Jatuh cinta dan berjumpa pacar idaman adalah impian setiap remaja. Tapi faktanya, 68 % remaja terjebak dalam toxic relationship.
Apa kamu salah satunya?
Bayangkan peristiwa ini. Rania (15) dan Rangga (16), sudah 9 bulan menjalin hubungan cinta. Mereka satu sekolah, dan Rangga adalah kakak kelas Rania. Punya banyak kesamaan adalah salah satu alasan mereka cocok. Sama-sama introvert, suka nonton film dokumenter, dan mencoba makanan baru, adalah beberapa diantaranya. Tapi dua bulan terakhir mereka sering bertengkar, awalnya karena Rangga keberatan Rania banyak ekstra kurikuler baru. Berlanjut ke cemburu.
Awalnya Rania menanggapi santai, tapi lama-lama terbawa emosi juga. Dua kali sudah mereka putus sambung. Ketiga kali putus, Rania mengatakan ia akan mengakhiri hubungan itu. Rangga bukan hanya marah, tapi juga mengancam akan bunuh diri. Rania takut dan kasihan, dan akhirnya menjalin kembali hubungan itu. Rangga pun berjanji akan berubah. Berhasilkah mereka? Atau mereka sudah terjebak ke toxic relationship, yang konon memang sangat sulit lepas kalau sudah menjerat?
Sama Seperti Tubuh, Hubungan Cinta Pun Harus Sehat!
Dikutip dari Degenova & Rice dalam buku Intimate Relationships, Marriages, and Families, pacaran adalah menjalankan suatu hubungan di mana dua orang bertemu dan melakukan serangkaian aktivitas bersama agar dapat mengenal satu sama lain. Mendapatkan kesenangan tersendiri, mencoba keakraban dengan lawan jenis, dan mencari teman untuk berkembang bersama, merupakan alasan yang mendorong remaja berpacaran. Hal tersebut ternyata terbukti dialami oleh dua responden dari survei yang telah tim kami lakukan terhadap 60 remaja berusia 15-21 tahun yang berdomisili di Jakarta.
"Gue mulai pacaran di umur 12 tahun, alasannya mau coba saja, sih, pacaran tuh, sebenarnya rasanya gimana," ujar remaja laki-laki umur 18 tahun dengan nama ilustrasi Ibi. Setelah merasakan pacaran, Ibi bukan saja punya pengalaman baru, tetapi juga jadi punya banyak teman yang didapatkan dari teman-teman pacarnya. Ibi yang awalnya susah bergaul di sekolah, jadi merasa lebih santai dan supel.
Berbeda dengan alasan Ibi, Dede, remaja perempuan berusia 20 tahun, butuh pasangan untuk memotivasi dirinya di bidang akademik. "Kalau aku sih, mulai pacaran di umur 15 tahun ketika baru masuk SMA. Pada saat itu aku merasa perlu, supaya aku belajarnya lebih semangat," jelas Dede.
Apa pun alasannya, sebaiknya hubungan pacaran harus sehat. Perhatikan checklist di bawah ini, dibuat berdasarkan hasil wawancara virtual tim kami dengan Roslina Verauli, Psikolog anak, remaja dan keluarga, via Zoom pada hari Senin, 8 Juni 2020.
Jika dalam Check List diatas kamu mencentang kurang dari 3 poin, artinya hubungan kamu berada di tahap yang tidak sehat atau yang biasa disebut toxic relationship, lho! Tenang, kamu tidak sendirian, kok! Sesuai dengan survei kami, 68% remaja juga pernah berada dalam kondisi toxic relationship.
Sebenarnya apa hubungan yang seperti apa sih, yang bisa disebut dengan toxic relationship? Berdasarkan hasil wawancara virtual tim kami dengan Psikolog Roslina Verauli via Zoom pada hari Senin, 8 Juni 2020, toxic relationship adalah ketika di suatu hubungan antara satu sama lain atau salah satunya sudah tidak ada rasa menghargai pasangannya, dan menimbulkan rasa ketidakbahagiaan.
Menurut Verauli, titik awal terjadinya toxic relationship itu dapat dilihat dengan memperhatikan dampak relasi hubungan tersebut kepada diri sendiri. Jika kamu merasa dampak relasi hubungan yang dijalani tersebut tidak menyenangkan, seperti contohnya, kamu merasa sebal saat bertemu dengan pasangan, maka kamu wajib untuk berhati-hati. Karena hal tersebut merupakan warning sign bahwa kamu sudah memasuki toxic relationship.
Selain hal tersebut, kompetisi pun bisa menjadi salah satu ciri bahwa kamu berada di dalam toxic relationship. Jika kamu berkompetisi di bidang popularitas, akademis, maupun prestasi non akademis, pastikan kompetisi tersebut sehat dan sportif. Menurut Verauli, jika kamu atau pasanganmu sudah mulai saling menjatuhkan, itu adalah tanda hubungan tidak sehat. "Seperti menyebar rumor yang tidak baik, menjelek-jelekkan satu sama lain di depan umum, dan hal tersebut membawa efek negatif pada diri kedua belah pihak, maka hal itu sudah menjadi tanda bahwa kompetisi tersebut tidak sehat dan toxic," tambah Verauli.
Lantas, orang seperti apa sih yang dapat terjerat di dalam toxic relationship? Bisa jadi kamu atau pasanganmu memiliki masalah psikologis yang belum terdeteksi. Menurut Verauli, salah satu cirinya adalah jika seseorang susah untuk berkomitmen di suatu bidang studi atau berganti-ganti memilih ekstra kurikuler, dan sering tidak menyelesaikan hal yang sudah ia mulai. Hati-hati, jika merasa memiliki ciri-ciri tersebut kamu bisa konsultasikan diri  ke psikolog.
Akan tetapi, bukan hanya itu saja faktor terbentuknya toxic relationship. Adanya ketidakcocokan (sifat, karakter, dll) kamu dan pasangan juga bisa jadi alasannya. "Orang yang memiliki masa lalu yang pahit dan memiliki masalah psikologis yang sudah terdeteksi maupun belum terdeteksi, memang menjadi salah satu faktor terjadinya toxic relationship. Namun, bukan berarti orang yang tidak memiliki kedua faktor tersebut terjamin memiliki hubungan yang sehat. Karena adanya ketidakcocokan juga dapat menjadi faktor terbentuknya toxic relationship," ujar Verauli.
Jika ternyata kamu dan pasangan merasakan ciri-ciri toxic relationship, jangan langsung mengira bahwa kamu dan pasangan memiliki masalah psikologis. "Bisa jadi kamu dan pasangan tidak memiliki masalah psikologis. Tapi ada kemungkinan bahwa kalian memiliki ketidakcocokan yang membuat kalian membunuh karakter satu sama lain," tambah Verauli. Jika dipaksakan terus berhubungan, bisa terjadi berbagai kekerasan.
Hati-hati, Kekerasan Verbal dalam Hubungan
Adanya kekerasan fisik merupakan salah satu tanda bahaya yang pasti, bahwa hubungan kamu berada di tahap yang tidak sehat. Sayangnya, banyak remaja yang tidak tahu bahwa ada tanda bahaya lain yang harus diperhatikan, yaitu kekerasan verbal. Berdasarkan hasil survei kami 41% remaja pernah mengalami kekerasan verbal dalam berpacaran, dan 20% diantaranya mengakibatkan kepercayaan diri yang menurun.
"Kalau lagi berantem kita memang pasti menjurus ke kata-kata yang buat sakit hati, bukan hanya dia aku pun juga karena terbawa emosi. Tapi kadang ada beberapa kata-kata yang membekas dan buat hati jadi nggak enak," tutur Dede, yang pernah mengalami toxic relationship.
"Sering banget mantan aku ini bilang kalau aku gayanya kurang feminin dan badanku terlalu kurus, kayak laki. Kata-kata itu menyakiti hati. Bikin aku makin nggak percaya diri dan merasa insecure, bahkan sampai sekarang, meskipun kami sudah putus," lanjut Dede.
Menurut Verauli, kasus Dede tersebut adalah contoh nyata dalam toxic relationship. Sebab salah satu kekerasan dalam toxic relationship adalah kekerasan verbal, yang memiliki banyak bentuk. "Bukan hanya perkataan yang menyakitkan hati ketika bertengkar saja, kritik yang merendahkan, pun termasuk kekerasan verbal. Bahkan sebuah nama panggilan (name calling) yang berikan pacar kepada kepada kita, yang membuat kita menjadi tidak nyaman dengan panggilan tersebut pun, merupakan bagian dari kekerasan verbal dan dapat berdampak negatif pada diri kita," lanjut Verauli. Panggilan yang merendahkan, contohnya adalah, 'si gembul', Â atau 'si kebo' (karena gampang tidur).
Tetapi menurut salah satu responden, Ibi, kekerasan verbal kepada pasangan bisa dihindari, walaupun dalam keadaan bertengkar. Ibi terbukti oleh survei kami telah menjalani hubungan sehat selama 2 tahun. "Caranya, Â kami lebih memilih untuk diam dulu kalau sedang bertengkar. Karena kalau terus dilanjutkan argumennya dengan emosi yang meluap-luap, pastinya kan kita terpacu untuk mengeluarkan kata-kata kasar atau yang menyakitkan hati," ucap Ibi.
Hal 'sehat' lain yang dilakukan Ibi dan pacarnya adalah saling memberikan kata-kata positif. "Ketika pacar gue sedang bad mood, gue menyikapinya dengan kata-kata menghibur atau lucu, agar mengalihkan pikiran dia ke hal yang lain," tambahnya.
Putus Bukanlah Solusi Utama
Bagaimana kalau tidak seberuntung Ibi dan pacarnya? Bahkan tergolong punya hubungan toxic. Lalu, apa, sih, yang harus dilakukan? Ternyata jawabannya bukan segera memutuskan hubungan, lho!
"Banyak orang yang mengatakan bahwa jika terjebak di suatu toxic relationship, harus langsung memutuskan hubungan. Padahal cara tersebut cenderung membuat kita terjebak dalam hubungan yo-yo, selalu kembali dan kembali lagi ke hubungan tersebut (putus sambung)," jelas Verauli.
Menurut Verauli, hal pertama yang harus dilakukan adalah mencari support system dari orang terdekat. Â Misalnya sahabat ataupun keluarga. Support system ini berguna untuk memberikan masukan dan penilaian objektif terhadap hubungan kamu dengan pacar. Karena wajar saja, pada saat jatuh cinta kamu akan lebih emosional dalam melihat suatu keadaan.
Maka diperlukannya peran support system tersebut untuk melihat bagaimana dampak hubungan tersebut kepada diri kamu. "Support system ini pun juga dapat dijadikan 'a shoulder to cry on', tempat dimana kalian bisa menceritakan semua keluh kesah, agar kalian lega, dan tidak terlarut-larut dalam suatu perasaan yang tidak menyenangkan," ujar Verauli.
Setelah mencari support system, Verauli menyarankan kamu untuk melakukan deteksi kepada pasangan kamu untuk mengetahui apakah ia merasakan hal yang sama. "Karena sering kali terjadi di dalam suatu hubungan, kedua pihak merasakan penghayatan yang berbeda terhadap hubungan tersebut. Misalnya salah satu orang merasa bahwa ia berada di dalam hubungan yang baik-baik saja, tetapi satu orang lainnya merasa bahwa ia sangat direndahkan di dalam hubungan tersebut. Maka dari itu deteksi penting untuk dilakukan," lanjut Verauli. Ketika deteksi tersebut sudah dilakukan, barulah kamu dan pasangan kamu tentukan, apakah hubungan masih bisa diperbaiki, atau harus disudahi.
Jika memutuskan mengakhiri hubungan, jangan lupa untuk membenahi hubungan dengan diri sendiri dahulu, sebelum menjalankan hubungan dengan orang lain. "Agar kita terhindar dari toxic people dan toxic relationship dalam hubungan cinta berikutnya. Bangun dulu self love dan self respect. Miliki rasa cinta untuk diri sendiri, dan hargai diri sesuai dengan kadar yang tepat. Jangan berlebihan juga, agar tidak merasa sombong. Kalau kita paham diri kita sendiri, kita pasti lebih peka untuk mendeteksi hubungan yang berdampak buruk bagi kita," tambah Verauli.
Tim Redaksi:
Sydney Azzahra -- PenulisÂ
Pencari data:
Laily Restu AuraÂ
Dimas AndriyantoÂ
Narendra Wicaksana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H