Kasus Gus Miftah yang menghina penjual es teh ketika acara pengajian di Magelang itu bukan sekadar persoalan kata-kata candaan belaka. Perkara ini mengundang telaah mendalam, bukan hanya soal adab berdakwah, tetapi juga tentang apa yang mungkin melatarbelakangi munculnya pernyataan seperti itu. Dalam konteks ini, memeriksa sisi psikologis seorang penceramah seperti Gus Miftah mungkin bisa memberi kita perspektif baru.
Dakwah sebagai Identitas: Beban Popularitas dan Tekanan Sosial
Gus Miftah adalah seorang penceramah populer. Dengan jutaan pengikut di media sosial dan agenda ceramah yang penuh, ia adalah bagian dari generasi penceramah yang hidup di tengah ekspektasi tinggi masyarakat modern. Popularitas ini membawa dua sisi: di satu sisi, ia memberi panggung besar untuk menyampaikan pesan agama; di sisi lain, itu menciptakan tekanan psikologis yang berat.
Bagi seorang penceramah yang terbiasa menjadi pusat perhatian, muncul dorongan untuk tampil "unik" atau "berbeda." Dalam psikologi, ini dikenal sebagai kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization), di mana individu berusaha memenuhi potensinya sesuai dengan persepsi masyarakat. Namun, kebutuhan ini juga bisa berubah menjadi perilaku yang terlalu berfokus pada citra diri daripada substansi pesan. Pernyataan seperti yang dilontarkan Gus Miftah bisa jadi lahir dari kebutuhan untuk menyampaikan ceramah yang "berkesan," meskipun tidak disaring dengan baik.
Psikologi Kekuasaan: Merasa Lebih Tinggi dari yang Lain
Posisi sebagai penceramah terkenal juga memberi kuasa simbolis kepada Gus Miftah. Dalam psikologi sosial, seseorang dengan kuasa cenderung melihat dirinya lebih tinggi dari orang lain, baik secara sadar maupun tidak. Efek ini sering kali disebut sebagai power paradox---saat seseorang memiliki kuasa, ia lebih mudah kehilangan empati terhadap orang-orang yang dianggap "lebih rendah."
Ketika Gus Miftah merendahkan penjual es teh, ada indikasi bahwa ia mungkin terjebak dalam jebakan ini. Perasaan superior, terutama di hadapan orang-orang dengan status sosial lebih rendah, bisa muncul secara tidak sadar karena ia terbiasa menjadi pusat perhatian dan panutan. Dalam konteks dakwah, ini adalah bahaya besar karena bertentangan dengan prinsip Islam yang mengajarkan kesetaraan dan penghormatan terhadap semua manusia.
Ego dan Komodifikasi Agama
Poin lain yang tidak kalah penting adalah bagaimana Gus Miftah, sebagai seorang penceramah profesional, beroperasi dalam industri dakwah yang sudah terkomodifikasi. Ketika ceramah menjadi bagian dari komoditas, fokus penceramah sering kali bergeser dari dakwah murni ke kebutuhan memenuhi ekspektasi pasar. Dalam kondisi ini, penceramah mungkin mengembangkan ego profesional---dorongan untuk mempertahankan posisi di puncak popularitas, terkadang dengan mengorbankan sensitivitas terhadap audiens.
Pernyataan tentang penjual es teh mungkin bukan sekadar kekeliruan dalam berbicara. Bisa jadi, itu adalah efek dari ego yang terbentuk oleh lingkungan dakwah yang sangat kompetitif, di mana penceramah harus "menjual" ide dengan cara yang menarik perhatian, meskipun risikonya melukai orang lain.
Refleksi Diri yang Diperlukan