Hari Guru, Ketika Guru Tak Lagi Punya Kuasa
Menjadi seorang guru harus siap secara mental, lahir maupun batin. Ruang kerja sebagai seorang guru, harus tetap diisi oleh generasi muda yang kompeten, berani dan siap terjun langsung berperan aktif dalam keterlibatannya dengan murid dan juga orang tua murid.
Hari guru nasional, mestinya menjadi momen kita merayakan jasa orang-orang yang, tanpa pamrih, membentuk masa depan bangsa. Mereka bekerja tak hanya dengan kepala, tapi juga hati. Sayangnya, Hari Guru kali ini diramaikan oleh berita yang bikin kita miris sekaligus bingung: seorang guru diadukan ke polisi karena menegur muridnya. Ketik saja di google, "guru dilaporkan ke polisi", maka akan banyak sekali dijumpai kasus serupa di banyak sekolahan, di mana guru benar-benar mengalami pembatasan ruang gerak. Sebuah pengingat pahit bahwa di negeri ini, menjadi guru ternyata tak cuma soal mendidik, tapi juga soal bertahan dari ancaman hukum.
Mari kita berhenti sejenak. Bayangkan anda seorang guru. Anda punya 30 murid di kelas yang harus diajar dan didisiplinkan. Salah satu murid bertingkah di luar batas: mengganggu teman-temannya, tidak mengerjakan tugas, atau, dalam kasus ini, mungkin sekadar tidak sopan. Sebagai guru, anda tentu merasa perlu menegur. Bukan untuk mempermalukan, apalagi menyakiti, tapi untuk mendidik. Namun, ternyata, teguran itu cukup untuk membuat orang tua murid melaporkan anda ke polisi. Apa yang akan anda rasakan? Apakah anda masih punya keberanian untuk mendidik?
Guru di Antara Dua Api
Kasus ini menunjukkan bahwa profesi guru semakin berada di antara dua api: di satu sisi, mereka dituntut untuk mencetak generasi yang cerdas dan berkarakter; di sisi lain, mereka tak punya ruang untuk melakukan itu tanpa ancaman dari orang tua atau masyarakat. Tegas sedikit, dilaporkan. Lembek, dianggap tidak becus. Guru terjebak dalam dilema tanpa akhir.
Ironisnya, banyak orang tua yang lupa bahwa sekolah adalah tempat mendidik, bukan sekadar tempat menitipkan anak. Pendidikan bukan hanya soal akademik, tapi juga soal membangun karakter. Dan karakter, sering kali, dibangun melalui teguran dan pembelajaran dari kesalahan. Anak-anak butuh tahu bahwa tindakan mereka punya konsekuensi. Tapi bagaimana guru bisa memberikan pelajaran itu kalau setiap teguran mereka diartikan sebagai penghinaan atau, lebih buruk lagi, kekerasan?
Guru di antara Gaji dan Dedikasi
Di sisi lain, kabar bahwa Menteri Pendidikan Dasar, Abdul Mu'ti berencana menaikkan gaji guru PNS dan profesional menambah warna dalam diskusi ini. Sebagai penghormatan terhadap profesi guru, langkah ini tentu patut diapresiasi. Guru yang ekonominya kuat cenderung lebih tenang dalam bekerja. Tapi, mari kita jujur, apakah masalah utama pendidikan kita hanya soal gaji? Jawabannya bisa iya, bisa juga tidak.
Guru, Pahlawan Tanpa Tanda Cukup Gaji
Mari kita bicara tentang guru. Profesi mulia yang katanya, katanya lho ya, adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Tapi setelah kita pikir-pikir, memang betul sih, tanpa tanda jasa... dan seringnya tanpa tanda cukup gaji. Padahal, kalau dipikir logis, peran guru dalam kehidupan kita ini monumental. Mereka adalah orang yang mengajari kita baca tulis, menghitung, dan bahkan memahami arti hidup di balik puisi Chairil Anwar. Tapi kenapa ya, penghargaan atas mereka seringkali hanya berhenti di "terima kasih, Pak/Bu Guru"?