Menurut Kenichi Ohmae, seorang cendekiawan jepang, bahwa globalisasi adalah Borderless World (dunia tanpa batas) yang mengundang kerjasama besar antar bangsa, sekat-sekat geografis, etnis, dan agama tidak menjadi rintangan. Realitas pengaruh Globalisasi dapat dengan mudah kita lihat pada aspek perkembangan teknologi komunikasi, transformasi dan informasi yang sedemikian cepat. Salah satu dari konsekuensi adanya globalisasi adalah  adanya proses  menyerupai antara satu sama lain  pada  tingkatan yang lebih besar  dari apa yang pernah dilakukan dimasa yang lalu yang tidak hanya bersifat fisik. Hal ini disebut dengan  homogenisasi dalam pengertian  berkembanganya sifat kesamaan.
Lalu bagaimana globalisasi dapat mempengaruhi agama nusantara? Tentu bisa, globalisasi mendorong adanya perubahan, perubahan perubahan yang terjadi pada umumnya mengarah atau berkiblat ke barat sebagai poros kemajuan teknologi. Budaya serta kebiasaan barat yang tidak sesuai terkadang berbentrokan dengan adat istiadat ataupun aturan dalam agama nusantara, yang membuat penganut agama nusantara mulai meninggalkan kepercayaannya karena dianggap kolot dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Globalisasi seperti dua belah mata pisau, bisa jadi menguntungkan atau sebaliknya. Bagaimana kita yang harus cermat dalam menyaring informasi dan budaya yang masuk, dan menambah kecintaan terhadap budaya dan nilai-nilai luhur bangsa dan agama.
Agama Nusantara yang masih eksis hingga kini
Agama Kepercayaan Nusantara memiliki filosofi yang sangat dalam dan kompleks. Salah satu konsep utamanya adalah kepercayaan pada kekuatan alam dan lingkungan sekitar. Selain itu, agama ini juga mengajarkan nilai-nilai seperti kebersamaan, gotong royong, dan penghormatan terhadap leluhur dan nenek moyang. Nilai-nilai ini harus tetap dijaga ditengah kuatnya arus modernisasi dan gemuran budaya barat. Ada beberapa agama nusantara yang masih bertahan ditengah gempuran modernisasi dan globalisasi yang terjadi.
Arat Sabulungan
Arat Sabulungan adalah kepercayaan asli bagi masyarakat suku bangsa Mentawai yang berasal dari Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatra Barat, Indonesia, teristimewa orang Sakuddei di pulau Siberut.[1][2] Secara bahasa, Arat berarti adat, Sa berarti sekitar, dan bulungan artinya daun.Sabulungan lahir karena acara ritualnya selalu menggunakan daun-daun yang dipercaya bisa menjadi perantara hubungan manusia dengan tuhan yang disebut dengan Ulau Manua.
Arat Sabulungan mengajarkan agar adanya keseimbangan antara alam dan manusia. Artinya, manusia sudah semestinya memperlakukan alam dan seisinya seperti tumbuh-tumbuhan, air, dan hewan seperti mereka memperlakukan dirinya sendiri. Ajaran mengenai keseimbangan manusia dan alam terefleksi dari bagaimana alam dimaknai oleh penganutnya. Alam dianggap sebagai tempat bersemayamnya para dewa sehingga harus dihormati. Jika sikap hormat itu tidak ada, maka manusia akan ditimpa malapetaka.
Agama Buhun
Merupakan salah satu agama tertua asli Nusantara yang bertahan di tatar Sunda bagian utara.Buhun adalah ajaran kuno para leluhur Sunda pra-Hindu dan sudah ada jauh sebelum agama-agama dari daratan Asia masuk ke kepulauan Nusantara,
Ajaran Buhun murni atau biasa disebut Kepercayaan Jati Buhun, memiliki ajaran yang terdiri dari Pikukuh-pikukuh atau ketetapan-ketetapan yang disampaikan secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya.