOP) pembuatan keputusan. SOP tersebut tertuang dalam pedoman umum pembuatan keputusan pada setiap unit kerja pemerintahan yang wajib diumumkan kepada publik melalui media cetak, media elektronik, dan media lainnya.
Untuk menjamin bahwa setiap keputusan dikeluarkan dengan prosedur yang benar, maka dalam pengambilan keputusan tersebut juga tidak boleh ada konflik kepentingan, yaitu kondisi dimana pejabat pemerintahan memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas keputusan/tindakan yang dibuat atau dilakukannya.
UU AP melarang pejabat pemerintahan yang berpotensi memiliki konflik kepentingan untuk menetapkan/ melakukan Keputusan/Tindakan administrasi.Jika pejabat sebagaimana dimaksud memiliki konflik kepentingan, maka keputusan/tindakan ditetapkan atau dilakukan oleh Atasan Pejabat atau pejabat lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Atasan Pejabat sebagaimana dimaksudterdiri atas:
a.Presiden bagi menteri/pimpinan lembaga dan kepala daerah;
b.menteri/pimpinan lembagabagipejabat di lingkungannya;
c.kepala daerah bagi pejabat daerah; dan
d.atasan langsung dari Pejabat Pemerintahan.
Konflik Kepentingan sebagaimana dimaksud terjadi apabila dalam menetapkan/melakukan keputusan atau tindakan dilatarbelakangi adanya kepentingan pribadi atau bisnis, hubungan dengan kerabat dan keluarga, hubungan dengan wakil pihak yang terlibat, hubungan dengan pihak yang bekerja dan mendapat gaji dari pihak yang terlibat, hubungan dengan pihakyang memberikan rekomendasi terhadap pihak yang terlibat, atau hubungan dengan pihak-pihak lain yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, upaya untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan tersebut juga perlu melibatkan peranan masyarakat. Dalam hal ini, warga masyarakat berhak melaporkan atau memberikan keterangan adanya dugaan konflik kepentingan dalam menetapkan/melakukan keputusan atau tindakan administrasi.Laporan atau keterangan masyarakat tersebut disampaikan kepada Atasan Pejabat yang mengeluarkan keputusan. Agar laporan tersebut tidak bersifat fitnah, maka pelapor yang bersangkutan perlu mencantumkan identitas jelas dan melampirkan bukti-bukti terkait.Atasan Pejabat yang menerima laporan, wajib memeriksa, meneliti, dan menetapkan keputusan terhadap laporan atau keterangan pelapor paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya laporan atau keterangan tersebut.
Jika terbukti terdapat konflik kepentingan, maka atasan pejabat wajib menetapkan atau melakukan keputusan/tindakan tersebut. Kemudian atasan pejabat yang mengeluarkan keputusan menjamin dan bertanggung jawab terhadap setiap keputusan atau tindakan yang ditetapkannya.
Bagaimana jika pejabat pemerintah tidak mengindahkan ketentuan ini dan pengambilan keputusan/tindakan administrasi pemerintah dilakukan dengan adanya konflik kepentingan? Maka ada 2 (dua) konsekuensi yang dikenakan: pertama, pejabat yang mengeluarkan keputusan. Pejabat yang bersangkutan dikenakan sanksi administrasi berat. Sesuai dengan Pasal 80 ayat (3) dan Pasal 81 ayat (3) UU AP, sanksi administrasi berat sebagaimana dimaksud, yaitu:
a.pemberhentian tetap dengan atau tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya; atau
b.pemberhentian tetap dengan atau tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya serta dipublikasikan di media massa.
Kedua, terhadap keputusan/tindakan yang dilakukan. Keputusan yang ditetapkan atau dilakukan karena adanya konflik kepentingan dapat dibatalkan. Dapat dibatalkan artinya keputusan tersebut perlu diuji terlebih dahulu oleh pengadilan apakah perlu dibatalkan atau tidak. Dengan pengujian oleh pengadilan tersebut, maka maka akibat hukum kemudian dengan pembatalan juga akan ditentukan oleh pengadilan, apakah keputusan tersebut dicabut, diubah, atau di...
3.Dasar Dikeluarkannya Keputusan
Untuk memastikan bahwa substansi setiap keputusan yang diterbitkan pemerintah sesuai dengan tujuan dikeluarkannya keputusan, Pasal 55 UU AP menyebutkan bahwa Setiap Keputusan harus diberi alasan pertimbangan yuridis, sosiologis, dan filosofis yang menjadi dasar penetapan Keputusan.Pertimbangan yuridis yaitu landasan yang menjadi dasar pertimbangan hukum kewenangan badan/pejabat yang mengeluarkan keputusan dan dasar hukum substansi dikeluarkannya keputusan. Dengan pertimbangan ini maka setiap keputusan yang dikeluarkan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau kebijakan lainnya dan dikeluarkan sesuai dengan kewenangan. Yang dimaksud dengan pertimbangan sosiologis yaitu landasan yang menjadi dasar manfaat bagi masyarakat dengan dikeluarkannya keputusan, apa pengaruh dikeluarkannya keputusan tersebut bagi warga masyarakat atau individu. Dengan pertimbangan ini, maka pada dasarnya setiap keputusan harus memberikan manfaat bagi masyarakat luas, bukan hanya memberikan manfaat bagi individu atau golongan tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan pertimbangan filosofis yaitu landasan yang menjadi dasar kesesuaian antara keputusan dengan tujuan penetapan keputusan tersebut. Dengan adanya pertimbangan filosofis maka setiap keputusan dikeluarkan harus memiliki tujuan jelas yang ingin dicapai atau dituju, bukan keputusan tanpa tujuan yang jelas atau untuk melaksanakan kegiatan fiktif.
Ketentuan ini secara tidak langsung menegaskan bahwa pejabat pemerintah tidak dibenarkan untuk mengeluarkan keputusan hanya semata-mata untuk memenuhi keinginan/kebutuhannya. Pejabat pemerintah tidak dibenarkan mengeluarkan keputusan dengan sembrono atau semata-mata mengikuti hawa nafsunya. Ketentuan ini memberikan batasan atau larangan bagi keputusan yang dikeluarkan tanpa alasan atau dasar yang jelas.
Jika suatu keputusan dikeluarkan tanpa alasan yuridis, sosiologis, dan filosofis tersebut, atau tanpa alasan yang terperinci, maka keputusan tersebut dapat dicabut atau dibatalkan baik oleh pejabat yang mengeluarkan keputusan, atasan pejabat, ataupun perintah pengadilan.
C.Meningkatkan Akselerasi Pemerintahan
Kalau kita berurusan dengan pemerintah sering kita menghadapi permasalahan yang serupa, yaitu prosedur yang terkesan lambat, berbelit-belit, dan menyita waktu. Untuk mengurus hal-hal kecil atau sederhana saja, kita harus mengerahkan energi yang besar. Namun dengan lahirnya UU AP, dengan penerapan konsisten maka keluhan-keluhan di lingkungan birokrasi ini seharusnya tidak terjadi kembali. Pejabat pemerintah dapat mengeluarkan keputusan atau mengambil tindakan cepat dan segera walaupun peraturan perundang-undangan tidak mengatur atau memberikan pilihan. UU AP memberikan batasan-batasan yang jelas mengenai tata cara, syarat, dan akibat hukum penggunaan diskresi. Pengadministrasian dapat dilakukan dengan cepat tanpa kehadiran pejabat yang berwenang, pengambilan keputusan tidak lagi harus menggunakan kertas dan tinta basah yang berlebihan, karena relatif seluruhnya dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi informasi. Sehingga tuntutan/permohonan warga masyarakat dapat ditindaklanjuti dengan segera.
1.Diskresi
Melalui mekanisme yang standar dan rambu-rambu yang jelas dalam penggunaan diskresi, pejabat tidak perlu ragu mengambil tindakan cepat meskipun ada kekosongan hukum, perundang-undangan tidak mengatur dengan tegas/jelas, atau peraturan hanya memberikan pilihan. Langkah-langkah kreatif dan inovatif untuk merespon tuntutan masyarakat dapat dilakukan tanpa menyalahgunakan wewenang.
