Pendahuluan:
Konflik di Semenanjung Korea belum menemukan titik temu. Terakhir, Korea Utara melakukan uji coba nuklir keenam pada tanggal 3 September 2017 yang dilaporkan oleh Badan Survei Geologi Amerika Serikat menyebabkan gempa bumi berkekuatan 6,3 SR tidak jauh dari tempat uji coba nuklir Punggye-ri, Korea Utara. Korea Utara mengklaim bahwa mereka berhasil meledakkan bom hidrogen yang dapat dimuat ke ICBM (Intercontinental Ballistic Missile) atau rudal balistik antar benua dengan kekuatan menghancurkan.
Seorang pakar dari Australia mengatakan, perang nuklir antara Korea Utara dan AS sangat mungkin terjadi. Meskipun strategi penangkalan (deterence) bisa bekerja mencegah masing-masing pihak memulai serangan nuklir, namun bahaya dari mispersepsi masih terlalu besar untuk bisa dicegah. Negara-negara di sekitar Semenanjung Korea juga sudah meningkatkan kewaspadaan dan bersiap-siap seandainya perang benar-benar terjadi. Negara ASEAN pun turut khawatir jika serangan nuklir akan berdampak buruk bagi keamanan nasional.
Mengapa Korea Utara Meningkatkan Kapasitas Nuklir?
Hal ini berakar dari persepsi ancaman yang dirasakan rezim Pyongyang terhadap kekuatan militer yang jauh lebih besar dari Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya di kawasan tersebut. Sejak Perang Korea berakhir dengan gencatan senjata pada tahun 1953, Korea Utara senantiasa melakukan perang dingin berkepanjangan dengan Korea Selatan yang didukung kuat oleh Amerika Serikat. Rezim diktator Kim Il-sung dan penerusnya yakin bahwa hanya dengan memiliki senjata nuklir, negara kecil dan miskin seperti Korea Utara dapat mengimbangi kekuatan besar dan mencegah serangan militer atau upaya penggulingan rezim.
Respon Internasional terhadap Isu Nuklir Korea Utara:
Dalam merespon hal ini, sebagian negara menyikapinya secara konforntatif namun sebagian lainnya tetap mengedepankan dialog. Kubu "Penahanan" yang dipimpin oleh Amerika Serikat, fokus pada penerapan sanksi ekonomi dan tekanan diplomatik untuk memaksa Korut menghentikan program nuklirnya. Kubu ini juga mendorong kerjasama keamanan regional untuk mencegah proliferasi nuklir dan menjaga stabilitas kawasan. Sedangkan, Kubu "Dialog" yang dipimpin oleh China dan Korea Selatan menekankan dialog dan insentif ekonomi untuk mendorong Korut keluar dari program nuklirnya. Kubu ini percaya bahwa sanksi dan tekanan saja tidak akan efektif dan dapat memperburuk situasi.
Korea Utara Menarik Diri dari Six Party Talk:
Six Party Talk merupakan forum pembicaraan 6 negara yang dimulai pada tahun 2003 lalu. Forum tersebut beranggotakan Korea Selatan, Korea Utara, Amerika Serikat, Federasi Rusia, Jepang dan China. Tujuan diadakannya forum pembicaraan ini adalah untuk menjembatani reunifikasi serta perdamaian Korea Utara dan Selatan. Namun, sangat disayangkan tatkala pembicaraan damai terhenti pada 2008 setelah Korea Utara menarik diri dan menyatakan tidak percaya lagi pada Six Party Talk. Hal ini muncul dikarenakan negara-negara yang berperan sebagai mediator dalam isu ini justru memiliki kepentingan langsung dengan kawasan ini, sehingga akan lebih baik jika keanggotaan Six Party Talk dikocok ulang.
Sikap ASEAN terhadap Isu Nuklir: