Mohon tunggu...
Syeftyan Afat
Syeftyan Afat Mohon Tunggu... Freelancer - Santri di Pondok Tremas Pacitan

Menulis beberapa hal sebagai catatan, refleksi diri, dan pengembangan diri

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gus Miftah, Penjual Es Teh, dan Analisis Psikologi di Balik Dakwah yang Kontroversial

5 Desember 2024   19:02 Diperbarui: 5 Desember 2024   19:54 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dari perspektif psikologi, apa yang dialami Gus Miftah adalah refleksi dari pergulatan manusia yang kompleks. Popularitas, tekanan untuk tampil sempurna, dan godaan kuasa adalah tantangan yang dihadapi oleh siapa saja yang berada di posisi publik. Namun, sebagai seorang penceramah, ia juga punya tanggung jawab moral untuk terus melakukan refleksi diri.

Dalam psikologi, proses ini disebut self-awareness. Rasulullah SAW adalah contoh terbaik dalam menjaga kesadaran diri. Beliau adalah pemimpin besar yang tetap rendah hati. Bahkan, ketika penduduk Thaif melempari beliau dengan batu, Nabi tetap mendoakan kebaikan untuk mereka. Di sinilah perbedaan besar antara seorang pemimpin sejati dan mereka yang terjebak dalam ego kuasa.

Pelajaran untuk Kita Semua

Kasus ini seharusnya menjadi pelajaran, bukan hanya untuk Gus Miftah, tetapi juga untuk masyarakat. Pertama, penting bagi kita untuk tetap kritis terhadap penceramah atau figur publik. Tidak semua yang mereka katakan adalah kebenaran mutlak. Kedua, masyarakat perlu memahami bahwa agama adalah tentang nilai-nilai, bukan sekadar kata-kata. Dakwah yang baik adalah yang menyentuh hati, bukan yang melukai.

Untuk Gus Miftah sendiri (sebenarnya saya lebih nyaman menuliskan nama Miftah, tanpa "Gus" di depannya, tapi tidak mengapa lah ya) ini adalah momen penting untuk merefleksikan cara berdakwahnya. Popularitas adalah ujian, dan dakwah adalah amanah. Jika keduanya tidak disikapi dengan rendah hati, hasilnya bukanlah pencerahan, melainkan kontroversi yang melukai umat.

Pada akhirnya, mari kita belajar dari penjual es teh seperti Bapak Sunhaji. Dalam kerja kerasnya yang sederhana, ada keberkahan yang besar. Ia tidak menjual mimpi atau surga, tetapi ia menunjukkan nilai sejati dari sebuah pekerjaan kecil yang dilakukan dengan ikhlas. Bagi kita semua, pekerja kecil seperti Sunaji adalah pengingat bahwa hidup ini tidak hanya tentang apa yang kita capai, tetapi juga tentang bagaimana kita memperjuangkannya dengan kejujuran dan martabat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun