Mohon tunggu...
Syawila Fithry
Syawila Fithry Mohon Tunggu... -

Hanya menuliskan apa yang ingin ditulis

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Makwo,"Indon", dan judi Toto di Kuala Lumpur

31 Januari 2012   06:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:15 825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa minggu yang lalu, mampir sejenak ke Kuala Lumpur, Malaysia. Hanya dua malam di Kuala Lumpur (KL), tapi selalu ada yang menarik dari suatu kunjungan. Bahkan walaupun hanya dalam hitungan jam. Suasana khas Melayu yang kental juga  memperkuat keinginan untuk merekam banyak hal. Sayang, ayahanda-si lelaki Melayu itu- tak ikut serta dalam perjalanan kami di KL. Semoga suatu waktu. Dijemput oleh seorang kakak sepupu di bandara KLIA, banyak cerita yang meluncur dari mulutnya.  Tentu saja didominasi oleh cerita tentang seputar keluarga. Tak lupa bertugas sebagai guide pribadi yang menunjukkan hal-hal menarik di sepanjang jalan menjelang penginapan. Dan bahasa lokal yang menjadi daya tarik sendiri. Berawal ketika kakakku bercerita tentang anaknya yang sudah membawa Makwo ke rumah. Aku sebetulnya tak tahu pasti apakah seperti itu penulisannya, tapi yang terdengar di telinga adalah Makwo. Tak ada yang aneh bagiku dengan kata itu, karena aku menggunakan kata Makwo atau Mak Tuo untuk memanggil beberapa tante yang usia atau posisinya secara 'hirarki' kekeluargaan berada diatas kedua orang tuaku. Mengacu pada kata Makwo yang aku kenal, tentu saja aku menjadi terheran-heran dengan suara bernada agak khawatir dari kakakku. Apa salahnya? Bukan kah bagus jika hubungan kekeluargaan bisa begitu erat dan akrab. Daripada si anak justru malas bertemu Makwo atau bahkan lari menghindar. Belum sempat bertanya lebih lanjut, ibunda sudah lebih dahulu bertanya. "Makwo yang mana?" Sepertinya beliau merasakan keheranan yang sama denganku. Dan sekaligus ingin tahu siapa Makwo yang dimaksud, mungkin beliau kenal. Tersadar, dengan tertawa kakakku menjelaskan bahwa Makwo yang ia maksud bukan seperti yang ada dikepala kami. Ternyata, kata itu berarti pacar. Tak tahu juga apakah khusus pacar perempuan (karena anak kakakku laki-laki), atau pacar secara umum. Aku tak berpikir untuk bertanya lebih lanjut karena lebih berpikiran, "Kok Makwo?". Sayang, asal kata itu tak ia ketahui muasalnya. Alih-alih bercerita tentang asal kata, perbincangan menjadi hangat mengenai sosok Makwo yang dimaksud. Pembicaraan khas orangtua, seiring dengan pertanyaan ibunda, "Orang mana? Kuliah dimana?, dan sebagainya. Setelah menemukan penginapan yang cocok, sebetulnya kakak sepupuku menawarkan sebuah paket jalan-jalan di malam hari. Tentu saja setelah sebelumnya melepas penat sejenak. Tapi karena kaki ibunda yang makin terasa sakit, akhirnya kami memutuskan untuk merasa cukup jalan-jalan di sekitar hotel saja. Mencari makan malam, pihak hotel menunjukkan dua lokasi berbeda yang bisa kami tuju. Ke arah kanan jika ingin makan makanan 'kaki lima' ala Melayu, ke arah kiri jika ingin makan di suasana mall. Karena pertimbangan ingin sekaligus menyambangi money changer, kami memilih belok kiri saja. Sekaligus ingin mencari beberapa perlengkapan lainnya. Berjalan sekitar 300 meter, tak juga menemukan Mall yang dituju, plus kasihan melihat ibunda yang jalan dengan agak terpincang-pincang membuatku memutuskan untuk bertanya ulang tentang posisi tempat yang kami tuju. Menyapa seorang laki-laki muda untuk bertanya. Sambil menunjukkan lokasi yang ternyata memang tak jauh di depan mata, dia bertanya, "Indon kah?". Tak sempat kami menjawab, ia menanyakan ulang, "Dari Indon kan?" Jujur, aku sedikit kaget. Bukan karena logat Jawanya yang kental, juga bukan karena dia mengatakan untuk bareng saja tapi lantas bergegas meninggalkan kami (sepertinya dia punya janji dengan seseorang. Maklum malam minggu). Tapi karena kata "Indon" yang digunakannya. Aku masih ingat, betapa seorang kenalanku yang sedang kuliah di negerinya Mahathir itu mencak-mencak karena di sebut Indon oleh orang tempatan. Katanya, itu seperti sebuah penghinaan karena tendensi kalimat itu yang biasanya meremehkan orang-orang Indonesia yang beredar di seantero Malaysia, terutama bagi TKI nya. Kali itu aku berpikir panjang. Jika seorang Indonesia saja dengan anteng nya menggunakan kata "Indon" untuk menanyakan/memastikan identitas orang sesama negara, apa masih ada maksud menghina? Jika orang Indonesia saja menggunakan kata "Indon", apakah tak menyebabkan orang lokal tetap menggunakan dan  melanggengkan penyebutan yang sama? Memang, jangankan di negeri orang, di negeri sendiripun kita akan menghadapi suatu stigma, stereotipe dan sebagainya.

13279910251104798028
13279910251104798028
Tentang orang Indonesia di Malaysia, pasti bukan hal yang mengherankan lagi. Pekerja profesional hingga buruh kasar, pemilik paspor diplomat hingga tanpa paspor,anak sekolahan,pelancong dan banyak lagi. Menurut kakak sepupuku saja, sudah jutaan TKI yang mendapat pemutihan dan menjadi Warga Negara Malaysia, termasuk ia dan suaminya. Kalau saja semua orang Indonesia dikumpulkan, kupikir bisa untuk membentuk satu negara bagian "Indonesia" di Malaysia :D. Sepulang dari makan, Ibunda memutuskan untuk kembali ke hotel dan beristirahat. Tapi, masih jam 9 malam. Rasanya sayang kalau ikut-ikutan istirahat, apalagi kami tak lama di KL. Jadi lah aku dan suami memutuskan untuk jalan-jalan. Menyelusuri jalan sekitar hotel, aku melihat pemandangan yang menarik. Seorang lelaki tua duduk sendiri sambil memgang selembar kertas di tangannya. Awalnya ku kira seorang peminta-minta. Tapi ternyata bukan. Karena satu kali, seorang pejalan kaki menghampirinya. Lelaki tua itu menyerahkan kertas yang di pegangnya, si pejalan kaki memberikan uang dalam bentuk koin. Entah berapa jumlahnya. Penasaran, tapi tak tahu mau bertanya kepada siapa. Pemandangan yang sama berulang kali aku lihat keesokan harinya. Temasuk ketika kami memutuskan untuk makan malam di sebuah tempat makan 'kaki lima', yang sangat kental dengan nuansa Indonesianya. Sebagian pekerjanya dari Indonesia, dan pengunjungnya-termasuk kami-juga sebagian besar dari Indonesia. Ketahuan sekali dari pembicaraan yang berlangsung seru di berbagai sudut. Ketika sedang berada di tempat itu lah, aku melihat seorang perempuan paruh baya berwajah oriental masuk sambil membawa sebuah tas kecil. Sepertinya sudah biasa, karena dengan gerak cepat ia menuju meja-meja tertentu. Dan sama dengan sebelumnya, kertas dan uangpun berpindah tangan. Pikiranku menggiringku pada satu pertanyaan,"Kertas tebakan kah itu? Seperti SDSB nya kita?". Tapi lagi-lagi tak tahu mau bertanya kepada siapa. Sampai akhirnya, ketika ibunda mampir sejenak di sebuah toko pakaian, dan aku lagi-lagi melihat transaksi yang sama di depan toko itu. Menanyakan hal itu pada salah satu perempuan yang menjaga toko, akupun mendapat kepastian. "Itu Toto, semacam judi lah. Bisa beli minimum tiga puluh sen. Dengan duit satu ringgit, dia orang bisa dapat hadiah satu ribu ringgit". Ow..oww..tebakanku tepat di sasaran. Jika Genting Highland yang menawarkan pertaruhan uang dalam skala besar, jalanan KL memberikan peluang untuk pemilik modal kecil. Apa mau di kata? termasuk kenyataan bahwa para pekerja kita-entah gelap entah resmi-juga ikut menyemarakkan mimpi menjadi kaya dari perputaran duit judi Toto.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun