Mohon tunggu...
Syawali Janitra
Syawali Janitra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

A graduated associate degree student from JIHS Politeknik Jakarta Internasional majored in Culinary Management, has some work experience in hotel industries, KOL Specialist and Social Media. Currently working as marketing, and a student at Budi Luhur University

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Ketika Peluru Lepas, Kepercayaan pun Lemas: Tragedi Penembakan Siswa Oleh Oknum Polisi di Semarang

3 Januari 2025   19:36 Diperbarui: 3 Januari 2025   19:36 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para Teman dari Korban Penembakan Berduka (Sumber : https://l1nq.com/juUYS) 

Semakin banyak kasus pembunuhan yang dialkukan oleh oknum polisi di Indonesia belakangan ini. Kasus penembakan terhadap tiga siswa SMK Negeri 4 Semarang oleh aparat kepolisian pada 24 November 2024 mengguncang seluruh masyarakat. Tak hanya meninggalkan luka mendalam bagi keluarga korban, peristiwa ini juga memunculkan ketidakpercayaan yang semakin besar terhadap sistem hukum dan aparat penegak hukum di Indonesia. Dalam kasus ini, kami tidak hanya melihat hilangnya nyawa seorang siswa yang tak bersalah, tetapi juga sebuah upaya manipulasi fakta yang semakin memperburuk keadaan. Kepercayaan masyarakat yang telah terkikis semakin hancur karena adanya tindakan yang tidak adil, bahkan diwarnai dengan tekanan terhadap para saksi dan keluarga korban.

Barang Bukti Palsu dari Aparat Kepolisian (Sumber:https://encr.pw/e3Bpq)
Barang Bukti Palsu dari Aparat Kepolisian (Sumber:https://encr.pw/e3Bpq)

Manipulasi Fakta oleh Pihak Kepolisian

Pada awalnya, pihak kepolisian mengklaim bahwa penembakan terhadap tiga siswa tersebut terjadi karena mereka terlibat dalam aksi tawuran. Aipda Robig Zaenudin, polisi yang melakukan penembakan, menyatakan bahwa kelompok siswa tersebut tengah terlibat kejar-kejaran sambil membawa senjata tajam. Namun, setelah dilakukan penyelidikan lebih lanjut, terungkap bahwa tidak ada tawuran yang terjadi. Faktanya, para siswa tersebut hanya merencanakan sebuah perkelahian yang tidak terjadi, namun tanpa alasan yang jelas, Aipda Robig malah memilih untuk menggunakan senjata api.

Yang lebih mengejutkan lagi, dalam konferensi pers yang digelar oleh pihak kepolisian, mereka memamerkan barang bukti berupa senjata tajam yang diduga digunakan dalam tawuran. Namun, belakangan diketahui bahwa senjata tersebut palsu dan telah direkayasa untuk mendukung narasi yang mereka buat. Manipulasi ini tidak hanya menambah kesedihan bagi keluarga korban, tetapi juga mencoreng integritas kepolisian di mata publik.

Proses Hukum yang Dipertanyakan

Setelah kejadian tragis tersebut, Polda Jawa Tengah segera melakukan penyelidikan dan rekonstruksi peristiwa. Rekonstruksi yang dilakukan menampilkan 44 adegan untuk menggambarkan rangkaian kejadian yang sebenarnya. Meskipun rekonstruksi ini bertujuan untuk mengungkap kebenaran, keluarga korban merasa kecewa karena pelaksanaannya dinilai tidak adil dan dipengaruhi oleh tersangka serta kuasa hukumnya. Mereka menilai proses tersebut tidak transparan dan tidak mencerminkan keadilan yang sebenarnya.

Proses hukum yang berlangsung saat ini sangat disorot publik. Aipda Robig yang kini ditahan dan dijerat dengan Pasal 338 KUHP serta Pasal 76C juncto Pasal 80 ayat (3) UU Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara, masih meninggalkan banyak pertanyaan. Apakah proses hukum ini akan benar-benar mengarah pada keadilan bagi korban dan keluarganya? Atau justru seperti banyak kasus lainnya, hanya akan menjadi ajang penyelamatan bagi aparat yang berkuasa?

Pelanggaran Hukum dan Etika Komunikasi

Dalam hal ini, Aipda Robig jelas melanggar peraturan yang ada mengenai penggunaan senjata api. Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 menyatakan bahwa penggunaan senjata api adalah pilihan terakhir yang hanya bisa dilakukan untuk melindungi nyawa. Dalam kasus ini, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa nyawa Aipda Robig atau orang lain dalam bahaya, sehingga tindakan penembakan terhadap siswa tersebut jelas tidak sesuai dengan prosedur yang ada.

Lebih parah lagi, pihak kepolisian yang menyebarkan informasi palsu mengenai tawuran dan senjata tajam yang digunakan, melanggar Pasal 28 ayat (1) UU ITE tentang penyebaran berita bohong yang dapat menimbulkan kerusuhan. Upaya untuk menutupi kebenaran ini semakin menambah luka bagi keluarga korban dan publik yang berharap melihat keadilan terwujud. Manipulasi informasi seperti ini tidak hanya merusak integritas lembaga kepolisian, tetapi juga menambah rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun