Mohon tunggu...
Syech Reihan
Syech Reihan Mohon Tunggu... -

seorang sarjana yang mencoba peruntungan dengan menggadaikan ilmunya dengan harapan masuk surga, karena ia lelah melihat perilaku pemimpin negara yg gak bisa dipercaya, selalu bertikai diantara mereka. bukan mencari kebenaran tapi hanya sekedar membuat sensasi untuk meraih simpati dari penduduk negeri ini.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Menjelang Asyura

1 Desember 2010   06:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:08 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dakwah-dakwah yang telah dilaksnakan secara sempurna oleh Nabi sejak masa pertama Hijrah dan hambatan-hambatan eksternal dan internal yang dialaminya telah disaksikan dari dekat oleh Al-Husain dan dijasikan sebagai pelajaran-pelajaran berharga dan bekal tak ternilai kelak ketika ia memegang hak imamah dan wishayah.

Namun, masa kebersamaan ini terasa sangat singkat karena Nabi termulia dan manusia teragung itu harus meninggalkan umat, terutama cucunya yang amat dicintai dan dipersiapkannya, akibat ulah ganggungan fisik dan non fisik sekelompok manusia yang memang harus ada sebagai bagian dari lakon kebatilan sepanjang drama kehidupan. Muammad saw yang terbujur sakit akibat ulah sekelompok orang –kata sebagian sejarawan- tiba-tiba dilucuti haknya sebagai tuan rumah. Suaranya yang parau saat meminta secarik kertas dan setangkai pena dihalangi oleh tamun-tamu tak diundang yang berlagak lebih dari putri dan cucu-cucunya. Gerombolan ini bahkan seakan tak sabar menanti hembusan terakhir nafas manusia teragung ini dengan menganggapnya ‘hilang ingatan’ atau pikun. Gerombolan mantan pemakan bangkai ini sengaja menggagalkan sebuah suksesi damai dengan merekayasa kebisingan di rumah baliau dengan teriakan agar tuan rumah yang lunglai di atas ranjang reot itu tidak terganggu dan gagal melaksanakan niat sucinya, yang akan sangat merugikan kepentingan segerombolan orang oportunis itu.

Rasullullah pun mengusir para perusuh itu karena telah melampaui batas toleransi, demi mengesahkan suskesi kepemimpinan dalam lingkungan orang-orang yang terpercaya. Dengan nafas tersengal, Ali dipanggil dan disuruhnya duduk di samping ranjangnya, lalu berpesan: “Kau adalah penerus kepemimpinanku. Aku titipkan dua mata hatiku dan dua tiang peyangga agamaku di dunia ini”. Ali tak kuasa menahan linangan air hangat yang mengguyur mata dan pipinya seraya menggenggam tangan mertua, guru dan ayahnya.[6]

Ketika rasa nyeri di lambungnya kian parah, Rasulullah memanggil Al-Husain, yang sejak tadi duduk sedih di samping ibunya yang menimang Zainab. Al-Husain pun merapatkan tubunya ke samping ranjang beliau. Kakek yang penuh sayang itu menarik tubuh Al-Husain lalu mendekapnya erat-erat lalu selama beberapa menit pingsan. Ketika siuman, ia menciumi kedua mata sembab Al-Husain yang tak hentinya mengalirkan butir-butir bening kesenduan, seraya bekata dengan nada terbata-bata: “Demi Allah, aku akan meminta pertanggungjawaban kepada para pembunuhmu di hadapan Allah.”[7] Dada Al-Husain seakan tersekat dan bibirnya bergetar menahan luapan kesedihan dan berusaha meringankan beban hati kakeknya tidak menangis dengan keras, tapi ia gagal karena kedua matanya dan saudaranya bak mata air yang terus menyembur.

Fathimah Az-Zahra, yang sejak tadi sibuk melayani dan menyuapi ayahnya, kini tak kuasa menyembunyikan rasa keterasingan yang akan dirasakannya beberapa saat lagi. Betapa tidak, riuh tadi menjadi bukti yang cukup bahwa akan terjadi penelikungan. Umat Muhammad telah membunuh Muhammad!

Saat Fathimah wafat

Kepergian Rasulullah saw merupakan babak pertama derita Ahlul-Bait, terutama Al-Hasan dan Al-Husain. Fatimah bagai pesakitan yang diertawai dan didustakan patron-patron Abu Sufyan dan antagonis-antagonis penindas perempuan. Sejak wafat Nabi, Fathimah terlihat pucat, dadanya sesak, tubuhnya kurus dan matanya senantiasa basah. Fathimah sering kali mengajak Al-Hasan dan Al-hasan ke Baqi’ lalu menengadahkan wajah yang sedih ke langit seraya menumpahkan keluh kesahnya. Ia baru pulang setelah dijemput dan dirayu oleh Ali, suaminya.[8]

Tak lama kemudian wanita termulia sepanjang sejarah itu jatuh sakit akibat serangkaian gangguan fisik dan mental. Di atas ranjang, Fathimah dengan nafas tersengal, menarik lengan suaminya seraya berbisik: “Tidak lama lagi kau akan menjadi duda setelah kematianku. Anak-anak kita masih banyak, terutama Zainab. Kawinlah dengan Ummul-Banin, karena ia akan melahirkan anak yang kelak akan melindungi putrimu Zainab.” Ali tersedu-sedu mendengar ungkapan tulus istri yang amat dicintainya. “Maafkan aku, karena tak dapat menemanimu mengaruhi kehidupan yang tentu akan sangat sulit bagimu.”  Tak lama kemudian jiwa suci itu melayang menemui Allah di samping suaminya.

Sesaat kemudian Al-Hasan dan Al-Husain diperbolehkan masuk. Mereka terkejut melihat ibundanya tak bergerak. Kepada Asma’, mereka bertanya: “Mengapa ibu kami tidur pulas”. Meledaklah tangis Asma’ yang sejak tadi berusaha mengendalikan rasa sedihnya, seraya berkata: “Ibumu tidak tidur, namun jiwanya terbang menemui kakekmu, Rasululullah”.

Saat Ali dikhianati

Berdasarkan rekomendasi rapat luar biasa di Saqifah, Haidar, yang dideklarasikan sebagai pengganti di Ghadir Khum oleh Rasulullah, harus dikucilkan. Kekal iapun harus diganggu dan disibukkan dengan keculasan Thalhah, Zubair, keserakahan Muawiyah dan kroninya, dendam Aisyah. kepandiran Khawarij dan kepengecutan para pendukung palsu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun