Beberapa minggu yang lalu, mampir sejenak ke Kuala Lumpur, Malaysia. Hanya dua malam di Kuala Lumpur (KL), tapi selalu ada yang menarik dari suatu kunjungan. Bahkan walaupun hanya dalam hitungan jam. Suasana khas Melayu yang kental juga memperkuat keinginan untuk merekam banyak hal. Sayang, ayahanda-si lelaki Melayu itu- tak ikut serta dalam perjalanan kami di KL. Semoga suatu waktu. Dijemput oleh seorang kakak sepupu di bandara KLIA, banyak cerita yang meluncur dari mulutnya. Tentu saja didominasi oleh cerita tentang seputar keluarga. Tak lupa bertugas sebagai guide pribadi yang menunjukkan hal-hal menarik di sepanjang jalan menjelang penginapan. Dan bahasa lokal yang menjadi daya tarik sendiri. Berawal ketika kakakku bercerita tentang anaknya yang sudah membawa Makwo ke rumah. Aku sebetulnya tak tahu pasti apakah seperti itu penulisannya, tapi yang terdengar di telinga adalah Makwo. Tak ada yang aneh bagiku dengan kata itu, karena aku menggunakan kata Makwo atau Mak Tuo untuk memanggil beberapa tante yang usia atau posisinya secara 'hirarki' kekeluargaan berada diatas kedua orang tuaku. Mengacu pada kata Makwo yang aku kenal, tentu saja aku menjadi terheran-heran dengan suara bernada agak khawatir dari kakakku. Apa salahnya? Bukan kah bagus jika hubungan kekeluargaan bisa begitu erat dan akrab. Daripada si anak justru malas bertemu Makwo atau bahkan lari menghindar. Belum sempat bertanya lebih lanjut, ibunda sudah lebih dahulu bertanya. "Makwo yang mana?" Sepertinya beliau merasakan keheranan yang sama denganku. Dan sekaligus ingin tahu siapa Makwo yang dimaksud, mungkin beliau kenal. Tersadar, dengan tertawa kakakku menjelaskan bahwa Makwo yang ia maksud bukan seperti yang ada dikepala kami. Ternyata, kata itu berarti pacar. Tak tahu juga apakah khusus pacar perempuan (karena anak kakakku laki-laki), atau pacar secara umum. Aku tak berpikir untuk bertanya lebih lanjut karena lebih berpikiran, "Kok Makwo?". Sayang, asal kata itu tak ia ketahui muasalnya. Alih-alih bercerita tentang asal kata, perbincangan menjadi hangat mengenai sosok Makwo yang dimaksud. Pembicaraan khas orangtua, seiring dengan pertanyaan ibunda, "Orang mana? Kuliah dimana?, dan sebagainya. Setelah menemukan penginapan yang cocok, sebetulnya kakak sepupuku menawarkan sebuah paket jalan-jalan di malam hari. Tentu saja setelah sebelumnya melepas penat sejenak. Tapi karena kaki ibunda yang makin terasa sakit, akhirnya kami memutuskan untuk merasa cukup jalan-jalan di sekitar hotel saja. Mencari makan malam, pihak hotel menunjukkan dua lokasi berbeda yang bisa kami tuju. Ke arah kanan jika ingin makan makanan 'kaki lima' ala Melayu, ke arah kiri jika ingin makan di suasana mall. Karena pertimbangan ingin sekaligus menyambangi money changer, kami memilih belok kiri saja. Sekaligus ingin mencari beberapa perlengkapan lainnya. Berjalan sekitar 300 meter, tak juga menemukan Mall yang dituju, plus kasihan melihat ibunda yang jalan dengan agak terpincang-pincang membuatku memutuskan untuk bertanya ulang tentang posisi tempat yang kami tuju. Menyapa seorang laki-laki muda untuk bertanya. Sambil menunjukkan lokasi yang ternyata memang tak jauh di depan mata, dia bertanya, "Indon kah?". Tak sempat kami menjawab, ia menanyakan ulang, "Dari Indon kan?" Jujur, aku sedikit kaget. Bukan karena logat Jawanya yang kental, juga bukan karena dia mengatakan untuk bareng saja tapi lantas bergegas meninggalkan kami (sepertinya dia punya janji dengan seseorang. Maklum malam minggu). Tapi karena kata "Indon" yang digunakannya. Aku masih ingat, betapa seorang kenalanku yang sedang kuliah di negerinya Mahathir itu mencak-mencak karena di sebut Indon oleh orang tempatan. Katanya, itu seperti sebuah penghinaan karena tendensi kalimat itu yang biasanya meremehkan orang-orang Indonesia yang beredar di seantero Malaysia, terutama bagi TKI nya. Kali itu aku berpikir panjang. Jika seorang Indonesia saja dengan anteng nya menggunakan kata "Indon" untuk menanyakan/memastikan identitas orang sesama negara, apa masih ada maksud menghina? Jika orang Indonesia saja menggunakan kata "Indon", apakah tak menyebabkan orang lokal tetap menggunakan dan melanggengkan penyebutan yang sama? Memang, jangankan di negeri orang, di negeri sendiripun kita akan menghadapi suatu stigma, stereotipe dan sebagainya.