Selama ini, dalam praktek administrasi pemerintahan tidak ada ukuran jelas kapan seorang pejabat dapat melakukan diskresi dan kapan diskresi tidak dapat dilakukan. Menurut Back Law Dictionary, diskresi diartikan sebagai the power of free decision-making. An Individual power to make desition without anyone else’s advice or consent. Diskresi sering kali disamakan dengan freies Ermessen yang diartikan sebagai kewenangan bebas. Akibatnya penggunaannya justru disasalahgunakan (abuse), pejabat seringkali memanfaatkan kekosongan hukum untuk melanggengkan kekuasaannya. Konsep freies Ermessen tidak sesuai untuk diterapkan di negara hukum yang memandang hukum sebagai panglima. Oleh karenanya Diskresi tidak dapat digunakan tanpa batas, UU AP memberikan batasan-batasan penggunaan diskresi yaitu: Diskresi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang berwenang. Setiap penggunaannya harus sesuai dengan tujuan, AUPB, alasan2 objektif, tidak menimbulkan konflik kepentingan, dan itikad baik (tidak didasarkan pada kebebasan bertindak). Diskresi meliputi pengambilan keputusan dan/atau tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan; tidak mengatur; tidak lengkap atau tidak jelas; dan pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas. Dengan pengaturan ketat seperti ini, maka menutup kemungkinan penyalahgunaan kewenangan dengan mengatas namakan diskresi.
2.Pemanfaatan ICT dalam menetapkan keputusan elektronik
Selain itu untuk mengatasi inefisiensi administrasi pemerintahan, UU AP mendorong pemanfaatan teknologi informasi dalam penyelenggaraan pemerintah. Proses administrasi akan lebih cepat, efektif, dan efisien, tidak harus menunggu pejabat pemerintah berada ditempatnya, keputusan dapat dibuat atau disampaikan dengan memanfaatkan media elektronik. Untuk menyingkat waktu dan menghindari penggunaan kertas yang berlebihan, Keputusan berbentuk elektronis dapat menggantikan keputusan tertulis. Kekuatan hukum antara keputusan berbentuk elektronis sama dengan keputusan yang tertulis. Bahkan jika keputusan dalam bentuk tertulis tidak disampaikan, maka yang berlaku adalah keputusan dalam bentuk elektronis. Namun untuk menjamin kepastian hukum, jika terjadi permasalahan dimana terdapat perbedaan antara keputusan dalam bentuk elektronis dan tertulis, maka yang berlaku adalah yang tertulis. Dan kedepan tidak menutup kemungkinan, keputusan yang mengakibatkan pembebanan keuangan negara juga dapat diterbitkan dalam bentuk elektronis.
D.Mempererat Hubungan Warga Masyarakat dengan Pemerintah
Dengan lahirnya UU AP, relasi antara pemerintah dan masyarakat akan semakin kuat. Sesuai dengan prinsip transparansi dalam good governance,Business process pengambilan keputusan dilakukan dengan transparan baik untuk mencegah konflik kepentingan dan meningkatkan keterlibatan masyarakat. Keterlibatan warga masyarakat wajib dilakukan baik sebelum maupun sesudah keputusan ditetapkan. Pejabat pemerintah wajib memberikan kesempatan kepada warga masyarakat yang berkepentingan untuk didengar pendapatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebelum keputusan yang menimbulkan pembebanan warga ditetapkan, pejabat pemerintahan wajib melakukan sosialisasi kepada pihak-pihak yang terlibat dan berkepentingan mengenai dasar hukum, persyaratan, dokumen, dan fakta yang terkait untuk didengar pendapatnya dan untuk melakukan klarifikasi dengan pihak yang terkait secara langsung.
Sesudah keputusan ditetapkan, Masyarakat tidak perlu bingung untuk menggunakan haknya menuntut/keberatan ketika suatu keputusan/tindakan pemerintah dianggap merugikan, karena complain handling mechanism terhadap keputusan juga tertata dengan time frame dan alur yang jelas. Selama ini, tidak ada ketentuan yang pasti mengatur dimana keberatan terhadap keputusan harus diajukan, dan tidak ada waktu yang jelas kapan dan berapa lama keluhan/keberatan tersebut harus diselesaikan. Akibat tidak efektifnya upaya administrasi ini, mau-tidak mau warga masyarakat langsung mengajukan gugatan ke pengadilan. Kondisi ini menunjukkan bahwa warga masyarakat seringkali dalam posisi yang lemah ketika berhadapan dengan pemerintah. Dengan mekanisme dan waktu-waktu yang jelas dalam upaya administrasi, akan mengoreksi hubungan masyakarat dengan pemerintah menjadi lebih seimbang.
Untuk meningkatkan akselerasi pemerintah, UU AP menganut prinsip fiktif positif, dimana jika tidak ada keputusan pemerintah atas suatu permohonan warga masyarakat, maka dianggap sama dengan adanya keputusan yang menerima permohonan warga tersebut. Hal ini berbeda dengan UU PTUN yang menganut prinsip fiktif negatif, yaitu jika tidak ada keputusan atas permohonan warga masyarakat, maka dianggap permohonan tersebut ditolak. Dengan pengaturan ini, mengakibatkan pemerintah tidak peka dan seringkali acuh terhadap permohonan/tuntutan masyarakat.
Perubahan dari prinsip fiktif negatif menjadi fiktif positif, secara tidak langsung akan memicu perubahan kultur birokrasi. Pejebat pemerintah dituntut untuk peka, responsif, dan proaktif terhadap kebutuhan dan tuntutan warga masyarakat. Pejabat tidak untuk dilayani, melainkan melayani warga masyarakat. Mereka harus segera merespon permohonan warga, karena jika tidak maka dianggap pejabat yang bersangkutan telah mengeluarkan keputusan menerima permohonan warga tersebut. Pejabat yang bersangkutan akan menanggung segala akibat hukum dan resiko dari sifat pasifnya terhadap permohonan warga.
Prinsip fiktif positif ini tidak hanya berlaku terhadap permohonan warga masyarakat dibindang perizinan, pelayanan publik, dan sebagainya, tetapi juga dalam hal upaya administrasi. Yaitu terhadap keberatan dan/atau banding warga masyarakat yang merasa dirugikan dengan dikelurkannya keputusan/tindakan pemerintah. Dalam hal Badan/Pejabat Pemerintahan tidak menyelesaikan keberatan dan/atau banding yang diajukan warga masyarakat yang merasa dirugikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka keberatan/banding tersebut dianggap dikabulkan.
E.Penutup
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah yang baru saja ditetapkan pada tanggal 26 September 2014, menjadi landasan hukum untuk mewujudkan tata administrasi pemerintahan yang baik. Sebagai pedoman bagi pejabat pemerintah dalam menjalankan tugasnya, UU ini akan meningkatkan akuntabilitas pemerintah dan kebijakan yang diterbitkan. Melalui mekanisme dan rambu-rambu yang jelas dalam penggunaan diskresi, pejabat dapat mengambil tindakan cepat meskipun ada kekosongan hukum atau perundang-undangan tidak mengatur dengan tegas/jelas. Langkah-langkah kreatif dan inovatif untuk merespon tuntutan masyarakat dapat dilakukan tanpa menyalahgunakan wewenang.
Untuk meningkatkan akselerasinya, UU AP merubah prinsip fiktif negatif yang selama ini diantu oleh UUPTUN menjadi prinsip fiktif positif. Dengan ketentuan ini, pejebat pemerintah dituntut untuk peka, responsif, dan proaktif terhadap permohonan dan tuntutan warga masyarakat.
UU AP mendorong pemanfaatan teknologi informasi dalam penyelenggaraan pemerintah. Proses administrasi akan lebih cepat, efektif, dan efisien, tidak harus menunggu pejabat pemerintah berada ditempatnya, karena keputusan dapat dibuat atau disampaikan dengan memanfaatkan media elektronik. Keputusan berbentuk elektronis dapat menggantikan keputusan tertulis. Kekuatan hukum antara keduanya sama, bahkan jika keputusan dalam bentuk tertulis tidak disampaikan, maka yang berlaku adalah keputusan berbentuk elektronis.
Relasi antara pemerintah dan masyarakat juga akan semakin kuat. Keterlibatan masyarakat harus sudah dimulai sejak dalam proses membuat keputusan. Masyarakat tidak lagi harus bingung untuk menuntut kemana, karena complain handling mechanism terhadap keputusan yang merugikan juga tertata dengan time frame dan alur yang jelas. Kondisi ini akan mengoreksi kedudukan masyakarat yang selama ini lemah ketika berhadapan dengan pemerintah.
Berbagai perubahan ini dimaksudkan tidak saja untuk memperbaiki struktur dan proses administrasi, tetapi juga untuk merubah budaya hukum, sikap mental dan pola pikir aparatur sipil negara agar lebih responsif terhadap tuntutan lingkungan strategis.
Dasadur dari Tulisan Laode Rudita, Freelance Konsultan dan Pengajar Program Doctoral Universitas Borobudur Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H