Semakin banyak kasus pembunuhan yang dialkukan oleh oknum polisi di Indonesia belakangan ini. Kasus penembakan terhadap tiga siswa SMK Negeri 4 Semarang oleh aparat kepolisian pada 24 November 2024 mengguncang seluruh masyarakat. Tak hanya meninggalkan luka mendalam bagi keluarga korban, peristiwa ini juga memunculkan ketidakpercayaan yang semakin besar terhadap sistem hukum dan aparat penegak hukum di Indonesia. Dalam kasus ini, kami tidak hanya melihat hilangnya nyawa seorang siswa yang tak bersalah, tetapi juga sebuah upaya manipulasi fakta yang semakin memperburuk keadaan. Kepercayaan masyarakat yang telah terkikis semakin hancur karena adanya tindakan yang tidak adil, bahkan diwarnai dengan tekanan terhadap para saksi dan keluarga korban.
Manipulasi Fakta oleh Pihak Kepolisian
Pada awalnya, pihak kepolisian mengklaim bahwa penembakan terhadap tiga siswa tersebut terjadi karena mereka terlibat dalam aksi tawuran. Aipda Robig Zaenudin, polisi yang melakukan penembakan, menyatakan bahwa kelompok siswa tersebut tengah terlibat kejar-kejaran sambil membawa senjata tajam. Namun, setelah dilakukan penyelidikan lebih lanjut, terungkap bahwa tidak ada tawuran yang terjadi. Faktanya, para siswa tersebut hanya merencanakan sebuah perkelahian yang tidak terjadi, namun tanpa alasan yang jelas, Aipda Robig malah memilih untuk menggunakan senjata api.
Yang lebih mengejutkan lagi, dalam konferensi pers yang digelar oleh pihak kepolisian, mereka memamerkan barang bukti berupa senjata tajam yang diduga digunakan dalam tawuran. Namun, belakangan diketahui bahwa senjata tersebut palsu dan telah direkayasa untuk mendukung narasi yang mereka buat. Manipulasi ini tidak hanya menambah kesedihan bagi keluarga korban, tetapi juga mencoreng integritas kepolisian di mata publik.
Proses Hukum yang Dipertanyakan
Setelah kejadian tragis tersebut, Polda Jawa Tengah segera melakukan penyelidikan dan rekonstruksi peristiwa. Rekonstruksi yang dilakukan menampilkan 44 adegan untuk menggambarkan rangkaian kejadian yang sebenarnya. Meskipun rekonstruksi ini bertujuan untuk mengungkap kebenaran, keluarga korban merasa kecewa karena pelaksanaannya dinilai tidak adil dan dipengaruhi oleh tersangka serta kuasa hukumnya. Mereka menilai proses tersebut tidak transparan dan tidak mencerminkan keadilan yang sebenarnya.
Proses hukum yang berlangsung saat ini sangat disorot publik. Aipda Robig yang kini ditahan dan dijerat dengan Pasal 338 KUHP serta Pasal 76C juncto Pasal 80 ayat (3) UU Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara, masih meninggalkan banyak pertanyaan. Apakah proses hukum ini akan benar-benar mengarah pada keadilan bagi korban dan keluarganya? Atau justru seperti banyak kasus lainnya, hanya akan menjadi ajang penyelamatan bagi aparat yang berkuasa?
Pelanggaran Hukum dan Etika Komunikasi
Dalam hal ini, Aipda Robig jelas melanggar peraturan yang ada mengenai penggunaan senjata api. Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 menyatakan bahwa penggunaan senjata api adalah pilihan terakhir yang hanya bisa dilakukan untuk melindungi nyawa. Dalam kasus ini, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa nyawa Aipda Robig atau orang lain dalam bahaya, sehingga tindakan penembakan terhadap siswa tersebut jelas tidak sesuai dengan prosedur yang ada.
Lebih parah lagi, pihak kepolisian yang menyebarkan informasi palsu mengenai tawuran dan senjata tajam yang digunakan, melanggar Pasal 28 ayat (1) UU ITE tentang penyebaran berita bohong yang dapat menimbulkan kerusuhan. Upaya untuk menutupi kebenaran ini semakin menambah luka bagi keluarga korban dan publik yang berharap melihat keadilan terwujud. Manipulasi informasi seperti ini tidak hanya merusak integritas lembaga kepolisian, tetapi juga menambah rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum di Indonesia.
Ketidakadilan Hukum di Indonesia: Sebuah Realita yang Memprihatinkan
Kasus penembakan ini menggambarkan ketidakadilan yang masih ada dalam sistem hukum di Indonesia. Banyak orang yang merasa bahwa hukum tidak berlaku sama untuk semua orang, dan justru lebih berpihak pada mereka yang memiliki kekuasaan atau posisi tertentu. Dalam kasus ini, kita melihat bagaimana aparat penegak hukum yang seharusnya melindungi masyarakat, malah terlibat dalam tindakan yang tidak adil dan mengarah pada penyembunyian kebenaran. Ini bukan hanya masalah satu keluarga atau satu kota, tetapi masalah yang berdampak pada seluruh sistem peradilan di negara ini.
Tantangan yang kita hadapi saat ini adalah bagaimana memperbaiki sistem hukum yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Kasus ini menjadi cermin dari realita bahwa sering kali hukum tidak dapat menegakkan keadilan dengan adil dan merata. Oleh karena itu, sangat penting bagi masyarakat untuk terus memperjuangkan keadilan dan memastikan bahwa setiap individu, tanpa terkecuali, mendapatkan perlindungan yang setara di hadapan hukum.
Membangun Kepercayaan Publik terhadap Sistem Hukum
Kasus ini harus menjadi pelajaran berharga bagi seluruh pihak. Kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan aparat penegak hukum harus dipulihkan. Ini bisa dimulai dengan langkah-langkah konkret, seperti transparansi dalam setiap proses hukum, pemberian hak untuk berekspresi kepada masyarakat, dan penegakan hukum yang adil tanpa diskriminasi. Agar Indonesia bisa maju dan menjadi negara yang benar-benar adil, kita harus memastikan bahwa hukum ditegakkan dengan integritas, dan semua pihak—baik yang kuat maupun yang lemah—diperlakukan secara setara.
Kasus penembakan siswa di Semarang ini menjadi titik balik yang sangat penting dalam upaya memperbaiki sistem hukum di Indonesia. Semoga, dengan kesadaran dan perjuangan bersama, keadilan yang sejati dapat tercapai, dan tragedi semacam ini tidak terulang lagi di masa depan.
Referensi Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H