Mohon tunggu...
Syauqina Effendy
Syauqina Effendy Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pemimpi

Jangan tanya siapa aku karena aku juga belum tahu.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Pesta Evi | Bagian 2 (Terakhir)

5 April 2024   22:31 Diperbarui: 5 April 2024   22:42 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak kusangka, keesokan harinya, Tuan Namdur marah besar. Kabarnya ia sampai menempel berbagai selebaran tentang benda berkilauan yang hilang itu. Omong-omong, aku baru tahu, ternyata namanya anting. Seluruh kampung digegerkan, mereka sudah hafal, setiap Tuan Namdur kehilangan sesuatu, pasti ia akan berubah menjadi lebih pemarah dan sensitif. Istilahnya, 'senggol dikit, ambyar'. Aku otomatis berusaha keras menutupi semua jejak. Rasanya campur aduk ketika bertemu penduduk setempat. Tanganku tiba-tiba gemetar dan jantungku berdegup kencang sampai-sampai rasanya mau copot. Untuk menghindari itu, aku belakangan ini mengurung diri di rumah. 

Aku telah berjanji dalam hati, jika pesta Evi telah usai, aku akan mengembalikan anting itu diam-diam ke sarang Tuan Namdur. Kusembunyikan dalam sarung bantal. Tok tok! Pintuku diketuk. Oh, ada temanku rupanya. Tubuh ini panas dingin  untuk membiarkannya masuk. Semoga tidak ketahuan.

"Eh, kau sudah menyiapkan pakaian untuk ke pesta Evi?" Tanyanya.

"Sudah, ini dia!" Dengan bangga kutunjukkan mahkota buatanku.

"Wah, indah sekali! Tapi rasa-rasanya seperti ada yang kurang di sini," ia menyentuh bagian tengah mahkota yang sengaja kukosongi.

"Oh, itu memang sengaja! Aku akan meletakkan permata di sana," jelasku.

"Hah? Darimana kau mendapat permata?" Ia memandangku menyelidik.

Tidak! Aku keceplosan! Situasiku terpojok sekali. Maka aku berbohong, "Saudaraku pengoleksi permata memang."

"Aku baru tahu.. Hebat!" Katanya sambil mengangguk-angguk paham.

Kukira ia benar-benar tertipu dengan perkataanku. Namun besoknya, Tuan Namdur datang ke rumahku. Tatapannya tajam, ia langsung merangsek masuk dan menyapu seluruh ruangan. Mengecek segala sudut yang ada. Aku terlalu takut bila aku nantinya ketahuan. Segera aku pergi keluar rumah dan kabur lewat dahan-dahan pohon. Ah! Seharusnya aku sudah tahu ini akan terjadi. Sekarang aku hanya bisa melihat desa lamaku dari kejauhan dan hidup di antah berantah. Terlalu takut untuk kembali. 

Pantas aku dibenci. Aku juga benci kepada diri sendiri. Tidak enak sekali menjadi tupai abu-abu! Kenapa tidak sekalian hitam saja, sih?!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun