Coba bayangkan. Dari pagi sampai sore, guru harus mengajar dengan sepenuh hati. Mereka menghadapi murid-murid yang kadang sulit dibilang "menyenangkan." Ada yang diam-diam buka HP di bawah meja, ada yang tidur waktu pelajaran, ada pula yang debat sok kritis padahal jawabannya salah semua. Dan guru? Tetap sabar, tetap senyum, tetap mengajarkan pelajaran hari itu. Sebegitu berdedikasinya mereka, sampai rasanya tidak manusiawi kalau kita masih tega menggaji mereka kecil.
Tentu, ada yang berargumen, "Kan menjadi guru itu panggilan hati. Bukan soal uang." Oke, fair point. Tapi, coba pikir lagi. Guru itu juga manusia. Mereka punya keluarga yang harus diberi makan, anak-anak yang perlu sekolah, dan cicilan motor atau rumah yang menunggu tanggal jatuh tempo. Kalau gaji mereka kecil, panggilan hati ini lama-lama bisa berubah jadi panggilan utang. Karena, ya, hidup butuh uang, bukan sekadar idealisme.
Bayangkan saja, apakah adil mengharapkan guru mendidik anak-anak kita menjadi generasi hebat, sementara mereka sendiri harus pusing memikirkan tagihan listrik atau uang belanja? Jangan-jangan, ketika mereka mengajarkan soal "fungsi eksponensial," yang ada di pikiran mereka sebenarnya adalah fungsi eksponensial kenaikan harga bahan pokok.
Kita butuh guru yang fokus mendidik, bukan yang sibuk memikirkan cara bertahan hidup. Kecukupan ekonomi bagi guru bukan soal berlebihan, tapi soal menghargai dedikasi mereka. Gaji yang layak adalah bentuk pengakuan bahwa pekerjaan mereka tidak hanya penting, tetapi juga esensial bagi kemajuan bangsa.
Jadi, kalau kita masih ingin anak-anak bangsa ini cerdas, kritis, dan bermoral, ayo kita ubah mindset. Guru bukan pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka pahlawan yang pantas mendapat gaji cukup, bahkan lebih. Karena tanpa guru, kita mungkin tak akan tahu bedanya "bahwasanya" dan "bahwa saja."
Profesionalisme yang Dipertanyakan
Saya punya murid ngaji, kelas 4 SD, yang belum bisa membaca. Bukan membaca ayat-ayat Al-Qur'an, tapi membaca huruf latin sederhana. Anak ini bukan anak autis atau memiliki kelainan. Ya, sekali lagi, anak ini anak normal. Ia sekolah di SD negeri, tempat guru-gurunya berstatus PNS dan PPPK, yang artinya, setidaknya secara administratif, mereka adalah "guru profesional". Tapi apa gunanya gelar profesional kalau hasilnya seperti ini? Bagaimana seorang anak bisa lolos dari kelas 1 hingga kelas 4 tanpa kemampuan dasar membaca? Setidaknya ada waktu selama empat tahun, dia berangkat setiap hari ke sekolah --kecuali hari libur-- dengan niat utama: belajar. Dalam rentan waktu empat tahun tersebut, masuk akalkah seorang anak normal masih kesulitan menghafal 26 huruf latin? Jika seminggu butuh menghafal satu huruf saja, hanya butuh sekitar 7 bulan untuk menghafal 26 huruf tersebut. Anggaplah setahun harusnya cukup. Tapi, kenapa faktanya demikian? Barangkali, ada banyak faktor di luar pembahasan dalam tulisan ini.
Masalah ini lebih dalam daripada sekadar angka gaji. Guru yang profesional secara administratif belum tentu profesional dalam cara mendidik. Profesionalisme bukan hanya soal lulus sertifikasi atau punya gelar. Profesionalisme adalah soal dedikasi, soal hati, soal keberanian untuk memikul tanggung jawab moral yang besar. Guru tanpa jiwa mendidik adalah seperti dokter tanpa empati---teknis bisa, tapi dampaknya tak terasa.
Hak Guru, Kewajiban Guru
Meningkatkan kesejahteraan guru tentu penting, tapi tak cukup. Guru juga butuh perlindungan hukum yang jelas. Guru harus punya ruang untuk mendidik tanpa takut dilaporkan hanya karena melakukan tugasnya. Jika tidak, siapa yang mau jadi guru di masa depan?
Namun, mari kita juga jujur pada diri sendiri: guru juga harus introspeksi. Fenomena murid kelas 4 yang belum bisa membaca, atau kasus-kasus lain di mana guru tak menjalankan tugasnya dengan baik, menunjukkan bahwa sistem pendidikan kita masih penuh lubang. Guru yang sekadar datang, mengajar seadanya, dan pulang tanpa peduli pada perkembangan murid, sama buruknya dengan orang tua yang hanya bisa mengeluh tapi tak mau ikut berperan.